Sekelompok mahasiswa dengan tubuh tinggi itu, seolah memenuhi lapangan basket yang ada di depan pandangan banyak orang. Termasuk Nadia salah satunya. Ada sebuah pertandingan sengit di sana. Mahasiswa dari fakultas ilmu administrasi dan fakultas ekonomi yang memang fakultasnya bersebelahan.
Nadia dan Mika, berkontribusi sebagai penonton.
"Nad! Kamu sedang lihat apa sih?!" Teriakan Mika mengagetkan Nadia. Ia segera menoleh ke arah Mika yang ada di sebelahnya.
"Tentu saja melihat bola basket!" jawab Nadia dengan setengah berteriak. "Memang kamu pikir, aku lihat kemana?" Nadia gantian bertanya pada Mika.
Mika awalnya menaruh pandang curiga sejenak. Namun, kemudian ia nampak tak menghiraukannya lagi. Nadia yang tadinya cemas, melihat Mika sudah kembali fokus pada pertandingan, dirinya bisa bernafas lega. Nadia kembali melihat ke arah depan. Ia tengah memperhatikan sesuatu dengan amat jeli, namun bukan ke arah pertandingan. Ada seorang laki-laki mengenakan kemeja putih dengan garis vertikal abu-abu. Meskipun, mengenakan pakaian formal, namun tetap saja terlihat keren. Nadia tak bisa melepaskan pandangannya dari laki-laki itu.
Sesekali, laki-laki itu merasa diperhatikannya oleh Nadia. Sehingga, ketika laki-laki itu menoleh ke arah Nadia, Nadia memalingkan wajahnya dengan cepat. Ada saat di mana pandangan mereka bertemu. Laki-laki itu tersenyum ke arah Nadia dan melambaikan tangannya pada Nadia. Nadia juga membalasnya. Jantung Nadia, serasa berdentum dengan kencangnya merasakan hal itu. Ada kebahagiaan yang harus disembunyikan.
"Oh... jadi, karena ini kamu mengajakku ke sini?" Suara Mika lagi-lagi membuyarkan lamunan Nadia itu. Nadia menoleh ke arah Mika cepat.
"Apa, Mik?" tanya Nadia pada Mika yang seolah tidak berdosa.
Mika memicingkan pandangan matanya pada Nadia. Sejujurnya, Mika sangat malas diajak datang melihat perlombaan basket ini. Tapi, Nadia merengek terus mengajaknya. Jadi, Mika akhirnya terpaksa ikut untuk menemani Nadia. Tidak tahunya, Nadia malah salah fokus melihat ke arah bukan pertandingan.
"Kamu ingin datang ke sini karena ingin melihat Agra?" tanya Mika masih dengan pandangan menyelidik.
"Tidak. Aku lihat pertandingannya kok," sanggah Nadia.
"Benarkah? Kalau begitu, berapa skornya?" tanya Mika menantang Nadia. Nadia tercekat sejenak. Ia ragu. Ia memang mendengar skor yang diucapkan, tapi ia tidak ingat.
"Em... dua-tiga?" kata Nadia dengan ragu. Mika memejamkan matanya sambil menundukkan kepalanya. Ia menghela nafasnya sebentar.
"Nad...Nad... tau begini, tadi aku lihat drama di kos saja," kata Mika.
"Ada apa, Mik?" tanya Nadia seolah dengan wajah tanpa dosa.
"Memangnya aku tidak tahu kamu sedang lihat kemana?" tanya Mika. Nadia diam. Ia akan berusaha untuk mengelak lagi.
"Aku sedang melihat pertandingannya!" seru Nadia pada Mika.
"Mana? Kamu cuma lihat laki-laki baju putih itu kan?" tanya Mika pada Nadia yang akhirnya sudah ketahuan. Nadia tercekat kali ini. Dugaan Mika memang tidak salah. Ia tak dapat mengelak lagi.
"Memangnya kenapa, Mik?"
"Kalau kamu berniat melihat Agra, kenapa harus mengajakku Nad?" ujar Mika.
"Tapi ini seru kan?" ucap Nadia kembali membujuk temannya itu. Nadia harap, Mika benar-benar menikmati pertandingannya.
"Seru sih. Tapi..."
Priiiiiit! Suara peluit menghentikan kalimat Mika. Menandakan waktu sudah habis. Nadia dan Mika segera menghadap ke lapangan pertandingan. Pemenang sudah terlihat. Tim dari fakultas ilmu administrasi yang sudah memenangkannya. Ketahuan dari sorak sorai penonton pendukung dari fakultas ilmu administrasi.
