Chereads / RAVAGER / Chapter 6 - Alam Kematian

Chapter 6 - Alam Kematian

Arya terkesiap saat dirinya terbangun di sebuah kelas. Napasnya putus-putus seperti orang yang baru saja berlari sepanjang ratusan meter. Seragam yang ia kenakan basah karena keringat yang bercucuran, ia seperti dicekik—sangat sesak! Arya bersandar pada kursi kayu itu, menghadap papan tulis putih yang amat bersih—seperti tak ada noda spidol yang sulit dibersihkan.

Arya ada di mana?

Kelas yang kosong dan sunyi, pun gelap. Ia memandang ke sekeliling, meja-meja yang diperuntukkan untuk murid tidak ditempati oleh satu murid pun. Hanya dia yang berada di sini, sendirian.

Arya memandang ke luar jendela. Dilihatnya hanya kegelapan yang menguasai, ia tak bisa melihat langit—tidak ada rembulan yang menggantung di atas sana. Begitu sunyi, seekor jangkrik bahkan tidak bersuara malam ini.

Ia melihat tangan-tangannya. Pucat dan sedikit bergetar. Arya terperanjat saat pintu kelas diketuk dari luar dan dibuka secara perlahan, menampilkan seorang wanita berkacamata persegi dengan pakaian formal layaknya seorang guru sekolah. Wanita itu tersenyum padanya ketika melangkah ke meja guru, dia membawa dua buah buku di tangan kanan dan menggantungkan sebuah tas merah di bahu kirinya.

"Selamat malam," katanya penuh senyuman.

Arya tidak langsung menjawab. Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya, seperti perang yang sedang memanas. Tetapi, tak satu pun yang berani keluar dari mulutnya.

"Hanya Arya Ardhita saja yang hadir?" tanya wanita itu.

Refleks mengangkat tangan, Arya menjawab, "Sebenarnya, Ardhinata."

"Ah, maafkan aku. Di sini tertulis 'Arditha'. T-tapi, lupakan saja itu. Akan kuubah." Dia mengeluarkan sebuah pena dari dalam tas merahnya, wanita itu mencoret kolom tabel yang memuat nama Arya, ia pun menggantikannya dengan nama yang sebenarnya. "Selesai."

Pena itu ia letakkan di sebelah buku.

"Yah, sangat menguntungkan hanya kau saja yang hadir di sini," kata wanita itu sambil memainkan bibirnya. "Dunia kematian terlalu sibuk dengan masalah kebangkitan, banyak orang mati yang dibangkitkan kembali untuk menjadi Numerio atau pun Sherper. Beruntung bagi mereka yang tidak lolos dalam seleksi itu, kebanyakan dari arwah-arwah itu sedang berada menikmati masa istirahat mereka."

Arya hanya melongo, ia tak paham satu pun kata yang meluncur cepat dari mulut wanita itu. Arya angkat tangan. "Maaf."

"Ya, ada apa?"

"Aku tidak paham." Arya menggeleng. "A-apa maksudmu tentang kematian? Apa ini dunia kematian?"

"Kurang lebih seperti itu." Wanita itu tersenyum.

"Tapi, kenapa—"

"Kenapa sangat berbeda dari yang kau bayangkan?" Ia berhasil menebak isi pikiran Arya dan itu membuatnya bangga pada diri sendiri. "Itu tergantung pada dirimu saja sebenarnya. Dunia ini didasarkan pada sifat dan karakter dari seorang manusia. Gambaran dari dunia ini terbentuk dari seberapa besar pengaruh seseorang di dunia. Entah ia hanya menghabiskan waktu di dunia dengan berbuat kebaikan, kah? Atau juga sebaliknya. Tergantung."

"Lalu, kenapa aku diletakkan di sini?"

Wanita itu tersenyum. "Apa kau tidak penasaran bagaimana kau mati, bung?"

Arya tutup mulut. Ketika wanita berkacamata itu mengibaskan tangannya ke udara, muncul layar persegi yang samar-samar menampilkan tayang ulang antara ia dan Alesia, serta bagaimana jantungnya terpisah dari tubuh ketika mereka sedang berciuman.

"Kalian sangat romantis!" Wanita itu tiba-tiba saja berada di sebelah Arya sambil bersorak seperti seorang penggemar berat yang kepanasan. "Tapi, sayangnya, dia adalah Sherper."

Layar tersebut menghilang dengan sendirinya setelah tayangan ulang selesai.

"Apa itu Sherper?" tanya Arya.

