Pada dasarnya, baik Karen maupun Alesia bukanlah manusia biasa. Namun, mereka juga tidak bisa disamakan.
Karen adalah Numerio—manusia dengan angka di tubuhnya.
Alesia adalah Sherper—manusia kanibal berwujud monster mengerikan.
Numerio dan Sherper dikatakan sebagai makhluk yang sama-sama pernah merasakan kematian. Mereka ini abadi—tidak pernah mati karena usia dan juga tidak akan jatuh sakit. Meski dikatakan begitu, setiap tahunnya selalu saja ada pertarungan yang menyebabkan korban di antara kedua belah pihak.
Numerio dan Sherper adalah makhluk-makhluk yang dibangkitkan kembali, tetapi dengan takdir yang bersimpangan. Numerio adalah manusia yang dibangkitkan dengan akal sehat, tetapi Sherper justru condong ke arah nafsu. Jelas jika dilihat dari hal ini ada dua pihak yang berbeda sedang bermain-main di belakang layar. Di dunia ini hanya segelintir orang yang mengetahui eksistensi mereka.
Orang-orang awam seperti Arya takkan pernah tahu tentang Sherper yang mengancam kehidupan manusia. Sherper bergerak dalam bayang-bayang, begitu juga Numerio yang berusaha memberantas Sherper, siang dan malam.
Karen pernah tidak bisa lepas dari kehidupan seperti itu. Ini bukan kemauan gadis itu, ia menjadi Numerio saat masih berusia sembilan tahun dan terpaksa menjalani kehidupan yang jelas tak pernah ia impikan. Karen hidup dalam keping-keping mimpi buruk yang tiada habisnya, hingga pada akhirnya ia berhasil mengatasi itu dengan tangannya sendiri. Gadis yang kuat. Ia berhasil menjadi manusia biasa (lagi) hidup dengan normal di antara para gadis dan anak-anak SMA, menjadi putri yang patuh terhadap ayahnya dan selalu menolong orangtua.
Tetapi, kini, ia harus mengandalkan kekuatan Numerio-nya. Demi Arya dan ia harus bunuh Alesia di sini, sekarang juga!
"Akan kubunuh kau sampai hancur lebur!" teriak Karen.
Alesia lekas mengangkat capitnya ke depan sebelum venus itu mengatup. Bunyi memilukan dari baja yang terbentur membuat Alesia menahan napas seketika, venus itu hanya berhasil menangkap salah satu capit baja milik Alesia dengan mulutnya, tapi itu juga sulit untuk diretakan. Capit yang lain masih bebas, Alesia segera memotong tangkai venus itu dari kepalanya. Tumbuhan itu mati, Alesia segera membebaskan capitnya yang terperangkap, tiba-tiba ia menelengkan kepala ketika sebuah gunting lewat begitu saja ke arah kepalanya.
Gunting? Alesia membatin. Apa dia tidak punya senjata?
Di sisi lain, Karen mendecak sebal karena guntingnya meleset. Itu satu-satunya senjata tajam yang ia miliki selain jarum-jarum tumbuhan.
Alesia mendarat dengan mulus di permukaan beton.
"Apa hanya itu kemampuanmu?" Ia menyeringai. "Kau bahkan tidak membuatku terdesak. Kau ini nomor berapa sih? Oh, oh! Biar kutebak sendiri, hm!" Alesia meletakkan capit di bawah dagunya, seolah sedang berpikir keras. "Kau pasti berada di urutan tiga ratus … bukan, empat ratus? Lima ratus? Atau mungkin seribu?" Alesia tertawa lantang, merasa tebakannya benar. "Mungkin seribu! Ya, kau Numerio di urutan seribu!"
Karen menggeram kepanasan.
"Jika berada di urutan seribu, sebaiknya kau lari dari sini. Kau bukan tandingan dari Sherper sepertiku. Aku juga tidak tertarik memangsamu, kau itu buruk rupa. Aku tidak suka dengan makhluk yang buruk rupa."
Karen diam saja. Ia tahu, Sherper seperti Alesia hanya ingin menggoyahkan keberaniannya. Dan, Alesia juga salah menilai dirinya. Karen tidak berada di posisi seribu, ia tidak selemah itu. Jika ia selemah itu, maka dirinya sudah muntah-muntah sejak awal menghadapi hawa nafsu Alesia yang sangat besar.
