Nadia masih mengamati Fauzan yang ada di sampingnya. Ia tertegun. Fauzan tahu apa saja yang disukainya. Bahkan, sesuatu yang mungkin bagi orang lain tidak penting. Sejujurnya, Nadia juga merasa terharu. Fauzan sadar saat Nadia diam-diam memperhatikannya. Ia menoleh ke arah Nadia dan Nadia segera kikuk dibuatnya.
"Ada apa? Apa kamu tidak puas?"
"Aku, hanya tidak menyangka kalau kamu tahu aku menyukai judo," kata Nadia. Fauzan hanya tersenyum mendengarnya. Nadia masih terenyuh, karena Fauzan membawanya ke tempat judo.
"Ini, adalah tempat aku berlatih," kata Fauzan pada Nadia. Nadia segera mengkerutkan keningnya.
"Berlatih? Kamu, berlatih judo juga?" tanya Nadia.
"Hm...mm..." Fauzan menganggukkan kepalanya beberapa kali. Nadia lalu menundukkan pandangannya. Ia pikir, Fauzan memang benar membawanya ke sini karena untuk menyenangkannya. Tapi, ternyata dia ke sini karena akan berlatih. Ia yang tadinya merasa terharu, sekarang menjadi sedikit malu karena terlalu percaya diri. Fauzan juga bisa segera menebak raut wajah Nadia.
"Sebenarnya, hari ini aku tidak ada jadwal latihan," kata Fauzan seolah berbicara sendiri. Nadia segera menoleh ke arah Fauzan lagi dengan cepat. Ia kembali mengernyit.
"Terus, kenapa kamu ke sini kalau tidak ada jadwal latihan?" tanya Nadia.
"Aku, hanya ingin mengajakmu jalan," jawab Fauzan sembari tersenyum melihat Nadia. Nadia terkejut dengan kalimat Fauzan. Ia sedikit melebarkan kedua matanya. Jadi, benar kalau ternyata Fauzan memang mengajak Nadia karena tahu ingin membuat ia senang? Nadia kembali tertegun dibuatnya.
"Sudah aku bilang, kalau aku hanya ingin mengenalkan diriku padamu. Jadi, inilah salah satu aktifitasku. Kamu, tidak keberatan kalau kencan pertama kita adalah di tempat latihan judo bukan?" tanya Fauzan dengan menaikkan salah satu alisnya. Nadia kembali tersenyum tersipu.
"Zan!" Suara seseorang di sekitar memanggil nama Fauzan. Sontak, Fauzan dan Nadia menoleh ke arah asal suara itu. Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan mendekat.
"Hai, Dick?" Fauzan membalas menyapa dengan melambaikan salah satu tangannya. "Kamu sudah datang?" tanya Fauzan pada temannya yang sudah ada di hadapannya.
"Ya. Baru saja," jawab temannya singkat. Teman Fauzan lalu melihat ke arah Nadia sejenak. Fauzan tahu apa arti pandangan itu.
"Ini, Nadia," kata Fauzan segera mengenalkan Nadia pada temannya.
"Oh!" seru teman Fauzan sembari menyodorkan tangan kanannya akan menjabat tangan Nadia. "Kenalkan, Dicky," katanya. Nadia membalas jabat tangan dari Dicky, sambil tersenyum pula.
"Nadia," balas Nadia singkat.
"Aku tidak tahu selama ini kalau Fauzan sudah punya pacar," kata Dicky sembari melihat ke arah Nadia. Nadia dan Fauzan saling berpandangan dengan salah tingkah. Fauzan langsung merasa senang. Sebenarnya, Nadia juga begitu.
"Wah, kami terlihat seperti pacaran ya?" kata Fauzan dengan mengalihkan pandangan ke sekitar dengan senang.
"Aaaa... sebenarnya, kami hanya teman," sangkal Nadia segera.
"Oh... jadi begitu," kata Dicky. Sedangkan Fauzan hanya tersenyum bangga. Dicky kemudian teringat sesuatu. Ada hal yang ingin ia tanyakan pada Fauzan yang tiba-tiba muncul itu.
"Kamu, ke sini juga? Bukannya hari ini aku yang melatih mereka?" tanya Dicky.
"Tidak. Aku memang ingin ke sini hari ini," kata Fauzan.
"Oh, aku kira kamu sudah mulai mau melatih mereka lagi?" tanya Dicky.
"Melatih?" Nadia yang mendengar mereka di sana otomatis bertanya.
"Iya," jawab Fauzan.
"Fauzan ini adalah senior. Jadi, ia yang melatih mereka semua." Dicky menunjuk pada judoka-judoka yang berlatih mandiri sebentar. "Dia yang awalnya mendirikan perkumpulan latihan ini. Dan, aku hanya membantunya saja di sini," jelas Dicky.
