Chereads / RAVAGER / Chapter 9 - Kembali Menjadi Normal? (pt.1)

Chapter 9 - Kembali Menjadi Normal? (pt.1)

Arya kagum dengan pekerjaan yang dilakukan Indri. Setelah ia pulang ke rumah, ia pikir akan ditanyai banyak pertanyaan, tapi ayah dan ibunya hanya menanyakan, "sudah pulang?" atau "bagaimana kegiatan ekskulnya?". Mereka benar-benar tidak bertanya lebih lanjut, bahkan ketika ia dipanggil turun dari kamar untuk makan malam, tidak ada yang penasaran.

Apa yang telah Indri lakukan kemarin sampai membuat orang tua Arya yang biasanya sangat perhatian malah terkesan agak cuek?

Arya memeriksa ponselnya ketika mengunci diri di kamar. Barangkali ada pesan yang masuk, harap-harap dari Irfan atau Faisal. Hanya mereka berdua yang tidak tahu kejadiannya. Wajar saja jika mereka akan menyerbu Arya dengan ribuan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Di antara seluruh daftar pertanyaan itu, tentang Alesia sudah pasti berada di urutan pertama. Sejujurnya, Arya tidak ingin mereka sampai menanyakan itu, Arya tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Tidak mungkin dia bilang begini, "Alesia sudah mati, kita ke kuburannya besok." Arya hanya dicurigai oleh mereka berdua dan akan dilaporkan ke polisi.

Tetapi, setelah melihat ponselnya, tidak ada pesan yang masuk selain dari operator nomor. Nah, ini mulai menjadi aneh, pasti kerjaan Indri. Apa yang dilakukannya benar-benar membuat Arya penasaran setengah mati? Apakah dia punya kekuatan spesial yang membunuh semua kecurigaan manusia? Besok saja dia tanyakan itu kepada Karen. Ia harus tidur dan beristirahat. Besok pagi ada kelas.

***

Paginya, setelah sarapan, Arya kembali ke kamar untuk memasang dasi. Ia hampir lupa dasinya masih belum melingkar di lehernya, dan juga ikat pinggang. Kalau tidak ada kedua barang ini, ia akan dikenai denda dan dihukum.

Arya tidak pernah kena hukum karena kelupaan.

"Arya!" teriak ibunya dari lantai bawah.

"Iya, sebentar!" Arya mengira ibunya menyuruh untuk buru-buru, tapi ia tahu tidak akan terlambat. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum gerbang ditutup. Jarak rumahnya ke sekolah cukup dekat, lima menit berjalan sudah sampai.

"Arya!" teriak ibunya lagi. "Ada temanmu yang datang!"

Teman? Arya mengernyit. Tidak pernah sekali pun ada teman yang datang menjemputnya. Siapa itu? Penasaran, Arya turun secepat yang ia bisa—masih menggenggam ikat pinggang yang belum dipasang. Ia melangkah menuju ruang tamu dan mematung melihat siapa yang mengenakan rok abu-abu sedang duduk di ruang tamu. Ibunya di sana, memberikan secangkir teh pada gadis itu.

"Terima kasih." Gadis berambut pendek sebahu dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya, sedang tersenyum kepada ibunya.

Arya mangap-mangap melihat Karen di sini, seperti orang yang sedang merapalkan doa. Kesulitan menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan keterkejutannya. Sejurus kemudian, ia baru teringat tentang pengawasan yang bakal dilakukan Karen untuk dirinya. Tapi, apa harus sepagi ini mulainya?

Bukannya pergi, ibu si Arya ini malah duduk sambil memeluk nampan. "Kamu manis banget. Siapa namanya?"

Karen tertawa sopan menanggapi pujian itu. "Karen, Tante."

"Oh, Nak Karen, sejak kapan berteman sama Arya? Tante tidak pernah ngelihat Arya bergaul dengan gadis secantik kamu."

"Sebenarnya baru, Tante. Minggu lalu."

"Gitu …." Angguk-angguk ringan. "Rumahnya dekat sini juga?"

"Agak jauhan sedikit, tapi karena searah dengan sekolah, jadi mampir sebentar."

"Sekelas juga?"

Karen menggeleng ringan. "Beda kelas, tapi satu ekskul." Ia menggunakan alasan satu ekstrakulikuler untuk membuat pertemanan mereka jadi masuk akal. Ibunya Arya tahu bahwa anaknya kuper dan kecil kemungkinannya kalau Arya berteman dengan teman kelas lain tanpa ada hal yang mengaitkan.

"Ekskulnya apa?"

Arya melotot. Itu pasti ditanyakan. Namun, Karen tetap anteng. "Potret Alam." Bukan jawaban yang lazim, bukan juga jawaban yang diharapkan Arya. Memangnya ada ekskul potret alam? Laki-laki itu segera masuk di antara perbincangan mereka.

