Chereads / RAVAGER / Chapter 8 - Bimbang

Chapter 8 - Bimbang

Arya merenungkan ucapan Nil—ayahnya Karen—satu jam lamanya. Ia tak pernah membayangkan rupa Sherper secara langsung, tapi dari keterangan sana-sini, baik yang diucapkan langsung oleh Fimelsya dari alam kematian, maupun kisah yang diceritakan Karen, tentang keganasan Sherper terhadap kegilaan mereka kepada darah dan daging manusia membuatnya merinding setengah mati.

Di dunia ini ada jutaan Sherper. Menurut Karen, total perbandingan jumlah antara Sherper dan Numerio berbeda jauh. Sherper seperti dua hingga tiga kali lipat populasi Numerio yang sekarang. Dan, gawatnya lagi, mereka bisa berkembang biak, tak seperti Numerio yang harus dibangkitkan terlebih dahulu. Misalkan Numerio kawin dengan Numerio lain, anak mereka hanya akan menjadi manusia biasa, tak lebih.

"Kita hanya punya dua pilihan," kata Nil mengacaukan lamunan Arya. "Kau harus mati di sini atau rela berada di bawah pengawasanku."

"Ayah!" Jelas Karen tidak ingin pilihan pertama. Matinya Arya sama saja membuat hatinya mati.

Nil menatap tegas putrinya. "Jika kita membunuh anak ini di sini, semua kemungkinan buruk yang berkecamuk di kepalaku akan lenyap. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita membiarkannya berkeliaran di dunia bebas. Kita juga tidak bisa membiarkan Numerio lain mengetahui tentang keberadaannya. Kau dan aku bisa diburu karena sudah membangkitkannya. Jelas konsekuensinya sangat besar dan itulah alasannya mengapa aku dari awal sudah tidak setuju membangkitkan seseorang yang asing dan tidak ada hubungannya denganku, apalagi menggunakan organ Sherper. Aku jelas sudah membuat kesalahan yang fatal, aku tidak ingin ini terjadi di rumahku, di depan putriku."

Karen berteriak saat Nil menarik pistolnya dan mengacungkan senjata itu ke dahi Arya. Jarinya di depan pelatuk, bersiap untuk menembak kapan saja. Arya tidak bisa bereaksi, tidak seperti tadi. Tubuhnya membeku.

"Maaf saja, Nak, aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak ingin rumah ini didobrak oleh B.P.N.S."

"T-tunggu dulu!" seru Karen. "Ayah tidak bisa membunuhnya di sini, dia nomor 100."

Tampaknya ia kaget. Nil memandangi Karen lalu berganti cepat dengan memeriksa lengan kanan atas Arya. Memang tercetak angka 100 di sana dengan kilau emas yang khas untuk Numerio yang berada di posisi seratus besar.

"Ayah jarang, kan, melihat Numerio dengan angka 100. Arya lebih kuat dariku." Karen menambahkan.

"Ini pasti karena setengah kekuatan Sherper hidup dalam dirinya," kata Nil pelan. Ia menyingkirkan pistol itu dari kening Arya. "Jika bukan karena itu, dia mungkin terlahir kembali sebagai Numerio terlemah."

Arya tidak tersinggung. Dalam kehidupan sebagai manusia biasa saja dia sudah dicap sebagai anak yang tidak berguna dalam pertahanan diri. Nil kemudian menjauh dengan keraguan yang kembali memuncak.

"Kau benar, Karen, aku tidak bisa membunuhnya di sini. Itu akan membuat Numerio di peringkat lima besar menyadarinya."

Itu kedengaran seperti keuntungan dan kerugian dalam waktu yang bersamaan.

Nil menghela napas, setidaknya masih ada satu opsi yang bisa mereka tempuh. Mengawasi Arya bukan sulit, Nil menilai anak ini bukan tipe yang pembangkang, tapi ia tidak bisa memastikan itu di masa depan. Peringkat seratus bukan main-main. Seandainya posisi Arya terus merangkak naik, ia mungkin akan menjadi tidak terkendali.

"Kau satu sekolah dengan Karen, benar?" tanya Nil.

"Benar."

"Karen, dia tanggung jawabmu. Jangan lepaskan pengawasanmu darinya."

Karen mengangguk, siap melaksanakan tugas. Tak pernah ia menjadi sesemangat ini sejak hari pertama dirinya menjadi Numerio. Benar-benar budak cinta.

"Dan, soal B.P.N.S dan temanmu, Indri, Ayah tidak tahu harus bagaimana soal dia."

