Chereads / RAVAGER / Chapter 7 - Ruangan Gadis Itu

Chapter 7 - Ruangan Gadis Itu

Satu malam ia habiskan di rumah seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Dan, keesokan harinya, ia masih tidak bisa bergerak.

"Maafkan aku," kata Arya yang masih terbaring kaku di ranjang milik Karen. "Gara-gara aku kau jadi tidak bisa ke sekolah."

Karen tersenyum sambil menggeleng. Ia baru saja kembali dari dapur, memasak sarapan untuk Arya. Menunya adalah sepiring nasi dengan telur mata sapi yang dilumuri kecap, ditambah air mineral dingin. Karen menaruh piring dan gelas itu di meja bundar di dekat ranjang, ia duduk bersimpuh di sana sambil menggosok sendok dengan sehelai tisu.

"Tidak masalah," kata Karen. "Aku juga sedang malas ke sekolah." Setelah selesai menggosok sendok, ia mengangkat piring itu. Idenya adalah menyuapi Arya. Karen tahu laki-laki itu masih belum bisa bergerak. Ia memotong pinggiran telur dan menambahkan nasi di sendoknya. "Ah!" Karen menyodorkan sendok itu ke Arya.

"Karen, aku bisa—"

"Serius?" kata Karen sambil menaikkan sedikit alisnya. "Coba duduk."

Karen tidak bisa dibodohi, lebih-lebih dia adalah mantan mayat yang juga pernah berada dalam situasi yang sama dengannya. Arya hanya malu, dimasakkan makanan secara pribadi oleh seorang perempuan yang bukan ibu atau keluarganya sudah membuatnya berpikir ke mana-mana, sekarang dia malah akan disuapkan. Apa begini suasana rumah tangga? Dan, lebih dari itu semua, ia seratus persen sadar bahwa dirinya sedang berada di kamar Karen, dan berduaan dengan pemiliknya, bahkan pernah tidur di sini semalaman penuh. Bukan sesuatu yang didambakan dalam waktu dekat, tapi ini sangat sempurna.

"Tidak bisa, 'kan? Ayo, buka mulutmu, jangan sok tangguh."

"Aku bukan sok tang—!" Sebelum menyelesaikan kalimatnya, mulutnya sudah penuh dengan sesendok nasi dan potongan pinggiran telur.

"Konyol." Karen terkekeh-kekeh sambil mengetuk sendok di bibir piring. Ia meletakkan piring itu sebentar di meja. "Jangan makan sambil tiduran. Aku bantu kau untuk duduk." Karen berdiri membungkuk di samping Arya, ia memegang lengan yang terdekat, lalu menyelinapkan tangannya ke punggung Arya. Perlahan-lahan, ia mendudukkan Arya—laki-laki itu masih tampak meringis.

"Masih sakit?" tanya Karen agak iba.

Arya mengangguk. "Masih."

"Jangan khawatir, aku juga dulunya begitu. Butuh waktu seminggu bagiku untuk memulihkan diri."

"Seminggu?"

Karen mengedikkan bahu. "Bangkit dari dunia kematian bukanlah hal yang ringan." Tatapannya beralih ke angka 100 di lengan Arya. "Tapi, aku rasa kau hanya butuh dua hari saja, mungkin nanti sore kau bisa pulang."

"Kenapa berkesimpulan seperti itu?"

Karen duduk kembali di karpet, mengambil piring lagi dan menyendokkan nasi. "Karena kau terlahir di peringkat seratus besar dunia?" Ia mengangkat bahu. "Ah!" Bagaikan seorang ibu yang sedang menyuapkan anaknya dengan isyarat anak-anak, Karen tidak sadar itu sedikit memalukan untuk Arya yang sudah berusia 16 tahun. Ibunya saja bahkan tidak lagi memperlakukannya seperti itu di usia setua ini. Apalagi, ia merasa diawasi setiap detiknya oleh Fimelsya.

"Semakin tinggi posisi seseorang di dunia ini, semakin cepat ia memulihkan diri. Setidaknya itu yang dikatakan ayahku." Karen menambahkan. Ia juga pernah cerita bahwa dirinya terlahir dengan angka 3.534.222. Saat itu ia belum sekuat sekarang tentu saja. Tetapi, Karen ini bisa dikatakan sebagai Numerio yang brutal. Mengapa? Dalam kurun waktu yang cukup singkat, Karen berhasil menempatkannya diri sendiri di atas peringkat 300. Ada usaha yang sangat besar di balik prestasi berdarah itu dan jelas sangat menakutkan. Arya tidak mengetahui itu—belum, Karen belum ingin cerita. Belum saatnya.