"Yah, singkatnya, dia adalah seorang kanibal."

Arya merinding ketika mendengar itu. Membayangkan dirinya berkencan dengan seorang kanibal lebih dari setengah jam sudah terasa seperti mimpi buruk saja, tapi ini adalah kenyataan. Alesia telah memangsanya, seperti apa yang ditayangkan di layar tadi, dan juga telah merebut ciuman pertamanya.

"Tapi, tenang," kata wanita itu, mengacak-acak rambut Arya. "Bukan hanya kau saja yang mengalami hal itu." Ia kembali ke meja guru.

"Apa maksudmu?"

"Sherper adalah makhluk yang dianugerahi dengan kemampuan menyamar yang sangat luar biasa. Mereka selalu berwujud sebagai manusia yang rupawan demi menarik mangsa. Jadi, tak heran kalau banyak manusia yang jatuh cinta kepada mereka dalam pandangan pertama."

"Sepertinya, aku berbeda." Arya menggosok lengan kirinya dengan canggung. "Ketika pertama kali aku bertemu dengan Alesia, ia terasa seperti orang yang … harus kuhindari, meski alasan pertamanya bukan karena dia adalah Sherper atau semacamnya."

Arya adalah orang yang selalu gugup dengan situasi. Ia tidak bisa tahan jika berada di dekat orang yang menarik perhatian besar. Dan, seseorang yang berada di sini selain dia mengetahui alasan sederhana itu.

"Pada intinya kau adalah pecundang."

Arya tersedak ludahnya sendiri mendengar itu. "T-tidak, bukan begitu, aku bukan pecundang. Aku adalah juara kelas yang sukses dalam tahun pertamanya sebagai murid SMA."

Menengok ke arah lain, wanita itu mengejek, "Tak menarik. Pantas saja seumur hidup kau tidak pernah akrab dengan para gadis, orangnya saja pacaran dengan buku setiap malam."

Itu tak dapat dibantah, tapi Arya sudah tersinggung sejak awal. Ia menunjuk wanita tersebut dengan keberanian yang muncul entah dari mana. "Apa kau pernah berkencan dengan seseorang yang lebih populer darimu?"

Sambil terkekeh-kekeh, wanita itu melambai. "Aku tidak pernah berkencan dengan orang yang seperti itu, karena di alam ini akulah yang paling populer."

"Bohong!" cibir Arya.

"Kau tidak percaya padaku?" bentaknya. Wanita tersebut menjentikkan jarinya, tak lama kemudian—suasana yang tadinya gelap berubah ceria—di luar kelas ini banyak makhluk-makhluk dengan bermacam jenis bermunculan. Semuanya buruk rupa dan lebih jelek dari apa yang selama ini dapat Arya bayangkan. Mereka menempelkan wajah-wajah bundar, segitiga, dan berbentuk tak jelas itu di jendela. Air liur di mulut mereka tumpah seiring mereka melolongkan nama wanita itu.

"Fimelsya!"

"Fimelsya!"

"Fimelsya!"

Seperti itu. Dia tampak dipuja oleh mereka. Makhluk-makhluk itu semakin berisik, sehingga Arya harus mengatup kedua telinganya. Lolongan mereka bagaikan teriakan orang yang menderita.

Tatkala jarinya dijentikkan lagi, suasana kembali seperti semula.

Wanita itu—Fimelsya—mengangkat kedua alisnya, tampak bangga karena telah menampakkan bukti yang konkret.

"Jadi, namamu Fimelsya," ucap Arya. "Nama yang asing."

"Itu bukan nama asliku, tapi makhluk-makhluk di sini menyebutku begitu."

Arya tak menanyakan itu lagi lebih jauh. Nama sepertinya bukan menjadi sesuatu yang penting di alam ini.

"Lalu, apa yang harus kulakukan di sini?" tanya Arya.

"Di sini?" Fimelsya menggeleng sambil mendecak berkali-kali. "Kau tidak akan melakukan apa-apa di sini. Kau akan dibangkitkan."

Dia tidak terkejut dengan berita itu. "Lalu, aku akan menjadi Sherper?" Jika saja ia dibangkitkan kembali menjadi Sherper, mungkin ia bisa berpacaran dengan selebritas papan atas atau mungkin menikahi anak presiden.

Bukan suatu ide yang buruk untuk menjadi kanibal yang berbahaya, pikir Arya.

"Kau tidak akan menjadi Sherper dan tidak akan menikahi anak presiden." Fimelsya memberi tatapan datar yang menyakitkan.

Arya mengerucutkan bibirnya.

