Arya dan Dio tiba di lapangan. Mereka belum melihat Pak Rehan yang menjadi guru olahraga mereka selama dua semester ini, tetapi bola sudah diamankan oleh teman-teman mereka. Ada pun sebagian besar murid laki-laki sedang menggiring bola di lapangan, beberapa kelompok lainnya sedang duduk di pinggiran, bercakap-cakap sembari menunggu kedatangan Pak Rehan.
"Aku duluan, ya!" Dio melambai seiring mendekati teman-temannya yang bermain bola.
"Ya." Arya tidak ada semangat untuk ini. Ia memilih duduk di pinggir lapangan, beberapa meter terpisah dari kelompok cewek.
Sejak dulu, ia tak pernah begitu aktif dalam pelajaran olahraga. Menurutnya itu sangat melelahkan dan bisa membuatnya pusing. Ketika jam olahraga menarik kelasnya, ia hanya perlu menyisihkan diri dari kelompok sebelum namanya dipanggil untuk mengambil nilai sebagaimana biasanya. Dan, minggu ini adalah waktunya pengambilan nilai, yang berarti Arya mau tak mau harus berpastisipasi. Hanya saja, ia tak tahu materi apa yang akan diuji, minggu kemarin ia kebetulan izin karena sakit.
"Arya."
Arya mendongak ketika namanya dipanggil. "Oh, hai, Ren."
Laki-laki berkacamata bulat itu duduk di sebelahnya. "Sudah sehat?"
Mereka belum bertegur sapa pagi ini, dan juga Arya tidak begitu akrab dengan laki-laki kutu buku ini, tapi satu-satunya hal yang bisa menyatukan mereka adalah jam olahraga. Cukup lucu jika dipikirkan bahwa mereka—hanya mereka yang tersingkirkan dari kelompok laki-laki di jam pelajaran ini. Setelah ini mereka pasti berpisah lagi, bergabung lagi dengan kelompok masing-masing.
"Sudah." Arya tersenyum saja.
Mereka hening selama beberapa saat, memandang teman-teman yang sedang bermain bola. Sesekali Arya menguap dan menguping perbincangan di antara kelompok cewek—kebanyakan gosip. Arya menghela napas.
"Padahal materi hari ini bukan bola besar, tapi dari mana mereka dapat akses untuk bola sepak itu?" tanya Rendy. Arya yakin Rendy sedang bertanya pada dirinya sendiri, jadi ia cuma membisu. Lalu, ia teringat tentang materi hari ini. Bukan bola besar? Lalu apa?
"Apa materi hari ini?" tanya Arya lurus.
"Lari."
"Serius?"
Rendy mengangguk. Sulit dipercaya jika Rendy mengada-ada, dia bukan tipe yang main-main.
"Aku tak siap untuk ini," kata Arya pasrah.
"Bukannya kau baru sembuh? Bilang saja kau sedang sakit kemarin."
Tidak bisa kalau begini. Jika Arya mengatakan itu, maka ia akan mengambil nilai di lain hari. Takutnya, di hari yang sama ketika ia mengambil nilai susulan, ia akan dipaksa mengikuti materi lain demi mengimbangi murid-murid lain. Itu akan membuatnya berusaha dua kali lebih keras. Alasan lain, Arya tidak ingin ketinggalan, bahkan di jam pelajaran ini.
"Tidak apa, biar aku atasi ini."
Tiba-tiba, peluit melengking dari arah belakang. Dio dan yang lainnya berhenti merebut bola, anak-anak cewek berhenti mengobrol, dan Arya serta Rendy menoleh ke belakang serentak. Pak Rehan akhirnya tiba dengan purit buncit yang selalu menyertainya. Pria botak bertopi itu meniupkan peluit dan menunjuk Dio dan teman-temannya.
"Bola itu, kemarikan!" ucapnya lantang.
Dio mengoper dengan kecewa. Sudah pasti disita, bukan waktunya main bola, sih.
Murid-murid disuruh berkumpul dan membuat barisan di hadapan Pak Rehan. Pria itu membuka buku absen dan mulai menyebut satu per satu nama. Setelah sesi absen berakhir, mereka mulai pemanasan, dipimpin oleh Dio. Di sela-sela pemanasan, mereka berdecak kagum ketika Dio dengan lenturnya melipat tubuh tanpa adanya kesulitan sama sekali.
"Dia terlahir untuk ini," gumam Arya. Ia juga melipat tubuh, tapi jari-jari tangannya berhasil memegang ujung jari kaki yang selama ini tak pernah ia sentuh dengan cara begitu. Orang-orang tidak sadar, Arya tercengang sendiri.
