Hanzai dapat melihat ruangan itu dipenuhi kabut asap yang berasal dari guci tanah yang sudah retak-retak itu. Bau aneh menyeruak seketika. Sepertinya mengernyit saja tak cukup untuk menggambarkan keanehan tua renta sang pemilik rumah yang tak kunjung menemui mereka.
Osute jadi mengerutkan hidungnya was-was. Bagaimana jika asap itu beracun?
"Tuan, tutup hidungmu!" Osute berkata sambil tangannya cekatan menutup hidung Hanzai yang sedang berjongkok disebelahnya.
PLAK!
"Singkirkan tanganmu!" semprot Hanzai dengan wajah berang sembari menepis kasar tangan Osute yang lancang menyentuh hidungnya.
"Akh! Ma-ma-maaf Tu-tu-tu-tuan." Ia terbata begitu matanya bertemu dengan mata dingin Hanzai.
Langsung saja tangan Hanzai menarik paksa kerah baju Osute membuat siluman itu terangkat hingga kakinya menggantung.
"Jo-joura datang Tuan!" sergahnya begitu melihat kemunculan wanita tua itu yang secara tak sadar meyelamatkan nyawanya. Ingin sekali Osute mencium keningnya saking berterima kasihnya dia. Tapi jelas ia tak ingin membuat dirinya dikutuk disana oleh si wanita tua.
"Tuan, apa yang membuatmu datang kesini?" Akhirnya suara serak wanita berambut putih itu membuat Hanzai melepas leher Osute dari cengkramannya. Osute bersyukur ia bisa bernapas lega.
Netra tua Joura tak nampak, terhalang oleh kelopak layu keriput yang menutup bulatan legam miliknya. Tapi justru itu yang membuat aura wanita tua itu begitu kuat dan aneh dimata mereka.
"Hihihihi … apa kau penasaran dengan ramalanku?" tanya Joura lagi melihat Hanzai bergeming dengan pertanyaannya yang pertama.
Hanzai mengangkat sudut bibir kirinya menatap Joura, lalu pangeran kegelapan itu berdecih, "Cih, sejak kapan aku percaya dengan ramalan bodoh seperti itu?"
Namun Joura tersenyum puas. Ketenangan yang diciptakan oleh Hanzai tetap tak akan bisa menutupi kenyataan sesungguhnya.
"Aku rasa kedatangan Tuan cukup membuatku percaya, bahwa Tuan sedang gelisah memikirkan hal itu…."
"… untuk itu, aku punya berita yang sangat penting untukmu," sambungnya dengan senyum simpul.
"Joura! Kau tak sedang merencanakan sesuatu yang buruk pada Tuanku, kan?"
"Hihihihihihihi." Tawa kecil Joura mengundang kewaspadaan pada diri Osute. Osute dengan sigap berdiri dihadapan sang pangeran dengan peluh bercucuran. Sedari memasuki kediaman itu, ia berkeringat banyak padahal suhu tubuhnya sangat dingin.
"Tuan tenang saja … tak apa, ada aku. Aku akan melindungi Tuan jika penyihir ini macam-macam." Osute berkata dengan suara lantang sambil mempertahankan berdirinya yang tak tegap akibat lututnya gemetar ketakutan.
Ia berusaha tetap melindungi sang pangeran kegelapan meski pada kenyataannya, Hanzai tenang-tenang saja. Berbanding terbalik dengan Osute yang wajahnya menjadi pucat pasi berhadapan dengan Joura.
Sepertinya hanya Hanzai saja yang tetap dapat terlihat setenang ini jika sudah tahu lawannya adalah peramal itu.
"Dasar bodoh! Aku hanya ingin memperlihatkan arti mimpi Tuan Hanzai saja."
Diliputi penasaran, mereka pun akhirnya mengikuti wanita tua itu mendekati guci.
"Lihatlah ke dalam, Tuan."
Hanzai mencondongkan tubuhnya ke arah guci.
"Apa artinya itu?" Alis Hanzai mengernyit tipis melihat gambaran pada air guci.
Joura menghela napasnya.
"Tuan, pasti masih ingat dengan ramalanku sebelumnya … dan ini adalah takdir anda," katanya menerawang.
"Anda akan bertemu dengannya sebentar lagi." Joura mengaduk isi guci dengan tongkatnya.
"Anda akan kalah dan mati dengan mengenaskan ditangannya."
"Mulut kurang ajar!" geram Osute. "Beraninya kau menyumpahi Tuan Hanzai!!!"
"Hihihihi … aku hanya menyampaikan hal yang ku lihat. Aku berkata sebenarnya."
"Kau—"
"Cukup!"
Osute mengepalkan tangannya mendengar titah Tuannya.
