Heros memutar matanya dengan malas. Ia yakin siluman rubah itu sedang mencoba menipunya. "Katakan saja jika kau ingin selalu numpang makan denganku!"
"Apa katamu?! Aku tak begitu!" tukas siluman rubah itu dengan wajah kesal. Ia tak suka dituduh seperti itu.
"Dengar ya! Kalau kau tak mencederai tanganku, aku bisa menangkap seratus ekor ikan seperti itu!"
"Ha ha. Ya … ya … anggap saja aku tak mendengarnya." Heros berkata dengan mencibir. Ia bangkit dan mencuci tangannya yang pekat dengan cairan merah amis. Rasanya ia benar-benar malas mendengarkan omong kosong siluman rubah itu.
"Sebaiknya aku segera berangkat saja mencari Saint itu. Dia pasti makin jauh sekarang," batin Heros.
Kemudian Heros menatapi siluman rubah itu dengan galaknya.
"Aku peringatkan kau untuk tidak mengikutiku!" ketusnya pada siluman rubah itu. Sebelum kemudian ia melompat ke atas pohon dan berlari dengan lincah dibatangnya. Berpindah dengan melompat dari satu dahan ke dahan yang lain.
"Tunggu!!"
Heros mendesah. Suara siluman itu memaksanya berhenti. Walau dirinya sama sekali tak ingin mendengarkan ocehan siluman rubah itu, namun entah mengapa tubuhnya tak dapat diajak berkompromi.
"Ada apa lagi?" balas Heros dengan nada tinggi. Ia merasa tak memiliki kepentingan dengan siluman kecil itu, tetapi entah kenapa ia malah tetap berhenti dan menggubrisnya.
Siluman rubah itu nampak ragu. Tatapan matanya seketika berubah menjadi sayu dan ia nampak sedih dan takut. Apa kini Heros membuatnya ketakutan? Heros jadi memperbaiki sedikit mimik wajahnya. Ia membuang napas agar emosinya sedikit reda dan wajahnya jadi datar. Begini mungkin lebih baik.
"Bi-bisakah kau … membawaku?" lontarnya dengan nada ragu. Matanya penuh harapan.
Tapi Heros malah menggeleng dengan cepat, membuat matanya berkilat karena kecewa.
"Aku mohon … bawa aku bersamamu," pintanya lagi. Kali ini ia sedikit memaksa.
"Sekali tidak! Ya, tidak!" tolak Heros. "Lagi pula aku tak punya niat untuk terus bersikap lunak padamu!"
Heros berdiri dengan tegak, ia menegaskan lagi. "Lain kali, sebaiknya kau tak muncul dihadapanku … atau kau mungkin akan mati di tanganku!"
Siluman rubah itu jadi kesal.
"Cih! Sebelum kau membunuhku, Hanzai pasti sudah lebih dulu menghabisi kita berdua!" serunya sambil bersungut-sungut membuat Heros segera berbalik menatapnya.
"Hanzai?"
Siluman itu menatap Heros dengan marah. "Iya! Kau benar-benar tak tahu apa-apa! Sekarang ini, populasi kita terancam, tau!"
Apa maksudnya? Siapa Hanzai? Apa pekerjaannya mirip-mirip dengan manusia narsis yang ditemuinya beberapa minggu lalu? Apa dia pemburu siluman juga? Heros tercenung mendengar penuturan Siluman rubah kecil itu.
"Aku tak peduli siapa pun Hanzai yang kau sebut itu … Kalau hanya manusia biasa, aku bisa mengatasinya sendiri. Kau sebaiknya mengkhawatirkan dirimu!" ucap Heros pada akhirnya.
Namun siluman itu tertawa mendengar pesan Heros padanya.
"Siapa yang bilang Hanzai itu manusia?" katanya dengan senyum menyeringai.
"Jadi rupanya siluman?" Heros menyimpulkan.
"Kau … benar-benar tak tahu?" Siluman rubah itu tersenyum tipis. Ia heran saja, ternyata makhluk kuat dan paling ditakuti seantero Immortal Land, masih ada yang tak mengenalnya.
"Dia dijuluki … pangeran bermahkota neraka," tuturnya. "Dia beberapa hari ini sudah mengacau dimana-mana."
Dahi Heros berkerut lebih dalam. Kekacauan katanya? Apa siluman itulah yang dilihat Kara saat dirinya bertemu dengan Monmu di desa Nogyo? Siluman itukah yang menghasut Monmu untuk berbuat kekacauan?
"Mengacau bagaimana maksudmu?" Heros jadi penasaran dengan siluman yang disebut Hanzai itu.