"Kau akan menjadi Numerio dan … memiliki kekuatan untuk melindungi umat manusia." Dalam sekali tarikan napas, Fimelsya sudah berdiri tepat di sebelahnya. Ia menepuk lengan kanan atas laki-laki itu hingga memerah. Arya menjerit sebentar, kemudian meringis. Ia ingin protes, sebelum Fimelsya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir laki-laki tersebut. "Kau tidak akan marah jika melihat lenganmu terlebih dahulu."

Arya mengernyit, tapi pada akhirnya ia menurut. Ia menggulungkan lengan baju sampai ke pinggir pundak. Dalam kilauan sinar emas dengan aura merah darah, tercetak angka 100 pada lengan kanan bagian atas.

"Seratus?" tanya Arya.

Fimelsya pada awalnya hanya diam memerhatikan itu, tapi ia angkat suara saat Arya mengguncang pelan tubuhnya.

"Kau berada di urutan ke-100 dalam dunia Numerio."

"Oke?" Kepala Arya teleng, ia ingin meminta lebih banyak penjelasan. "Lalu?"

"Anak ini …." Fimelysa menggeleng bosan. "Kau berada dalam urutan ke-100. Artinya, kau adalah Numerio terkuat ke-seratus di dunia."

Arya masih melongo kebingungan. "Jadi, ada berapa Numerio di dunia ini?"

"Jika perhitunganku tidak meleset, Numerio yang tersisa di dunia sejak Dinasti Shang sampai sekarang berjumlah 4.233.981 orang."

Arya terbatuk, lalu melompat dari kursinya. Empat juta lebih Numerio sedang berkeliaran di dunia ini dan ia menjadi Numerio terkuat ke-seratus? Apa ia sedang bermimpi? Arya berkali-kali memandangi angka 100 di tangannya dan Fimelsya secara berulang-ulang. Mulutnya yang menganga seperti orang tolol membuat wanita berpakaian formal itu mengungkit bibirnya.

"Aku kuat?" tanyanya.

"Sayangnya begitu. Aku juga kaget angka itu justru muncul pada dirimu. Bahkan, melebihi gadis yang menolongmu."

"Gadis?"

"Ya, Karen Camilla dengan nomor Numerio 299 telah menyelamatkanmu dari Alesia. Jika bukan karena dia, kau tidak akan bertemu denganku di sini, tapi dengan Penjaga lain."

Karen? Berarti sejak awal dia adalah mayat hidup yang tidak ada bedanya dengan Alesia. Tetapi, kenapa dia menyelamatkan Arya? Oh, hari ini benar-benar gila. Ia sudah berbicara dengan sepasang mayat hidup yang telah merasakan kematian lebih dulu darinya.

"Kenapa dia menyelamatkanku?" tanya Arya.

Fimelsya hanya angkat bahu. "Bukan urusanku. Tanyakan saja nanti kepadanya. Kau akan kembali kepada Karen Camilla."

Arya tak bisa menahan rasa gembiranya, ia tak sabar. Ia tak sabar untuk kembali ke dunia ini. Ia tak sabar untuk menanyai ini kepada Karen. Ia tak sabar untuk memeriksa kekuatannya. Ia ingin bernapas lagi seperti makhluk hidup pada umumnya.

"Tapi, sebelum itu ingat ini!" kata Fimelsya. "Kau mungkin akan diburu, bung. Dunia setelah ini bukanlah dunia yang aman untukmu. Kau harus bersiap."

Arya hanya mematung. Setelah mendengar itu, ia merasa tegang lagi. Ketika Fimelsya menjetikkan jemari dan mengucapkan salam perpisahan, dunia jadi terasa sangat silau. Ia ingin mengangkat tangan untuk menghalau sinar yang datang, tetapi tubuhnya mendadak terasa sangat kaku.

Apa yang terjadi? Di mana ini?

Arya tak bisa bergerak, tapi ia meyakini dirinya sedang berbaring di suatu tempat. Ketika pandangannya masih kabur, sesuatu yang berbentuk oval dengan helai-helaian rambut muncul di depan penglihatannya, menutupi silau itu darinya. Arya berkali-kali berkedip, mencoba untuk fokus dan menajamkan penglihatannya.

"Arya?"

Ia menangkap suara perempuan, tapi tak begitu mengenalinya. Saat penglihatannya sudah mulai cerah, Arya merekam wajah seseorang dengan matanya.

"Karen?"

Gadis itu tersenyum, sambil mengatakan, "Selamat datang kembali."