"Dengar, Joura. Siapapun dia, tak akan pernah bisa mengalahkan diriku. Bahkan jika banyak siluman rendah sepertinya yang menyerangku, aku akan tetap menang tanpa luka sekecil apapun."
Hanzai berlalu meninggalkan Joura disana. Osute mengikuti langkah tuannya dengan kesal. Ia mengumpat sepanjang perjalanan atas apa yang dikatakan Joura pada mereka.
"Beraninya wanita tua itu!" gumamnya. Namun kernyitannya semakin mendalam begitu arah perjalanan mereka tepat menuju portal.
"Kita akan ke dunia manusia, Tuan?" tanya Osute.
"Ya," sahut Hanzai dengan tenang. "Aku ingin membuktikan perkataan Joura padaku tentang siluman itu."
"Ah … anda benar, Tuan! Aku setuju! Biar mereka semua melihat kenyataan yang tak bisa terbantahkan, jika sampai kapanpun, pangeran kegelapan tak akan pernah kalah."
*****
Sementara itu di dunia manusia, Heros dibuat pusing dengan Kara.
"Kau tak perlu khawatir begitu. Aku akan baik-baik saja."
"Baik-baik saja, bagaimana, Heros? Kau pikir siapa lawanmu itu?" Kara merasa sakit kepala menasihati Heros sedari tadi.
"Ku mohon, ayo bersembunyi saja di pegunungan Takai."
"Tidak! Tindakan pengecut apa itu? kau hanya ketakutan yang berlebihan."
Kembali Kara terbang mendekati siluman itu.
"Dengarkan aku sekali ini saja, Heros!"
"Tak bisakah kau percaya saja padaku?!" sergah Heros dengan nada tinggi. Ia mulai kesal karena Kara terus-terusan memintanya bersembunyi. Heros ingin Kara memiliki sedikit saja kepercayaan pada dirinya.
Kara menghela napas diantara keputusasaannya. Dalam hati gagak itu, bukannya ia tak percaya, melainkan jiwanya di gerogoti perasaan khawatir akan keselamatan Herosnya yang keras kepala.
"Aku tak akan membiarkan kalian terluka. Tapi setidaknya menjauhlah ketika aku bertarung. Aku takut, aku lepas kendali dan malah melukai kalian," ujar Heros lagi yang makin membuat Kara melesu.
"Paman, aku tahu kau tak akan setuju dengan apa yang aku katakan ini. Tapi jikapun kita bersembunyi di gunung Takai, lama kelamaan Hanzai tetap akan menemukan kita," katanya. "Cara satu-satunya … tentu melawannya."
"Tapi tidak dalam waktu dekat ini …," Kara jadi mengkhawatirkan sesuatu.
"Kenapa memangnya?" Akio bertanya.
"Aku khawatir sesuatu akan terjadi dalam waktu dekat ini."
"Sesuatu apa, Paman?"
Namun pertanyaan Akio tak dijawab siluman itu. Kara justru mengernyit. Akio tak paham, jadi ia mengikuti pandangan Kara yang mengarah pada Heros yang rupanya tengah mengendus-endus sekitar mereka.
"Ada apa, Heros?"
"Dia datang …." Heros berkata dengan yakin. Kara kaget bukan kepalang. Secepat inikah?
Wuuussshhhhhh …
Angin berhembus dengan kencang. Rasa dingin yang menusuk ini jelas berasal dari aura siluman. Memang apa lagi yang dapat menghasilkan hawa sedingin ini kecuali makhluk kejam tak berperasaan yang disebut siluman oleh manusia.
Akio mengusap kasar kedua pundaknya yang dingin. "Hawanya jadi benar-benar dingin! Astaga … Pangeran kegelapan itu benar-benar akan datang. Bagaimana ini?" siluman rubah kecil itu makin cemas tak karuan sambil mondar-mandir.
"Heros … aku jadi pengen pipis," rengeknya.
"Kau yang benar saja. Pergi sendiri sana!"
Krak!
Spontan Heros mengarahkan pandangan ke arah suara. Matanya membulat melihat siluman bertampang jelek muncul disana. Seluruh kulitnya berwarna hijau dengan mata besar dan botak.
"Apakah makhluk ini adalah Hanzai? Dia jelek sekali!" Heros bergumam. "Sepertinya ekspektasiku terlalu tinggi."
Tak ada yang merespon perkataan itu karena memang suaranya teramat kecil. Termasuk siluman yang tengah ia kataipun tak mendengar ucapan buruknya.
Siluman buruk rupa itu justru berdiri dengan pongahnya, ia memandang sinis pada kawanan didepannya.
"Lucu sekali! Hah! Ada anak rubah, gagak tua, dan … siluman rendahan. Benar-benar perkumpulan pecundang,"