"Mau minum?"

Arya mengangguk.

Karen memberikan segelas air mineral itu, tapi sedetik setelahnya ia tertawa terbahak-bahak karena teringat Arya masih belum bisa menggerakkan tangannya. "Maafkan aku!" Ia menyodorkan gelas sampai ke bibir Arya, lalu dituangkannya perlahan agar laki-laki itu tidak sampai tersedak. Setelah selesai, Karen mengembalikannya ke meja. "Aduh, maafkan aku. Ya ampun, tadi itu lucu sekali."

Arya hanya menyorotinya dengan tatapan sebal. Sulit untuk menyangka bahwa gadis pendiam yang baru ia temui kemarin dengan mata dan wajah tidak ramah bisa secerah ini … dan juga menyebalkan. Dan, jangan lupa sifat dewasanya, ia bukan anak kota manja yang hanya sibuk dengan media sosial dan status-statusnya. Dari apa yang Arya dapatkan Karen adalah gadis yang mandiri.

"Kau yakin aku akan pulih sore nanti?" tanya Arya. Tubuhnya ragu tentang prediksi Karen.

"Biasanya," ucap Karen. "Paling lambat besok pagi."

"Besok pagi?" bisik Arya tak percaya. "Aku tak bisa bolos dua kali, lagi pula mana mungkin aku bisa menginap lagi di rumahmu."

Karen mengibaskan tangan. "Santai saja. Kau di sini bukan hanya karena kondisi fisikmu, tapi juga …." Ia menunjuk dada Arya. "Jantung itu harus dipantau sesering mungkin. Dan, yang memantaunya bukan aku saja secara pribadi, tapi juga ayahku. Jadi, kau punya izin untuk tinggal di sini."

Arya tidak ingat apa yang terjadi kepadanya setelah kencan itu. Ketika keluar dari alam kematian, ia tiba-tiba saja berada di kamar Karen. Gadis itu menceritakan seluruhnya, bahkan saat pertarungan antara ia dan Alesia di belakang gedung plaza. Karen mengantarnya kemari sendirian karena tidak ingin membuat teman-teman jadi histeris melihat kondisi Arya yang mati sejenak tanpa jantung. Karen hanya memberi alasan sederhana kepada mereka bahwasanya ia dipanggil ayahnya untuk pulang, Karen juga memberi pesan rahasia kepada Indri terkait Arya dan Alesia. Hanya Indri yang tahu siapa diri Karen—meski hanya manusia biasa, Indri tahu betul keberadaan Numerio dan Sherper.

Mayat Alesia sudah diurus olehnya, tak tahu dengan cara seperti apa.

Kata Karen, ayahnya mengoperasi Arya seusai mereka pulang dari acara itu. Mereka melakukan transplantasi jantung milik Alesia ke dada Arya—Karen menjelaskan, tanpa adanya jantung, Numerio tidak akan bisa bangkit kembali. Hal itu juga berlaku kepada organ lain; otak dan hati.

Biasanya, jika seseorang yang ingin dibangkitkan kembali menjadi Numerio haruslah memiliki penyesalan. Penyesalan yang belum selesai. Itu merupakan syarat utama. Dengan kata lain, Numerio adalah orang-orang yang hidup kembali dengan penyesalan tiada akhir. Itu juga berlaku kepada Karen yang selama ini tidak pernah memaafkan dirinya karena kematian ibunya beberapa tahun yang lalu.

Tetapi! Kasus Arya berbeda. Laki-laki ini memang punya penyesalan—ia hanya ingin hidup dengan seseorang yang ia sayangi, tapi tak bisa terwujud. Karena itu ia dibangkitkan. Selain itu, jika seorang mayat tanpa jantung, atau otak, atau juga hati, ingin dibangkitkan kembali, haruslah mereka menggunakan jantung manusia biasa. Selama ini, mereka tidak pernah mendengar Numerio bangkit dengan organ dari makhluk lain, tetapi Arya pengecualian. Ia bangkit dengan jantung Alesia, sang Sherper.