Karen sudah kehabisan kesabaran, ia pun membuka ritsleting jaketnya sampai lepas. Jaket biru dengan logo bola basket di punggung ia lemparkan ke tanah, menyisakan tank top abu-abu yang masih melekat pada dirinya.
299—angka itu tercetak pada lengan kanan atasnya. Tulisan tebal dan dicampuri oleh asap dingin yang menguar dari warna biru mudanya—menegaskan kekuatan Karen yang sebenarnya. Ia berada di urutan 299 dalam peringkat dunia Numerio.
"299?" bisik Alesia, dahinya mengernyit tak santai. Gadis seperti Karen berada di urutan dua ratus besar dunia Numerio? Alesia sulit menerima fakta itu, tapi kenyataannya ada di depannya saat ini. Angka pada tubuh Numerio tidak pernah salah, apalagi … apalagi angka itu dilapisi oleh warna biru muda. Jelas bukan sesuatu yang biasa, ia harus lebih hati-hati.
"Ada apa?" tanya Karen. "Kau mulai tidak tenang, jalang?"
Alesia mendengus geli. "Ini kesempatan yang bagus," katanya, mulai tertawa lagi. "Jika aku membunuhmu di sini, aku pasti akan dipuji oleh beliau."
Karen memutar kepalanya yang terasa kaku. Pemanasan sebentar tidak ada salahnya, pikir Karen. Ia mulai melompat-lompat di tempat, meregangkan tubuh yang sudah lama tidak dimanja, lalu menekan buku-buku jarinya yang kelelahan.
"Aku sudah lama tidak melakukan ini," kata Karen sambil merentangkan lengannya ke samping. "Jadi, sebaiknya cepat lakukan, karena teman-temanku sedang menunggu."
Ini mungkin akan menjadi pertarungan yang melelahkan. Karen sudah menilainya, Alesia bukan Sherper muda—ia sudah berusia lebih dari ratusan tahun. Mengembara dari waktu ke waktu, entah sudah berapa banyak manusia yang dia mangsa. Dosa seperti itu harus diakhiri di sini.
Dalam sekali kedipan mata, mereka sudah saling membenturkan diri. Alesia dengan capit bajanya menahan kedua lengan ramping Karen. Sherper itu takjub melihat Karen mampu menahan capit bajanya yang bisa meretakkan dinding beton, tetapi kenyataan berbanding terbalik dari apa yang ia pikirkan. Karen jika mau ia sudah menggigit bibir untuk menahan rasa sakit itu, tapi ia bukan orang tolol yang ingin menunjukkan kelemahannya di depan musuh.
Karen tiba-tiba meludahi Alesia.
"Apa yang—!" Tak sempat protes, sebuah tumbuhan mendadak muncul di antara mereka. Lagi-lagi kaktus, tapi kali ini hanya satu kaktus dengan batang yang sangat gemuk, serta tinggi menjulang melebihi tiga meter. Kaktus itu punya sepasang tangan yang menekuk ke atas, seolah sedang memberi sapaan.
Karen berhasil mundur secepat tumbuhan itu muncul. Ia memeriksa kedua lengannya yang memerah, tapi sebentar saja, karena Alesia mengerang di balik pohon itu.
"Kurang ajar …." geramnya.
Karen mungkin ingin tertawa saat ini ketika melihat setengah wajah Alesia hancur tertancap duri, bahkan ia harus rela kehilangan mata kirinya. Dan, Sherper adalah makhluk yang sangat berbeda dari manusia, salah satu perbedaan yang mencolok adalah warna darah mereka yang berwarna perak. Cairan kental itu mengucur dari sumber luka yang ada pada wajah Alesia.
"Dandanan yang bagus, mau kubuat agar lebih cantik?" Karen menukar rasa gelinya dengan seringai yang memancing. Jarum-jarum lainnya mencuat manis di antara jari jemari tangan Karen.
Sejak kapan ada kaktus di sana? Alesia merenungkan itu sejenak. Hanya ada satu kemungkinan, kaktus itu muncul ketika ada jarum yang dilesatkan, dan jarum yang dimaksud keluar saat Karen meludah. Ya, Karen meludahkan sebuah jarum kepadanya tanpa Alesia duga sama sekali.