"Tenang saja," kata Karen yakin. "Aku bisa membuat Kak Indri paham soal ini. Dia adalah sahabatku."

Nil hanya mengangguk, memandangi Arya sekilas sebelum pergi ke luar. "Kau bisa pulang nanti sore, Nak. Kau juga sudah bisa bergerak sekarang."

Arya segera memastikan. Ia mengangkat lengannya pelan-pelan. Pada awalnya terasa kesemutan, tetapi seiring ia terus bergerak, ia jadi nyaman kembali. Arya bangkit dari posisi baringnya, untuk duduk. Karen menawarkan bantuan, tapi Arya menolak, ia ingin mandiri. Setelah berhasil duduk, ia baru merentangkan tangan, meminta Karen memegangi.

"Kau ingin berdiri?" tanya Karen.

"Aku ingin merasakan kaki-kakiku."

Karen menahan lengan Arya selagi laki-laki itu menumpu berat badan pada tungkai-tungkainya. Ia bergetar pada tarikan napas pertama, matanya kunang-kunang ketika melihat ke bawah, seolah-olah Arya sedang berada di atas gedung pencakar langit. Jantungnya mulai tidak tenang dan ia gelisah.

"Tenang," bisik Karen. "Kau seperti bayi yang baru belajar jalan saja."

"Ini tidak semudah seperti yang kubayangkan."

Mereka berkeliling di kamar ini. Karen benar-benar menahan Arya dari gravitasi, ia membantu Arya untuk bisa berjalan kembali. Selang beberapa saat, Karen mulai melepaskan Arya, kaki-kakinya sudah terbiasa lagi dengan permukaan. Arya tersenyum, bangga pada diri sendiri, sebuah pencapaian tampaknya. Bisa berjalan lagi setelah kematian, bukan impiannya.

***

"Dari seorang teman, dia mengetahui sejarah seluk-beluk Numerio dibandingkan siapa saja yang kukenal di dunia ini." Nil menyeruput kopi pahitnya. Ia bercerita ke mana saja ia pagi ini sampai pulang di tengah hari. Ternyata, Nil bertemu kenalannya, bermaksud untuk tanya-tanya soal situasi Arya. Nil percaya kepada orang ini sehingga ia tidak menutupi apa pun darinya. Temannya ini seorang manusia biasa juga, sama seperti Nil, tapi ia hapal bagaimana Numerio daripada Numerio itu sendiri.

"Dia juga tidak mengetahuinya, karena kau kasus pertama," kata Nil. "Tapi dia menyarankanku untuk mengambil dua pilihan seperti tadi. Jelas, jika aku membunuhmu, lima Numerio terkuat di dunia ini akan berbondong-bondong menyerbu kediamanku." Entah mengapa ada nada kekecewaan di sana. Arya menahan napas seusai Nil meletakkan cangkir kopi ke meja.

Karen datang membawakan dua cangkir lainnya. Sama-sama teh. Ia duduk di samping Arya, memberikan cangkir yang satunya kepada laki-laki itu. Nil melirik keramahan itu dari gestur anaknya.

"Siapa mereka?" tanya Arya. "Lima Numerio itu."

"Orang-orang terkuat tentunya. Tiga di antara mereka bekerja untuk pemerintah di negara masing-masing, sedangkan dua lagi aku tidak tahu."

"Mereka adalah Charlie Wingston, Fay Duscha, Chio Atsushi, Albert Colin, dan yang terakhir ini berada di Indonesia, Dirga Gunawan."

"Jika ada Numerio yang harus kita waspadai, maka Dirga Gunawan-lah orangnya." Nil menambahkan sambil meluruskan punggungnya. "Dia bekerja untuk pemerintah dalam bayang-bayang. Dia bisa melacakmu kapan saja, mungkin juga dia sudah mengetahui keberadaanmu. Tak sering Indonesia melahirkan Numerio di posisi seratus besar dunia."

Jari Arya mengetuk gelisah. "Kalau begitu, mengapa dia tidak mendatangiku?"

Nil hanya mengedikkan bahu. "Itu cuma tebakan, tapi ada bagusnya kau waspada. Dia bisa muncul kapan saja dan di mana saja."

Hari berlalu begitu cepat, hingga sore melengserkan siang. Arya diantar oleh Nil ke rumahnya menggunakan mobil tua yang derung mesinnya sangat serak. Selama di perjalanan, Arya memikirkan dirinya dan Dirga Gunawan.