Nadia seolah terkesima mendengar ungkapan Dicky itu. Fauzan adalah sama seperti dirinya. Seorang mahasiswa. Tapi, di usianya yang terbilang masih sangat muda ini, ia berhasil membangun sebuah tempat latihan judo yang lumayan cukup besar. Bukankah itu sangat mengesankan? Pikir Nadia.
"Setiap tahun, Fauzan selalu menang dalam kejuaraan turnamen setiap tahunnya. Maka dari itu, lumayan cukup mudah baginya untuk mendirikan komunitas ini. Dalam waktu yang tidak lama, banyak orang yang melamar. Terlebih lagi, anak SMA. Karena memang tujuan kami adalah anak-anak SMA," jelas Dicky lagi. Nadia mendengarkannya dengan amat jeli. Sebenarnya, ia terkagum-kagum pula.
"Oh..." kata Nadia sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nadia," panggil Fauzan pelan. Nadia segera menoleh ke arah Fauzan. "Kamu, tunggu di sana sebentar ya. Aku ada urusan dengan Dicky sebentar," ucap Fauzan sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
Nadia menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk Fauzan. Ada sebuah bangku panjang di sudut di dalam bangunan tersebut. Nadia kembali menolehkan pandangannya ke arah Fauzan, dan dia mengangguk beberapa kali menuruti Fauzan. Nadia lalu berjalan ke sana sendirian.
"Jadi, dia yang bernama Nadia itu?" tanya Dicky yang memperhatikan Nadia yang sudah menjauh dan yakin kalau Nadia tidak mendengarnya.
"Ya," jawab Fauzan singkat.
"Boleh juga," timpal Dicky dengan melengkungkan kedua bibirnya ke atas sembari memegangi janggutnya.
"Apa yang ada di pikiranmu. Dia itu calonku," kata Fauzan pada Dicky.
"Aku tidak akan pernah merebut apapun darimu," ujar Dicky. Mereka tersenyum. Percakapan yang baru saja terjadi adalah sebuah candaan. Mereka sudah sangat akrab satu sama lain. Karena mereka tumbuh bersama di komunitas ini sudah sejak tiga tahun lebih. Fauzan yang merupakan ketua di komunitas ini, menunjuk Dicky sebagai tangan kanannya.
"Ngomong-ngomong, aku sedikit kaget melihatmu muncul di sini. Kemana saja kau selama ini? Jarang sekali muncul?" tukas Dicky pada Fauzan.
"Aku ada urusan penting. Maaf, tidak bisa menemanimu melatih anak-anak," jelas Fauzan.
"Sebenarnya, ada sedikit masalah mengenai turnamen nanti. Dana kita belum cukup untuk mengikuti turnamen. Meskipun, semua judoka sudah membayar lunas," jelas Dicky.
"Ya. Itulah alasanku menghilang sebentar. Aku sibuk mencari dana untuk turnamen ini," ungkap Fauzan. "Dan aku berhasil mendapatkannya," kata Fauzan melihat ke arah Dicky.
"Benarkah?!" tanya Dicky terkejut. Fauzan melihat ke arah Dicky dengan tersenyum girang.
"Ya," jawab Fauzan mengangguk dua kali sembari tersenyum. "Aku mendapatkannya dari pak Tora," kata Fauzan.
"Pak Tora?" ulang Dicky yang tidak paham. "Siapa dia?"
"Rekan bisnis ayahku. Aku sudah menemuinya beberapa kali. Beliau bilang kalau bersedia menjadi donatur. Jadi, sebagai gantinya, aku akan menjadi volunteer dari salah satu bisnis beliau. Beliau merasa senang dengan pertukaran itu," jelas Fauzan.
"Baguslah," ucap Dicky ikut senang. "Semoga, apa yang kau lakukan ini, bisa lebih memajukan komunitas ini," tambah Dicky. Fauzan hanya mengangguk setuju dengan kalimat Dicky tersebut.
"Kalau begitu, aku akan ganti baju dan mulai melatih mereka," lanjut Dicky kembali. Fauzan kembali mengangguk.
Saat Dicky sudah menjauh darinya, ia berbalik arah dan kembali mencari Nadia. Nadia yang tadinya ia suruh menunggu di bangku sudut bangunan itu, tidak ada. Fauzan merasa aneh dan mencari di mana Nadia berada. Saat ia mulai menyapu pandangan, akhirnya ia dapat melihat Nadia berdiri dan memperhatikan dari dekat, dua judoka tengah berlatih.
Fauzan dapat melihat senyum Nadia yang amat lepas bahagia itu. Sama persis ketika ia baru pertama kali melihat Nadia waktu Nadia menang lomba. Rasanya, Fauzan merasakan Nadia bisa kembali menjadi gadis yang ceria lagi, malam ini. Dengan kata lain, waktu pendekatan mereka yang singkat berjalan dengan lancar. Fauzan bisa mengatakan kalau ia benar-benar menyukai Nadia.