"Ibu!" Arya mendelik, setengah malu melihat Karen di sini. "Ibu jangan tanya-tanya lagi, kesannya seperti sedang menginterogasi."

"Oh ya?" Ibunya tertawa. "Apa Tante seperti orang yang menginterogasi?"

"Sama sekali tidak, Tante." Karen tersenyum lagi. Agak sulit melihatnya sesopan ini, meski Arya sudah tahu sisi ramah gadis itu.

Arya menarik pelan ibunya dari kursi, memaksa beliau untuk kembali ke dapur. Arya mengingatkan masih ada ayah dan adik-adiknya yang harus diberi makan. Mereka masih tertidur pulas di pagi yang sibuk ini.

Setelah ibunya tak lagi terlihat, Arya duduk di sebelah Karen. "Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?" tanya Arya, berbisik tentunya.

"Kau lupa tugasku?" Karen menaikkan alis.

"T-tidak, hanya saja … kenapa sepagi ini?"

Karen tersenyum jahil. "Kau tidak suka melihatku sepagi ini?"

Arya merasakan wajahnya memerah. Bohong jika ia mengatakan "tidak", melihat Karen sepagi ini sama saja seperti dijemput bidadari cantik yang pemurung. Tapi, bukan itu permasalahannya, ia hanya tidak ingin ibunya berpikir macam-macam, apalagi sampai dilihat ayah dan adik-adiknya yang isengnya minta ampun. Mereka bisa mengejek Arya berminggu-minggu karena ketahuan punya teman lawan jenis.

Begitulah derita anak introver, yang sekali saja bisa berteman dengan seorang gadis, maka orang-orang mengira mereka berpacaran.

"Aku senang, tapi setidaknya kau telepon aku dulu," ujar Arya sebal.

"Bagaimana aku bisa meneleponmu?" tanya Karen. "Kau tidak pernah memberikan nomor teleponmu."

Baik, sekarang ini jadi salah Arya. Salahnya juga melempar kesalahan kepada Karen, diserang balik, kan, jadinya. Ia memberi nomor ponselnya kepada Karen, setelah itu langsung bergegas kembali ke kamar untuk beres-beres. Mereka harus pergi sebelum ayah dan adik-adiknya bangun. Jangan sampai mereka melihat Karen di ruang tamu.

Arya turun sambil menyandang tas. Ia mengintip masuk lewat dapur. "Bu, aku pergi." Setelah mencium tangan ibunya, ia berlari lambat melewati kamar ayahnya, menuju ruang tamu. Karen baru saja menyesap tehnya ketika Arya menarik lengan gadis itu untuk keluar.

***

Arya memandangi tangannya selama jam pelajaran fisika berlangsung. Ia penasaran tentang capit kemarin, itu tidak pernah lagi keluar. Sesekali Arya menirukan gerakan capit pada tangannya, barangkali itu membuatnya keluar. Arya sudah berbuat usaha lebih semalam untuk memancing capitnya keluar. Tetapi menjelang tengah malam, ia sadar usahanya sia-sia. Butuh latihan khusus sepertinya. Ia juga tidak bisa seenak jidatnya, Arya sudah diperingatkan Nil sebelumnya. Dan, Arya tidak tahu seberapa besar amukan Nil jika tahu Arya melakukan tindakan berbahaya di luar pengawasan Karen.

Seusai jam pelajaran fisika, Arya diingatkan oleh jadwal pelajaran bahwa kelasnya akan berpindah ke lapangan. Jam olahraga menanti.

"Oi, melamun?" Temannya, Dio, mengagetkannya. Laki-laki keriting itu sudah buka baju saja ternyata, menyisakan singlet putih di tubuhnya.

"Sedikit," jawab Arya seadanya. Ia mengeluarkan pakaian olahraganya dari dalam tas, berlipat-lipat. Itu yang membuat tasnya agak gembung—setiap Selasa tasnya selalu gembung karena pakaian. Karen juga mengamati itu tadi, ia menyarankan Arya untuk menyimpan pakaiannya di sebuah tas candangan agar bisa dijinjing ke mana-mana, supaya isi tas Arya tidak kepenuhan.

Arya mengamati kelas yang terasa lebih sepi. Cewek-cewek tak lagi di sini, mereka sudah pergi ke toilet untuk ganti pakaian. Dan, setengah dari murid cowok sudah melesat ke lapangan beberapa saat yang lalu. Laki-laki selalu bersemangat jika jam ini tiba, dan akan menjadi yang paling lelah dan bau jika pelajaran ini selesai.

Arya kemudian memandangi langit yang sangat biru, sama sekali tak ada awan. Berharap agak mendung, sih, ia tidak ingin bersimbah keringat, karena setelah ini masih ada jam pelajaran matematika dan PKN yang membuat kepalanya berasap-asap.