Hal itu yang membuatnya harus dipantau selalu oleh Karen dan juga ayahnya. Mereka sempat berdebat soal ini. Jelas, ayahnya Karen tidak ingin mengambil risiko tinggi demi membangkitkan Arya kembali. Ia tak tahu apa yang akan terjadi jika Numerio hidup dengan jantung milik Sherper. Namun, Karen terus meyakinkan ayahnya selama dua jam penuh. Berbagai macam bujukan terus gadis itu lontarkan, itu membuat ayahnya jadi heran. Selama ini, Karen tidak pernah sekeras itu demi orang lain selain keluarganya, dari yang ia tahu Karen adalah anak yang cenderung menjauhi teman sebayanya.

Ia pun akhirnya mengiyakan dan operasi pemindahan jantung itu dimulai.

Berjam-jam setelah operasi selesai, Arya kembali dari alam kematian. Dan, sejak itu, ia tak pernah bertemu dengan ayah Karen sampai pagi ini.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Arya setelah diam yang cukup lama, setelah ia selesai sarapan dan Karen duduk di meja belajarnya.

Pertanyaan itu akhirnya terlontar keluar. Karen pikir Arya tidak akan menanyai itu. Namun, ia masih belum punya jawaban, atau setidaknya alasan yang logis yang tidak sampai menunjukkan rasa sukanya kepada Arya.

Karen mengetuk meja belajar, berpikir keras.

"Aku hanya manusia biasa, bukan siapa-siapa. Kita bahkan tidak belum saling mengenal dan bahkan tidak sempat berkenalan." lanjut Arya. "Kenapa?"

Mata Karen terpejam. Buku itu ia tutup dan ia beranjak untuk duduk di sebelah Arya. Dalam sorotan mata yang tajam, Arya dapat melihat bayangan dirinya di mata coklat Karen. Tiba-tiba, Karen mengulurkan tangan.

Melihat itu, Arya jadi kebingungan. "Maksudnya?"

"Kau bilang kita belum berkenalan, jadi ayo." Karen menunggu laki-laki itu menyambut tangannya.

"Anak tolol dari mana kau ini?" desis Arya. "Aku tidak bisa bergerak."

Kenyataan itu menggelitik perut Karen sampai membungkuk menahan perutnya yang tiba-tiba jadi sakit. Arya yakin ia sedang tertawa, bukan sedang menahan sakit, tapi hanya suara napas yang keluar dari mulut yang terbuka lebar itu. Sesekali ia menepuk pelan paha dan mendorong bahu Arya.

"Aku …." Ia mencengkram celana Arya, masih tergelitik. "Maaf, duh, aku kasar sekali, tapi itu lucu sekali. Aku … aku tidak bisa berhenti tertawa." Ia mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. "Maaf, kita ulangi."

Setelah puas tertawa, Karen mengambil tangan kanan Arya dan menjabatnya. Ia mulai, "Aku Karen Camilla dari kelas XI.IPA.4."

"Aku Arya Ardhinata dari kelas XI.IPA.3."

Karen tersenyum lebar hingga gigi depannya kelihatan. "Dengan begini, kita resmi berkenalan."

"Itu …." Mereka saling melepaskan. "Itu hebat, tetapi bukan itu yang kutanyakan, kau tahu itu."

Karen menghela napas pasrah. Tadi itu sebenarnya cukup bagus untuk mengalihkan perhatian Arya dari pertanyaannya, tetapi tampaknya Arya tidak akan lepas dari itu sampai dirinya terpuaskan dengan jawaban dari Karen. Namun, masalahnya ada di Karen, apa dia siap untuk mengatakan yang sebenarnya? Wajar Arya ingin jawaban, mereka tidak pernah berteman sebelumnya dan seingat Arya mereka baru pertama kali bertemu. Itu membuatnya penasaran, mengapa Karen bertindak sejauh ini untuknya, membangkitkannya kembali dari alam kematian?

Karen malu dan takut. Ia malu jika harus mengatakan yang sebenarnya dan takut kalau Arya tidak menerimanya.

Jantungnya berdetak lebih cepat—ia meremas alas kasurnya sendiri. Karen sadar, tidak ada jalan lain, jika ia berbohong Arya akan mengetahui. Ia tidak begitu pandai berbohong.

"Kau tidak mau jaw—!"

