Tiada ekspresi lain di wajah Osute kecuali kekhawatiran akan dirinya sendiri. Wajah bulatnya yang menyeramkan, makin terlihat menyeramkan saat ia sedang sedih begini.
"Tuan Hanzai benar-benar tega padaku, hiks…." Lirihnya. Matanya memandang kesal pada majikannya itu yang begitu santai tanpa beban, sedang dirinya makin terasa terbebani.
Setelah mengajaknya pergi meninggalkan kekacauan di bumi, rupa-rupanya sang pangeran bermahkota neraka itu tak langsung menemui ratu di istana.
Dirinya malah asyik berendam di telaga warna milik panglima Okoshi.
"Okoshi! Aku memberimu waktu lima menit, sebaiknya kau segera membujuk tuan Hanzai untuk pulang ke istana." Osute menunjuk-nunjuk Okoshi yang sedari tadi hanya duduk menontoni Hanzai mandi dari jauh.
"Kau sungguh berpikir aku berani mengganggu tuan Hanzai?" balasnya dengan malas. Bola mata siluman banteng itu kembali melihat pemandangan mengenakkan di depan matanya.
"Nah, kau benar-benar buaya!" Osute mengumpat pada siluman disampingnya itu yang sedari tadi asyik memandangi siluman-siluman cantik yang sengaja berkumpul di sekitar telaga hanya untuk melihat pangeran kegelapan berendam.
"Okoshi—"
"Jangan ganggu aku," potongnya.
Osute mendengus. Selain dirinya, memang siapa lagi yang berani berbicara pada pangeran kegelapan itu. Sepertinya hal kecil seperti itu tak perlu diragukan lagi. Namun Osute masih berharap siluman banteng itu mau melakukan itu untuknya.
"Kau kan yang punya telaga ini, jadi bicaralah dengan tuan. Kau bisa memberi alasan apapun padanya."
Okoshi membelalakkan mata. Memang alasan apa yang bisa diberikan untuk mengganggu kenyamanan Hanzai. Rasanya tak ada.
"Tak mau! Jangan menyuruhku," tolaknya. "Kau bukan majikanku, jadi jangan sembarangan memintaku melakukan sesuatu."
"Awas saja kau!" Osute jadi kesal sendiri. Sudahlah, memang dirinya yang harus maju menemui Hanzai dengan segala rayuan.
Osute memberanikan dirinya mendekat.
"Tuan … apakah anda berencana tidur disini? Aku sudah menunggu sedari tadi." Osute tersenyum memperlihatkan sederet giginya. Ia bertahan begitu meski ingin sekali mencubit tuannya ini saking kesalnya.
Berjam-jam menunggu, tentu bukan hal yang menyenangkan. Tapi jangankan menyahuti omongan Osute, membuka mata pun, Hanzai sama sekali tak melakukannya.
"Tuan … apa anda sengaja berendam untuk menarik perhatian siluman-siluman betina?" Osute berkata lagi. Meski ia tahu hal itu sama sekali tak mungkin. Dirinya hanya ingin pangeran itu menggubrisnya dan pulang.
Hanzai membuka mata. Osute langsung sumringah karenanya.
"Coba lihat! Mereka benar-benar tertarik pada tuan yang tampan." Osute paling tahu Hanzai tak suka pada wanita. Ia sengaja membesar-besarkan semuanya. Entahlah mengapa, tapi Hanzai tak pernah mendekati siluman wanita manapun meski paras dan tubuhnya tak perlu diragukan.
Alis hitamnya yang tebal berkerut tipis menemani mata merah indah itu berkeliling melihat sekitar. Spontan para siluman wanita tersenyum menggoda sambil melambaikan tangan. Tak segan-segan mereka saling berebut untuk tampil paling depan.
"Mereka benar-benar tak ada takut-takutnya …." Osute menggeleng tak percaya. Sepertinya Osute harus mengatakan pada mereka untuk bersyukur karena Hanzai tak marah.
Hanzai bangkit dari kolam, tubuh bidangnya yang basah begitu menggoda membuat para siluman wanita hanya bisa menggit jari. Sayang sekali pangeran tak pernah tertarik dengan mereka.
"Okoshi, aku titip Monmu padamu," tukasnya sebelum akhirnya berjalan mengikuti Osute yang dengan sigap membuka pintu gerbang untuknya.
*****
Sekali lagi semua menepi dan menunduk hormat ketika sang pangeran kegelapan itu kembali berjalan di Immortal Land.