Nadia yang tengah menghadap ke arah Mika tadi, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Agra lagi. Mencari di mana keberadaan Agra. Agra sangat senang. Dia ikut menikmati kemenangan dari pertandingan. Dalam hitungan detik, lapangan sudah dipenuhi oleh para pendukung dari tim masing-masing. Termasuk Agra. Setelah itu, Agra berdiri dan akan berjalan pergi.
"Nad, aku ke kantin sebentar," tukas Mika baru saja. Nadia mengangguk mendengar Mika mengatakan itu padanya. Melihat kesempatan ini, Nadia ingin segera berlari ke arah Agra. Lalu, Nadia menoleh ke arah Agra lagi. Agra berjalan meninggalkan lapangan basket itu.
Melihat Agra yang sudah mulai berjalan menjauh, Nadia ingin segera ke tempatnya. Semua orang bubar begitu saja. Nadia masih memperhatikan Agra. Nadia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Ia ingin menemui Agra dan berbicara soal apapun padanya.
Nadia yang sudah berdiri itu, segera berjalan mendekat ke arah Agra. Ia lalu, melewati kerumunan mahasiswa yang dalam sekejap sudah memenuhi lapangan basket tersebut. Dengan berat langkah, ia harus mencari celah dari banyak mahasiswa yang berjubel di sana.
Tak disangka, sial menghampiri Nadia. Ia tertabrak oleh seseorang mahasiswa lain di sana. Karena tempatnya yang begitu sempit, Nadia tak dapat menahan dirinya untuk berdiri. Sepertinya, ia akan segera jatuh. Nadia yang sudah pasrah itu, memang akan segera jatuh ke tanah.
Grep! Tiba-tiba, ada seseorang yang memeganginya. Nadia tidak jadi jatuh. Saat sadar, Nadia melihat ke arah orang yang menyelamatkannya. Ada laki-laki tampan di sana.
"Apa, kamu baik-baik saja?" tanya laki-laki tadi.
"Iya," jawab Nadia menganggukkan kepalanya. "Terima kasih," lanjutnya.
Nadia perlahan membuka kedua matanya. Ia mulai mengedip-kedipkan matanya beberapa kali dengan pelan. Saat itu, Nadia duduk di depan taman kota, tempat favoritnya. Sejenak, merasakan kesejukan angin di taman, enak juga.
Sambil menghirup udara sore, sekalian mengingat kejadian yang pernah ia lalui sekitar satu tahun lalu. Saat semua yang ada di otaknya hanya dipenuhi dengan Agra. Nadia tidak peduli sama sekali dengan hal lain.
Nadia baru sadar, jika di dalam bayangannya saat ini, selain ada Agra, ia bisa menemukan Fauzan di sana. Dalam pertandingan basket dulu itu, laki-laki yang sudah menyelamatkannya adalah Fauzan. Kenapa Nadia baru ingat?
"Nadia, cobalah ingat-ingat semua kejadian yang pernah kamu lalui di kampus ini. Kamu pasti bisa menemukanku di salah satu memorimu."
Suara Fauzan di perpustakaan tadi, mengingatkannya kembali. Fauzan tidak berbohong. Fauzan adalah seorang yang juga ada di kehidupan Nadia selama ia diam-diam memberikan semua hidupnya untuk Agra. Saat ini, Fauzan baru bisa muncul dari memorinya. Sedangkan Nadia baru menyadarinya sekarang. Jika dipikir, Fauzan benar-benar tulus menyukainya. Karena, ia bisa membuktikan bahwa kalimat Fauzan benar adanya.
"Nadia..."
Lagi-lagi, suara Fauzan muncul lagi di kepala Nadia. Begitu lembut saat Fauzan memanggil namanya itu. Berbeda dengan panggilan akrab dari Agra, yang memang merupakan sahabatnya. Panggilan suara Fauzan, terdengar seolah membuat Nadia merasa menjadi seorang perempuan.
"Jangan lupa. Hari Sabtu, aku akan menjemputmu. Jadi, ini adalah kencan pertama kita. Berdandanlah yang cantik."
Nadia teringat lagi akan sesuatu yang sudah Fauzan janjikan padanya. Mengingatnya, Nadia tersenyum tersipu. Nadia masih hanya tidak menyangka, jika Fauzan yang tampan itu, bisa menyukainya. Selama ini, Nadia pikir, Agra adalah laki-laki terbaik yang ia temui. Namun, ia baru sadar bahwa, ada laki-laki lain yang tak kalah baiknya dari Agra. Nadia masih sulit percaya bahwa Fauzan adalah pengagum rahasianya.