Burung-burung di luar sana berkicau, melompat-lompat dan mengawasi, tapi mereka tak pernah mengawas ke dalam. Dalam beberapa detik yang singkat, Arya seakan merasa rohnya melayang lagi. Tubuhnya bagaikan patung yang dipahat disengaja dengan reaksi kaget. Ketika Karen menyingkirkan tangannya dari pipi Arya dan menjauh, wajahnya memerah. Itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, mereka hanya saling pandang, mencoba mencari arti dari mata masing-masing.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Karen merelakan ciuman pertamanya.

Selang beberapa detik kemudian, kesadaran pada diri Arya yang tadinya bubar ke mana-mana berkumpul kembali, memicu rasa kaget yang terlambat dan refleks ingin menutup mulut. Seketika, Arya meringis kesakitan.

"Aduh, duh." Ia lupa tubuhnya masih tidak bisa digerakkan

"K-kau tidak apa?" tanya Karen khawatir, tangannya meraba-raba ruang kosong—ragu untuk menyentuh setelah apa yang ia lakukan tadi. "Jangan digerakkan dulu tubuhmu."

Arya ingin berterima kasih atas peringatan tidak berguna yang dilontarkan Karen, seolah-olah ini bukan salahnya. Ini salah gadis berambut sebahu itu. Arya terlalu terkejut. Dicium begitu tanpa adanya persiapan atau aba-aba bukanlah tebakan yang mudah. Lebih-lebih, ia pernah mati sebelumnya, berawal dari sebuah ciuman yang diberikan oleh gadis yang baru ia kenal. Bisa dikatakan, Arya agak trauma.

Karen kembali dari dapur setelah mengisi segelas air. Ia duduk kembali di sebelah Arya, menungguinya dari sakit yang masih menghujam. Kini, Arya tahu rasa sakit yang Karen sebut malam tadi, ternyata melebihi ekspetasinya. Ia kira hanya nyeri dan akan berlangsung sebentar, tapi justru seperti api yang membakar sel-sel tubuh.

"Sudah mendingan?" tanya Karen.

"Aku tak menyangka bisa sesakit ini." Hanya suara napas Arya saja yang keluar, tapi kenyataannya Arya sudah bertahan sangat kuat.

Karen pernah merasakan hal yang sama dan ketidaksengajaan membuat dirinya berteriak karena menahan rasa sakit. Jadi, ini perbedaan antara peringkat seratus dunia dengan dirinya? Karen jadi ciut.

"Minum, ya?"

Arya mengangguk. Karen menyodorkan gelas itu ke bibirnya, menuangkan dalam gerakan yang hati-hati, menunggu air dalam gelas sampai habis tak bersisa. Setelah minum, Karen menaruh gelasnya di atas meja bundar. "Kalau mau minum lagi, beritahu aku." Karen berharap Arya ingin minum lagi agar ia bisa pergi ke dapur dan melompat-lompat, meninju udara, atau apa pun yang bisa melenyapkan rasa malunya. Ia ingin menutupi wajahnya dari Arya untuk sejenak saja. Setelah itu mereka bisa saling bertatapan lagi.

Sayangnya, kerongkongan Arya sudah basah lebih dari cukup. Ia berpaling menghadap jendela. Jujur, Arya ingin keluar untuk berjemur dan ingin berkeliling, Arya tidak tahu seluas apa rumah Karen dan bagaimana tampak depannya. Apa Karen punya seseorang selain ayahnya di rumah ini? Sepanjang pagi, Arya tidak mendengar apa pun kecuali seruan ayah Karen yang pamit keluar dua jam lalu.

Lonceng berbunyi. Arya menaruh perhatian kembali ke Karen. Gadis itu sedang menengok ponsel.

"Kak Indri," katanya memberitahu. Indri tidak menelepon, hanya sekedar memberi pesan lewat SMS.

Di sana ia sudah memberi "OK" tentang izin dari orang-orang rumah di Arya. Indri datang langsung ke rumah Arya bersama teman-temannya dari organisasi untuk memberitahu kabar tentang Arya. Mereka berbohong tentang Arya yang menginap di rumah Karen, menggantikan kebenaran itu dengan alasan sedang bermalam di tempat lain karena kegiatan ekstrakulikuler dari sekolah. Meski pada awalnya orang tua Arya sempat meragukan—karena anak mereka tidak pernah masuk kegiatan apa pun di sekolah—Indri berhasil memanipulasi mereka.

"Kau tidak perlu lagi khawatir dengan orang tuamu, kau sudah mendapat 'izin' mereka," kata Karen.

