Chereads / RAVAGER / Chapter 11 - Menang

Chapter 11 - Menang

Aku selalu mengira aku tidak akan punya nasib yang baik di pelajaran olahraga. Pemikiran ini berhubungan sekali dengan tubuhku yang lemah yang sejak kecil tak punya kesempatan di bidang olahraga fisik. Tetapi, aku tidak mengeluh, dan aku juga tidak mencoba untuk menjadi yang lebih baik di pelajaran ini. Itu merupakan kebaikan dan keburukan yang saling bertubrukan.

Sejujurnya, nilai delapan puluh bukanlah sesuatu yang buruk. Kau diberikan nilai kasih sayang meski kau tidak benar-benar menguasainya, ini adalah satu-satunya kebaikan yang kulihat di jam pelajaran ini. Seburuk apa pun kau, serendah apa pun kau, asal jika terus ikut hadir di jam ini dan melaksanakan apa yang diinstruksikan guru, kau akan mendapat hadiah.

Aku tidak pernah benar-benar beruntung, kuberitahu saja. Aku bahkan tidak bisa menghitung berapa banyak kegagalan yang kuperoleh di lapangan ini. Aku tidak bisa menembak bola dengan benar, melempar bola ke dalam keranjang, menggiring bola dan sebagainya. Tetapi, nilai delapan puluh-lah yang berjejer di kolom tabel namaku, hanya ada dua orang yang diberkati dengan itu. Aku dan Rendy.

Ya, aku tidak pernah begitu beruntung. Bahkan saat Adi menyeringai padaku sebelum lomba ini dimulai, aku sudah tahu hasilnya akan seperti apa. Yah, setidaknya, biarkanlah Adi mengadu kecepatannya bersama Dio, sementara aku berpura-pula lari sekuat tenaga di belakang mereka seperti biasa. Paling tidak, aku sudah cari aman agar tidak dipukuli Adi dan dapat nilai cukup.

Tetapi, aku salah, bro!

Setelah aku membuka mata ketika aku berhasil melewati garis akhir, dua pertanyaan muncul begitu saja ke dalam benakku. Pertama; aku mengira jarak antara garis awal dan garis akhir itu cukup lebar, mungkin sekitar 100 meter kurang lebih. Kedua; orang yang pertama kali kulihat di depan adalah tukang kebersihan yang melintas, tak seperti Dio atau pun Adi yang kuharapkan di sana. Ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang sudah menyoraki namaku, dan baik Dio mau pun Adi baru sampai di setengah perjalanan.

Tunggu, apa ini? Aku menang? Tidak, tidak, ini pasti kesalahan. Meski pun aku menang, apa aku tidak terlalu cepat? Aku tahu Dio, dia orang yang tercepat di antara kami, dan Adi adalah salah satu yang terkuat. Mereka pesaing yang hebat, dan ekspetasi aku sama dengan orang-orang tentang mereka—salah satu dari mereka tidak ada yang ingin mengalah. Tetapi, ekspetasi yang tingginya selangit itu hancur ketika aku melewati garis akhir.

Dio berhasil, disusul oleh Adi, dan seorang lagi di belakangnya. Mereka memandangiku sama seperti aku bingung pada diriku sendiri.

Dio mendekat. "Wah, bro, aku tidak nyangka kau cepat sekali tadi."

"Benarkah?" tanyaku.

Dio mengangguk cepat, tampak sedang meyakinkanku. "Kau seperti angin, seperti ini. Shuussh!"

Aku hanya tertawa canggung ketika Dio memperagakannya seperti bocah TK. Ketika Dio bertanya bagaimana aku bisa secepat itu dan dari mana latihannya, aku hanya menjawab seadanya dan se-masuk akalnya saja. Tidak mungkin kalau aku jawab dengan ketidaktahuan, yang ada mereka akan menganggapku sombong.

Dari sudut mataku, Adi tampak memperhatikan dengan tajam. Aku harap ia tidak curiga, atau lebih-lebih sakit hati. Orang yang selalu mengenakan otot sebagai penyelesaian masalah, bukannya otak, hanya akan menimbulkan situasi yang buruk dan situasi itu diperburuk dengan ejekan yang dilontarkan Vito dan teman-temannya yang lain. Adi harus mentraktir mereka karena kalah dariku dan juga Dio. Tapi dari sorot mata itu, aku yakin ia tidak kesal dengan itu, ia kesal karena hal lain.