Pemanasan usai. Saatnya pengambilan nilai.
"Baik, Bapak akan menyebutkan nama kalian secara acak. Akan ada empat murid yang akan berlomba dari sini sampai ujung sana. Cowok lawan cowok, cewek lawan cewek." Pak Rehan kembali membuka buku absen, ia memanggil nama-nama yang terpilih. Arya bukan salah satunya. Bagi mereka yang tidak terpanggil, harus menunggu di pinggir lapangan.
Ia menguap lagi ketika empat murid mengatur posisi di belakang garis start. Rendy ada di sana. Betapa sialnya laki-laki itu sekarang begitu disejajarkan dengan tiga siswa tangguh dan bernapas kuda. Sementara cewek-cewek mendukung dan menyoraki salah satu laki-laki di sana.
Dio memperhatikan itu. "Entah apa yang istimewa darinya," gumamnya sebal.
Pak Rehan pun mengangkat tangan ke udara, dengan peluit berada di mulutnya. Keempat murid bersiap-siap di belakang garis. Seusai melihat jam tangan, peliut melengking di udara, dan lomba lari dimulai.
Tiga murid melesat bagaikan angin di musim panas, meninggalkan Rehan bak keledai lamban. Cewek-cewek bersorak riang ketika yang mereka dukung di posisi paling depan. Perlombaan itu selesai dengan cepat, memaksa Rendy finish di posisi paling akhir.
Melihat Rendy sudah seperti orang yang kehilangan separuh nyawanya di garis akhir, membuat Arya menekuri tanah. Ia tak percaya diri dengan lomba ini, sejak awal.
Yang menempati posisi pertama mendapat nilai 95, sedangkan yang paling akhir mendapatkan nilai 80. Setelah mencantumkan nilai di keempat kolom tabel (anak-anak yang baru saja berlomba), Pak Rehan memanggil nama-nama lainnya, kini murid cewek. Arya tak begitu memperhatikan lomba ini karena perhatiannya terpanggil pada Rendy yang pengin muntah di dekat salah satu pohon. Laki-laki yang malang.
Perhatiannya teralihkan lagi kepada lomba ketika hampir semua teman-temannya bersorak. Mendekati garis akhir, ada dua murid yang sedang sengit memperebutkan posisi pemuncak. Pada akhirnya, hanya ada satu yang memenangkan lomba ini dan yang mendapatkan posisi kedua hanya bisa tersenyum pasrah, agak kecewa juga.
"Mereka cepat juga!" kata Dio.
Arya diam saja. Detik-detik berlalu setelah Pak Rehan menuliskan nilai di buku absen. Giliran Arya akhirnya tiba, namanya disebut paling awal, disusul Dio, dan dua orang lainnya. Dio menjadi begitu bersemangat, apalagi satu garis start dengan Arya.
"Aku takkan mengalah," ucap Dio.
Arya hanya bisa meneguk ludahnya. Melihat dua tandingannya yang lain, berbadan tegap dan tinggi menjulang, mereka seolah hendak ingin memangsa Arya di garis akhir nanti. Sekarang Arya tahu, ia takkan bisa punya kesempatan, lagi pula ini hanya pengambilan nilai, posisi paling akhir pun diberikan nilai di atas KKM. Arya akan mengalah tanpa kelihatan.
"Oi, Adi! Kalau kau kalah, traktir kami!"
Arya melirik ke arah sebuah kelompok laki-laki yang paling ia hindari di kelas. Kelompok bermasalah, setidaknya begitu julukan yang tersemat pada diri mereka. Kelompok itu berjumlah lima orang, salah satunya sedang berdiri di sebelah Arya. Mereka sering mengganggu murid lain, meski tidak separah apa yang dilakukan kelompok-kelompok perundung di sekolah ini, tapi tetap saja meresahkan.
Dan, yang berteriak itu namanya Vito, laki-laki kurus sok keren. Ia selalu mengenakan topi dan melipat lengan seragamnya. Vito itu kurus dan kumal, tapi dia tak sadar diri. Vito selalu melepaskan dua kancing teratas pada seragamnya, seakan-akan ingin memamerkan otot-ototnya yang nihil—hanya kelihatan garis tulang rusuk seperti senar gitar.
"Bacot kalian!" Adi tertawa. Dia melirik sebentar pada Arya dan mulai menyeringai, kesempatan menang ada di tangannya.
Arya semakin tertekan.