"Apa yang Indri lakukan?"

"Yah, kurasa dia … melakukan pekerjaannya seperti biasa." Karen menaruh ponsel di meja belajar, tepat di samping tumpukan buku.

"Sebenarnya, dia siapa?"

"Yang pasti dia bukan mahasiswi. Bukan. Gadis itu … anggap saja dia adalah pengawas dan pelindungku. Dia orang yang bertanggung jawab di B.P.N.S."

"B.P.N.S?"

"Badan Pelindung Numerio Swasta," katanya. "Itu adalah organisasi yang dibentuk untuk melindungi dan mengawasi pekerjaan Numerio. Aku dulunya terdaftar di sana saat masih aktif berburu, sekarang tidak, aku memutuskan untuk hidup kembali seperti gadis biasa."

"Apa itu boleh?"

Karen menggeleng. "Sebenarnya itu tidak diizinkan, tapi Indri membantuku. Dia rela melakukan pekerjaan dua kali lebih berat demi membantuku keluar dari sana." Dia menjeda sejenak. "Dan, karena itu, aku selalu berhutang budi padanya. Alasan aku menghadiri kencan yang dibuat oleh temanmu itu juga karena Indri. Jika tidak, aku tidak berada di sana."

"Jika tidak, aku juga tidak akan berada di dunia ini lagi." Arya tersenyum pahit. Pun mengundang rona merah pada wajah Karen, ia tahu ini hanya kebetulan—kebetulan yang sangat mengerikan lebih tepatnya, tapi Karen lega karena itu.

"Kebetulan," ucap Karen, menoleh ke tempat lain yang tidak ada Arya-nya di sana. Kini, ia berdiri sambil bersandar pada dinding, melipat kedua lengannya di bawah dada, dengan bahu yang sedikit merapat ke arah satu sama lain. "Tapi, untung saja."

"Kau senang?"

"A-apa maksudmu aku senang?"

Arya menyeringai. "Aku melihat raut wajahmu. Kau senang, 'kan?"

"Aku—!" Karen menghela napas kasar, tidak ada gunanya berdebat. Ia sudah tertangkap basah, bukan baru-baru ini, tapi sejak tadi, sejak ciuman itu. "Oke, aku senang, kau puas? Berterima kasih-lah."

"Terima kasih dan terima kasih juga."

"Kenapa ada dua?"

"Yang pertama kau telah menyelamatkanku, dan yang kedua karena kau sudah menciumku."

Baik, cukup. Arya sudah membuat Karen tercekik karena rasa malunya. Jika ada lobang yang cukup dalam di sini, ia pasti akan melompat masuk ke sana. Maka, gadis itu berjalan ke sana-kemari demi mencari sesuatu untuk menyembunyikan rasa malu yang menyelimutinya, tetapi ke mana pun ia pergi, mata biru pucat Arya selalu mengikuti. Alhasil, tangan pun ia jadikan sebagai tameng untuk menghalau wajahnya.

"Jangan ingatkan itu!" bisik Karen. Tapi ia sendiri tak kalah senang setelah Arya berterima kasih. Karen pun membuka celah antara jari tengah dan manisnya. "Kau menyukainya, eh?"

"Tentu. Itu bahkan lebih baik ketimbang Sherper yang membunuhku."

Dengan sebal, Karen menurunkan tangannya. "Jangan bicara tentang dia, cukup aku saja." Wajah cemberut dengan pipi yang gembung, reaksinya sama seperti tokoh anime yang Arya tonton akhir-akhir ini. Itu menggemaskan.

"Kenapa? Kau cem—"

"Aku tidak senang," kata Karen. "Aku cemburu. Jujur saja."

"Oke, baik, tapi kenapa kau terdengar sangat angkuh?"

Karen tertawa renyah di depan pintu. "Aku suka menjadi angkuh, itu membuatku lebih percaya diri. Kau harus mencobanya."

"Mungkin." Arya membayangkan dirinya bersikap seperti itu, tapi setelah beberapa saat ia memilih untuk menggeleng. "Tampaknya tidak cocok. Kau saja."

Karen mengedikkan bahu.

Jam makan siang tiba. Karen kembali dari dapur setelah memasak untuk mereka berdua. Ayah Karen masih di luar, mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan Arya. Karen tidak cerita lebih detail, Arya hanya disuruh menunggu.