Langkah tegasnya bagai genderang perang yang berdentang membuat semuanya tegang. Wajah-wajah pucat pasi dari kalangan bawah selalu menjadi pemandangan utama yang disuguhkan ketika ia akan lewat.
Atmosfir di tanah abadi itu akan seketika berubah jika telah menyentuh kakinya.
Hanzai memasuki istana hitam pekat milik ratu Azazel dengan langkah tegap. Tak sedikitpun sorot matanya menyiratkan ketakutan atau rasa hormat. Hanya kebekuan yang terlihat sangat jelas disana. Siluman kuat itu … tak memiliki hati nurani.
"Ada apa?" Hanzai langsung saja melontarkan pertanyaan itu begitu sampai. Walau ia sudah tahu alasan sang ratu memanggilnya.
"Aku tak berpikir ada alasan untuk seorang ibu melihat putranya. Aku hanya ingin kau kesini." Ratu Azazel menarik senyumnya. Sangat cantik, namun auranya begitu menakutkan.
Para siluman yang menjadi budaknya seketika menunduk lagi, tak berani menatap wajah sang ratu ataupun pangeran yang baru tiba. Hanya Osute yang berani mengamati pembicaraan mereka.
"Kau dari mana? Lama sekali tak langsung menemui ibu."
"Mandi," sahutnya singkat dan datar.
Ratu Azazel tersenyum lagi. "Apa kau habis melakukan sesuatu?"
Tatapan Azazel menyelidik. Anaknya ini tak mungkin bergerak atau melakukan sesuatu tanpa sepengetahuannya. Tapi ia mendengar hal yang tak biasa dari Osute.
"Apa yang ingin kau lakukan, Han?" tanyanya.
"Ibu, menginginkan apa dariku. Katakan … jangan berbelit-belit." Rupanya ia tak senang Azazel menanyainya.
Ratu Azazel tertawa, "Ibu masih membutuhkan pakaian yang hangat. Kau belum mencarinya untuk ibu."
Azazel mencoba mencari tahu semuanya dari netra merah indah itu, namun percuma. Tak ada respon apa-apa yang ia dapatkan dari keingintahuannya.
"Aku sudah membunuh semuanya. Ibu harus puas dengan itu," katanya dengan pandangan yang masih sedingin biasanya.
"Hm … baiklah."
Hanzai pergi.
Azazel hanya membiarkan saja putranya itu meninggalkan istana diikuti oleh pengikut setianya—Osute. Ia tak bertanya atau pun berkata apa-apa lagi.
Menahan Osute dan bertanya padanya pasti pun percuma. Makhluk itu terlalu setia pada Hanzai dan tak berani membuka mulut jika Hanzai memang memiliki rahasia. Atau … bisa jadi saat ini, ia juga tak tahu menahu apa yang sedang direncanakan Hanzai.
Wajah cantik Azazel tersenyum lagi. "Sepertinya dia memang menyembunyikan sesuatu," katanya sembari bangkit menuju kamar diikuti para siluman lain yang menjadi budaknya.
Ia tak mengiringi langkah putranya itu. Hanya Osute yang bergerak disisinya.
"Tuan, bukankah sebenarnya masih ada rubah yang tertinggal?"
Hanzai bergeming. Netranya hanya menatap lurus disepanjang jalan yang akan mereka lalui.
Apakah memang karena siluman rubah telah kabur ke dunia manusia sehingga Hanzai jadi malas menangkapnya? Osute menganggap ini adalah alasan yang lebih masuk akal ketimbang Hanzai sedang tak berselera untuk membunuh mereka.
Hanzai jauh lebih mampu bahkan sangat kejam untuk membunuh, jadi apa alasan sebenarnya?
"Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan ramalan?" Osute bermolog sendiri. Hal ini sungguh mengganggunya.
"Tuan, apa anda ingin menemui peramal Joura lagi?"
Hanzai berhenti. Ia memandangi Osute sepersekian detik. Osute jadi gelagapan, ia tahu dirinya tak seharusnya berkata begitu apalagi di tempat yang bisa saja di jangkau oleh Ratu Azazel.
"Kau lupa peringatanku?" tanyanya menggeram. Osute berkeringat dingin menelan salivanya.
"Ma-maaf, Tuan! Maafkan saya!" Ia langsung bersimpuh mencium tanah. Hanzai begitu marah karena ia lupa pesan penting itu, untuk tak membahas ramalan seorang peramal tentang Hanzai.
Osute berulang kali meminta maaf atas kelalaiannya.
"Tak ada yang boleh tahu tentang itu, Osute …."