***

Untuk pertama kalinya, angka 95 ditulis di deretan kolom tabel namaku.

"Nah, begini, dong!" kata Pak Rehan. "Dari dulu kamu begini, kan, bagus. Bapak jadi enggak bosan memberi kamu nilai. Pertahankan, ya."

Gatal menjalar ke belakang kepalaku. Seusai menulis nilai ke buku absen, Pak Rehan membolehkan kami pergi ke tepi lapangan untuk istirahat sambil menunggu jam pelajaran ini selesai.

Aku pikir aku akan kelelahan dan pengin muntah-muntah seperti Rendy, tapi penat itu tak kunjung kurasakan sejak lomba tadi. Bahkan, jantungku tidak berpacu layaknya orang yang baru saja lari jauh. Keringat hanya sedikit yang jatuh. Aku melihat Dio sedikit terengah-engah dan membutuhkan cairan untuk menyejukkan suhu tubuhnya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama. Kerongkonganku saja tidak kering, bayangkan itu.

Apa ini ada hubungannya dengan aku yang berstatus sebagai mantan mayat? Atau justru, kekuatan Alesia menyertaiku?

Bagaimana pun itu, aku harus tanyakan ini kepada Karen nanti.

***

Jam pelajaran olahraga telah berakhir dengan ditandai oleh lengkingan suara sirine parau yang menyebar ke seantero sekolah. Kami masuk ke jam istirahat yang langsung membuat gaduh seluruh gedung. Tanpa berganti pakaian, murid kelas XI.IPA.3 sudah mengisi meja-meja kantin dan menguasainya.

Tetapi, aku tidak ingin duduk di kantin. Aku hanya membeli dua bungkus roti dan sebuah botol air mineral sebelum murid-murid kelas lain menyerbu masuk seperti gerombolan binatang ternak yang keluar dari sarang. Aku meneguk sedikit air ketika dalam perjalanan menuju kelas. Kulihat Karen sedang melangkah bersama teman-temannya ke kantin. Aku tak mengharapkan ia menatap balik, ramainya lorong kantin ini memperkecil kemungkinan kami bertukar kontak mata.

Aku sampai di lantai dua, kelas berada di ujung koridor. Ketika aku sudah ingin memasuki kelas, Vito dan rombongannya mencegatku. Aku terkejut, apalagi saat Vito mendadak merangkulku.

"Apa yang kau …."

"Sudah, ikut kami saja," kata Vito, seringai muncul di wajahnya. "Kami mengajakmu nongkrong di luar, bersama Adi."

Jelas, ini bukan hal yang baik. Aku bertanya, "Di mana?"

"Kau akan tahu." Vito menarikku gusar.

Dengan empat orang jangkung dan berbadan besar di sekelilingku, jelas aku sudah tidak punya kesempatan untuk kabur. Mau tidak mau, aku membiarkan mereka menyeretku sampai ke luar. Aku sudah menebak hal apa yang kudapat. Entah itu pukulan, hinaan, atau … apa saja, aku tidak tahu, pokoknya sesuatu yang jelek. Aku harus bersiap.

Kami lewat jalan belakang, di sana ada kantin lainnya. Kantin yang biasanya dijadikan tempat kumpul-kumpul anak-anak bandel. Mungkin Adi dan Vito sering di sini, pantas saja aku tidak pernah melihat mereka di kantin atas. Tempat yang gelap dan beraroma sedap, tapi penuh dengan asap rokok. Tidak begitu ramai, kantin yang dibangun dengan kayu dan semen, aku hanya melihat Adi sedang merokok sambil menaikkan kakinya di kursi panjang.

"Adi! Traktir, traktir!" Vito semringah sekali.

"Duduk dulu. Kau, duduk di sini." Ia menunjuk ruang kosong di sebelahnya, aku menurut.

Aku diam saat pemilik kantin menaruh sepiring nasi goreng di hadapanku. Nasi goreng yang hangat dengan aroma sedap, atasannya ada telur mata sapi yang sangat menggiurkan. Sebagai pelengkapnya, segelas es teh diletakkan di sebelah piring. Aku menatap itu semua dengan rasa campur aduk, ada rasa ketidakpercayaan di hati ini.

Apa dia sedang mentraktirku atau … sedang mengujiku?