"Jadi, kau menyukaiku, ya?" tanya Arya tiba-tiba, membuat Karen tersedak nasinya sendiri.

Karen mengusap bibirnya, dan …. "Hah?!" kagetnya.

"Aku tanya saja."

"T-tapi, kenapa tiba-tiba? Kau bisa tanya nanti setelah kita makan!"

"Aku hanya kepikiran sekarang. Aku tidak pernah merasa disukai oleh seorang gadis sebelumnya. Ketika memikirkan ini, aku jadi sangat penasaran."

Karen meletakkan sendoknya. Ia tidak langsung menjawab, walau perasaannya sudah terlihat sangat jelas, tetap saja itu agak memalukan. Setelah beberapa saat yang hening—hanya sebentar—Karen menghadap penuh kepada Arya, tanda ia benar-benar ingin diperhatikan, ingin ditatap oleh mata pucat itu.

"Kau tidak akan tertawa?" tanya Karen memastikan.

"Apa maksudmu tertawa, bukankah sudah sedikit agak jelas?"

Panjang sekali helaan napas Karen. Ketika ia hendak bersuara, suara laki-laki dewasa memenuhi rumah, membuat mereka berdua tersentak. Karen berdiri, buru-buru pergi ke koridor. Ia membalas. "Ya?"

"Bawa anak itu kemari, Karen!"

Ayah Karen sudah pulang dan sepertinya membawa berita serius.

"Ayah saja yang kemari!"

Tidak ada balasan. Tapi, beberapa saat yang kemudian, seorang pria berkumis tebal dengan kameja putih membungkus tubuhnya datang di hadapan Arya. Kekar dan gagah, tapi juga sangar. Rambutnya hitam penuh, tanpa ada tanda penuaan, tapi wajah itu berkerut—tidak membohongi usia.

"Kau sudah bangun, Nak?" tanyanya.

"Y-ya." Arya mengangguk, setidaknya berusaha untuk itu. Ia ingin berdiri."

"Tidak perlu berdiri. Karen, bantu ia untuk berbaring." Pria itu beranjak ke jendela kamar, kain gorden itu ditutup rapat-rapat. "Seseorang tidak boleh sampai mengintip."

Setelah Arya terbaring, ayah Karen mendekat. "Bagaimana perasaanmu, Nak?"

"Kurasa … tidak bisa bergerak?"

"Itu wajar."

"Apa yang Ayah dapatkan?" tanya Karen.

"Yah, ini sesuatu yang tidak pernah terjadi. Tapi, semuanya tampak stabil, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya perlu …." Dalam gerakan yang tidak bisa ditebak, ayahnya Karen itu menarik sebilah belati dari sabuk, lalu melayangkannya kepada Arya.

Teriakan muncul, itu Karen, tapi Arya dengan cepat mengangkat tangannya ke depan—seakan rasa kaku itu hilang seketika—demi melindungi dirinya. Suara berdenting menembus gendang telinga mereka. Arya terpejam—apa dia mati? Ketika ia membuka matanya secara perlahan, Arya langsung terbelalak.

Sebuah capit besar dan hitam tampil di depannya. Begitu kokoh dan bersinar terkena sorotan lampu. Belati tadi tidak tertancap di kepalanya, seperti apa yang ayah Karen niatkan. Belati itu jatuh di atas meja belajar Karen.

"Ayah, apa yang kau—"

"Sesuai dugaanku." Dahi ayah Karen berkerut, tak peduli apa yang akan dikatakan putri semata wayangnya. "Anak ini setengah Numerio setengah Sherper."

Semua pasang mata memandangi lama capit itu, dengan perasaan bingung dan takut. Arya lebih kepada takut setelah ayahnya Karen mengumumkan itu, tentang ia adalah bagian dari Sherper.

"Itu sama seperti apa yang dimiliki Alesia," kata Karen sambil mengusap capit Arya.

"Itu masuk akal. Setelah kita memasukkan jantung Sherper itu ke dalam diri anak ini, bagian dari Sherper tersebut pasti tercampur dan membuatnya hidup di dalam tubuh Arya."

Bagian diri Alesia hidup di dalam Arya? Mendengar itu, Arya dan Karen saling menatap satu sama lain. Rasa takut menggebu di dalam dirinya. Apa itu berarti ia akan menjadi kanibal juga? Dan, akan mencelakai Karen suatu saat nanti?