Nadia membuka pintu kosnya dari dalam. Saat ia baru saja membukanya, ia terkejut. Ada setangkai mawar merah, yang langsung diarahkan padanya. Nadia sempat terkejut dan terdiam. Matanya mengerjap beberapa kali.
Nadia melihat, Fauzan menyodorkan satu tangkai bunga mawar itu pada Nadia yang baru saja keluar. Nadia merasa tercekat. Ia tidak dapat berbicara seketika. Hanya setengah tercengang bahagia mendapatkan satu tangkai bunga.
"Untukmu," kata Fauzan pada Nadia.
Nadia belum pernah mendapat kejutan seperti ini saat ia membuka pintu. Ia yang merasa suaranya tertahan di tenggorokan, mengambil satu tangkai bunga yang ditujukan padanya itu. Dengan masih ragu dan sedikit tercekat, Nadia mengambil bunganya pelan.
"Terima kasih," balas Nadia tersipu. Fauzan melihatnya dengan tersenyum.
"Tidak perlu repot-repot seperti ini," ujar Nadia pelan.
"Aku justru ingin merepotkan diri untukmu," balas Fauzan. Nadia lalu melihat ke arah Fauzan yang tersenyum. Lalu, Nadia ikut tersenyum.
"Jadi, kita berangkat sekarang?" tanya Fauzan.
"Hm...mm...." Nadia mengangguk beberapa kali.
Mereka berjalan menuju ke motor Fauzan yang diparkir di depan kos Nadia. Fauzan memberikan helm yang ia bawa. Nadia menerimanya dan memakainya. Setelah itu, Fauzan naik motor di bagian depan. Nadia mengikutinya dengan baik di belakang Fauzan.
"Kamu harus berpegangan. Karena aku akan mengendarai sedikit kencang malam ini," kata Fauzan pada Nadia yang sudah ada di belakangnya.
Nadia diam tidak menjawab. Ia sedikit ragu untuk itu. Fauzan menunggunya. Selang kesekian detik, Nadia menuruti Fauzan untuk berpegangan pada Fauzan. Kedua tangan Nadia berada di pinggang Fauzan. Fauzan bisa merasakannya, lalu ia tersenyum. Ada perasaan gembira dari keduanya. Tentu saja, hanya Fauzan dan Nadia yang bisa merasakannya. Perlahan, Fauzan kemudian melajukan motornya, dengan Nadia yang ada di belakangnya untuk berpegangan.
***
Mereka sampai di depan bangunan tempat latihan judo itu. Fauzan memarkir motornya di tempat parkiran. Kemudian, Fauzan mematikan motornya. Nadia segera melepas pegangannya dari Fauzan. Mereka berdua turun dari motor. Setelah turun, Nadia melihat sekitar sepi sekali. Ia merasa aneh.
"Mana para judoka?" tanya Nadia pada Fauzan.
"Libur," jawab Fauzan singkat. Nadia segera menoleh ke arah Fauzan cepat.
"Apa? Libur?!" seru Nadia dengan sedikit terkejut. "Jadi, kenapa kita ke sini?" tanya Nadia lagi. Fauzan menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Bukankah, kamu bilang ingin berlatih judo?" tanya Fauzan pada Nadia.
Nadia semakin kaget dengan ungkapan Fauzan. Ia sedikit membelalakkan matanya, dan setengah mengangakan mulutnya, tanda amat senang. Namun, kemudian ia sadar dan segera menutup mulut dan menutupi wajah sumringahnya. Fauzan masih saja tahu, dan ia tersenyum geli melihat Nadia seperti itu.
"Jadi, kamu mau mengajariku?" tanya Nadia yang mencoba bersikap biasa saja di depan Fauzan. Padahal, dalam hatinya benar-benar meletup-letup bahagia.
"Hm...mm...." Fauzan menganggukkan kepalanya dua kali dengan cepat.
"Terima kasih," kata Nadia masih menyembunyikan ekspresi senangnya. Fauzan hanya tersenyum geli melihatnya.
"Ayo, masuk," ajak Fauzan pada Nadia.
Fauzan menarik tangan Nadia. Nadia seketika terjingkat. Ia tak dapat mengendalikan respon tubuhnya. Melihat Fauzan menarik tangannya, ia sontak membelalakkan kedua matanya. Sedangkan, Fauzan masih tersenyum melihat ekspresi Nadia. Setelah menunggu konfirmasi Nadia, Fauzan segera berjalan masuk. Selang sekian detik, akhirnya Nadia juga bisa tersenyum tersipu. Ia merasa nyaman hanya dengan bergandengan tangan dengan Fauzan.
Mereka sudah di dalam. Fauzan menggiring langkah Nadia ke tengah-tengah ruangan tersebut. Saat ini, di ruangan besar itu, hanya ada Nadia dan Fauzan. Di atas lantai matras, mereka berdiri. Fauzan berjalan ke hadapan Nadia. Mereka berhadapan satu sama lain. Nadia kemudian memperhatikan sekitar sejenak.
"Bukankah, terasa aneh?" tanya Nadia setelah mengitari pandangannya ke seluruh ruangan.
"Kenapa?" Fauzan begitu saja.
"Di ruangan sebesar ini. Hanya ada kita. Apa, tidak terlalu berlebihan?" tanya Nadia ragu.