Tanpa banyak basa-basi lagi, Karen melempar sebuah jarum ke belakang Alesia. Sebuah venus tumbuh di atas permukaan beton yang retak seiring kemunculannya, moncongnya menganga lebar menunjukkan deretan gigi yang tampak lebih besar dari venus yang sebelumnya.
Terdesak dengan itu dan belum siap, Alesia terjun ke samping, berguling ke depan menggunakan punggungnya, dan kemudian duduk berlutut sambil menutupi wajahnya. Tapi ia tak sadar ada jarum lagi di sana, venus lainnya mengaum keluar.
Alesia mendelik panik.
Ketika ia hendak beranjak lagi, sebuah kantong semar—muncul—tumbuh menjulang ke atas bak menara. Alesia tersangkut pada bibir tumbuhan itu dan terbawa sampai ke atas. Sherper itu ketakutan ketika melihat dasar kantong semar yang berupa lobang kegelapan—jika masuk, ia tidak tahu akan dikirim sampai ke mana. Cairan lincin yang melumasi bagian dalam tumbuhan membuatnya semakin waspada, ia berada di posisi yang sangat berbahaya, bagaikan serangga yang hampir terperangkap.
Sementara itu, ada lagi venus yang muncul. Alesia tidak sempat menengok karena mementingkan situasinya yang sekarang.
Di bawah, Karen mengelilingi kantong semar sambil mendongak ke atas. Tangannya ia angkat demi menghalau silau matahari. Mencari-cari di mana Alesia, ia pun akhirnya menemukan kaki Sherper itu bergelantungan di ruang kosong.
Sedikit bersiul, salah satu venus mendatangi sembari merendahkan kepala di hadapan Karen bagaikan seekor peliharaan yang patuh terhadap majikannya. Karen naik ke atas venus itu, ia diantar ke atas untuk melihat situasi Alesia. Ketika capit-capit baja Alesia mengapit dan berusaha mengoyak kantong semar itu, Karen datang bak seorang penguasa.
"Hai," katanya sambil tersenyum. "Kau terjebak?"
Alesia berdecak. "Aku akan mengeluarkan diri dari sini! Dan, ketika itu tiba, aku akan mencabik-cabik tubuhmu dan mengeluarkan jantung itu, seperti apa yang kulakukan pada Arya!"
Karen menunduk, ia menjadi emosional lagi setelah mendengar nama laki-laki yang ia kagumi. "Arya," gumamnya. "Aku akan membangkitkannya kembali."
Alesia menganga dan dilanda kebingungan. "Kau takkan bisa, aku sudah mengunyah jantungnya. Numerio dan Sherper tidak akan bisa dibangkitkan tanpa adanya sebuah jantung!"
Ia menatap Alesia dengan keberanian tinggi. "Aku bisa, aku pasti bisa." Venus itu mendekat, membuat Alesia semakin panik. Asap bau yang keluar dari dalam mulut tanaman itu mengaburkan sedikit jarak pandang di antara mereka.
Waktu asap itu melebur, Sherper wanita itu menjadi histeris, pada saat lidah venus tersebut memanjang dan melilit pada tubuhnya. Ia diangkat dari bibir kantong semar itu—menghadapkannya pada Karen.
"Apa … apa yang ingin kau lakukan, Karen?"
Untuk pertama kali sejak ia berubah, Alesia menyebut nama Karen sambil memelas. Namun, itu sama sekali tidak merubah pikiran Karen untuk merebut jantung Alesia.
"Jika kau membunuhku di sini, orang-orang akan menaruh rasa curiga pada Arya dan dirimu!" teriak Alesia penuh ancaman. "Orang-orang akan—!" Tulang rusuknya berderak dan dibuat retak oleh lilitan lidah venus itu—sesak ia rasakan seiring rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Jangan banyak bicara lagi."
Karen menjentikkan jarinya. Venus lain menyusul mereka di atas, dengan moncong yang terbuka lebar, lidah-lidah panjang melengkung di udara—menjulur di sisi Karen. Mereka dengan cepat mengikat tubuh Alesia. Sherper itu memekik ketika tangan dan kakiknya dicopot layaknya mainan bongkar pasang.
Tetapi, Karen tidak peduli.
Darah perak tumpah ruah jauh ke bawah sana. Alesia menggeliat liar, tetapi di waktu lidah itu mengikat lehernya dengan erat, pandangan mulai gelap dan ia tidak lagi di dunia itu untuk selamanya.