"Hanzai sedang memburu semua siluman rubah!" serunya lagi. "Aku akan menceritakan semuanya, tapi berjanjilah untuk membawaku bersamamu, Heros!"
Mata Heros melebar.
"Kau tahu namaku dari mana?!" tanya Heros. Ia merasa tak menceritakan apapun pada siluman rubah ini. Tapi mengapa dia bisa tahu namanya?
"Jika kau membawaku, aku akan katakan semua yang ku tahu."
*****
Beralih ke tempat yang sangat jauh dari mereka. Yap, immortal land. Dimana para siluman tinggal. Baik kelas atas ataupun kelas rendah, semuanya nampak panik dan ketakutan begitu aura dingin yang sangat mencekam menusuk kulit mereka.
"Sepertinya tuan Hanzai akan lewat sini," Seekor burung gagak itu berkata dengan panik. Ia sampai menggigil karena majikannya tak mengizinkannya bersembunyi.
Siluman gagak itu hanya menunduk patuh dengan kaki gemetaran.
"Tuan … apa yang membawamu kesini?" tanya majikan siluman gagak itu yang tak lain merupakan siluman banteng yang terkenal kuat. Tapi bagaimanapun pamornya, ia akan tetap tunduk dan takut jika sudah melihat Hanzai datang dengan jubah putihnya yang panjang.
Sekilas siluman banteng itu melirik ke atas menatap peliharaan Hanzai yang tak biasa.
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Tuan?"
Hanzai menoleh ke belakang. Menatap kelabang raksasa miliknya dengan datar. Sedang yang di tatap menunduk dengan hormat.
"Aku ingin kau melatih Monmu untukku. Aku ingin dia lebih kuat," ucapnya kemudian.
"Dengan senang hati, Tuan. Saya pasti akan melakukan tugas dengan baik."
"Kau belajarlah darinya. Aku akan kembali lagi nanti." Hanzai berlalu sambil mengibaskan jubah putihnya. Netranya menatap ke arah peliharaan siluman banteng yang nampak begitu cemas sedari tadi. Membuat siluman gagak itu kembali menunduk dengan takut karena hampir saja tatapan mereka berpas-pasan.
"Aku ingin mengambil gagak ini."
Jedarrrr!
Seperti tersambar petir, siluman gagak itu merasa jantungnya berhenti. Ia sudah sengaja tak membuat suara apapun ataupun bersikap yang aneh-aneh agar tak menarik perhatian Hanzai, namun tetap saja pangeran kegelapan itu ingin membawanya.
"Silahkan, Tuan! Dengan senang hati." Siluman banteng itu berkata sambil tersenyum lebar. Ia sungguh senang bisa menghadiahkan budaknya untuk pangeran yang sangat di hormatinya.
"A-ampun, Tuan! Ku-ku mohon ja-jangan bawa s-saya!" Siluman gagak itu menjadi sangat ketakutan. Ia sangat paham dengan keinginan Hanzai. Siapapun yang dibawa oleh siluman neraka itu, sudah di pastikan tak akan bisa kembali dengan selamat. Tak ada yang tahu apa yang tengah ia lakukan pada mereka yang tak pernah kembali, namun Hanzai adalah siluman berdarah dingin yang tak pernah segan membunuh lawannya ditempat.
"Kau melawanku?!!" Hanzai menjadi tak senang karena keinginannya ditolak.
Wajah siluman gagak itu menjadi pucat pasi. Ia tak bermaksud melawan Hanzai, namun juga tak memungkiri jika ia sama sekali tak ingin ikut bersama siluman itu.
Grep!
Hanzai mencengkram kuat leher siluman gagak itu.
"Khok!" Siluman itu merasa benar-benar tercekik dan akan mati.
"Dasar siluman rendahan … kau pikir siluman rendah sepertimu bisa melawanku?" Hanzai menyeringai. Taringnya yang tajam terlihat begitu mengkilat dan menakutkan. Dirinya mungkin adalah wujud nyata iblis sesungguhnya.
CRAATTTTT
Darah siluman itu muncrat begitu hanzai menggenggamnya dengan sangat kuat. Siluman gagak itu mati dengan tulang remuk dan leher hancur.
Siluman banteng yang menyaksikannya sedari tadi terkejut dan hampir saja ia berteriak karena kaget. Ia tak menyangka Hanzai akan membunuh di depan matanya. Namun ia urungkan niatnya dengan segera mengatup mulut mengingat Hanzai memiliki emosi yang rumit. Siluman itu bisa saja tersinggung.
Hanzai menatap nyalang pada siluman banteng dihadapannya. "Aku … benar-benar tak suka penolakan."