"Apa kamu menginginkan tempat yang lebih kecil? Seperti kamar misalnya?" canda Fauzan.
"Apa?!" seru Nadia tersentak. Fauzan kemudian terkekeh. "Jangan coba-coba ya. Aku akan..." Nadia terhenti dengan kalimatnya sendiri.
"Akan apa?" tanya Fauzan santai.
Fauzan menyedekapkan kedua tangannya sambil menunggu Nadia. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Nadia. Kemudian, ia menarik tangan Nadia dan mendekat ke arahnya. Nadia terjingkat setengah mati, sampai-sampai ia tak mampu lagi berpikir jernih. Yang ada di dalam kepalanya saat ini, hanyalah prasangka yang tidak terduga.
Dalam keheningan itu, Nadia hanya berusaha mengontrol jantungnya yang mendadak berderu kencang. Ia berusaha menggeliatkan tangannya dari Fauzan. Tapi, cengkeraman Fauzan terlalu keras, sehingga Nadia tidak bisa melepaskannya.
"Salah jika caramu seperti itu," kata Fauzan tiba-tiba. Nadia mendadak merasa aneh dan heran dengan kalimat Fauzan. Ia tak mengerti maksudnya dan berhenti menggeliatkan tangannya.
"Jika kamu terus menggeliat, tidak akan membantumu melepaskan diri," ujar Fauzan lagi. Nadia mengernyitkan dahinya mendengar kalimat Fauzan. Fauzan lalu melepaskan cengkeraman tangannya.
"Pegang tanganku," ujar Fauzan sembari memberikan tangannya pada Nadia. Nadia masih melihatnya dengan merasa bingung. "Pegang tanganku!" ulang Fauzan dengan memberikan isyarat matanya pada Nadia untuk memegang tangannya.
Nadia yang masih ragu, akhirnya perlahan memegang pergelangan tangan Fauzan. Dengan sergap, Fauzan segera memutar pergelangan tangannya, sehingga pegangan Nadia terlepas dengan mudahnya. Setelah itu, Fauzan tersenyum melihat ke arah Nadia.
"Bagaimana? Mudah bukan?" tanya Fauzan. "Kamu bisa melakukanya pada orang jahat. Seperti preman yang berusaha mengangkapmu waktu itu." Fauzan dengan lembutnya.
Nadia merasa canggung dan malu. Tentu saja, Fauzan tidak akan berbuat apapun padanya. Jika mengingat preman waktu itu, Fauzan telah membuatnya babak belur. Fauzan juga bahkan sudah mengikuti Nadia untuk menjamin keselamatannya. Nadia hanya merasa diam dan tidak segera menjawabnya.
"Sekarang cobalah," kata Fauzan dengan menaikkan salah satu alisnya. Nadia masih merasa canggung. Ia sangat malu dengan apa yang baru saja dipikirannya.
Nadia kemudian memberikan tangannya pada Fauzan. Lalu, Fauzan mencoba mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Saat itu, Nadia perlahan mencoba memutar tangannya, sesuai dengan ajaran Fauzan. Plas. Lepas begitu saja.
"Wah, berhasil!" seru Nadia dengan senangnya. Fauzan lalu tersenyum.
"Ternyata kamu tipe pembelajar yang cepat juga ya?" kata Fauzan dengan memegangi dagunya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Nadia hanya tersenyum tersipu mendengarnya. Namun, ketika ia mengingat apa yang baru saja dipikirkannya soal Fauzan tadi, ia merasa malu tiba-tiba.
"Maaf, tadi aku hanya spontan saja," ucap Nadia pelan.
"Jadi, sekarang kamu sudah siap berlatih?" tanya Fauzan lagi.
"Hm...mm..." Nadia menganggukkan kepalanya cepat.
"Untuk awalan, paling tidak kamu harus bisa bertahan dan menghindar dulu," ujar Fauzan. "Orang jahat, bisa datang dari arah manapun juga. Sehingga, kamu harus selalu waspada. Dalam hal terdesak, kamu harus bisa tenang," jelas Fauzan. Nadia mendengarkannya dengan seksama.
"Kita ulangi lagi gerakan tadi," kata Fauzan.
Nadia menurut. Ia menganggukkan kepalanya dengan cepat. Fauzan lalu mencoba mencengkeram pergelangan tangan Nadia lagi sebagai latihan.
"Perhatikan. Saat seperti ini, selain kamu harus menghindar, kamu juga harus bisa menyerang lawan. Jadi, setelah kamu memutar pergelangan tangan, kamu harus mencengkeram kerah baju lawan dengan sergap dan kuat. Lalu, barulah dengan tangan yang lain, kamu mencoba mematahkan leher lawan," jelas Fauzan.
Nadia hanya mengangguk tanda mengerti. Pergerakan latihan akan segera dimulai. Dengan posisinya, Fauzan dan Nadia segera bersiap. Apalagi, Nadia sudah paham dengan kalimat Fauzan barusan. Ia gampang saja melakukannya.
Hal yang sama persis dikatakan oleh Fauzan. Setelah Nadia memutar pergelangan tangannya, ia segera mencengkeram kerah baju Fauzan dengan kencangnya. Hal yang terjadi, adalah Fauzan mendekat ke arah Nadia. Wajah mereka saling berdekatan.
Nadia justru tercekat sendiri dengan apa yang dilakukannya. Jarak wajah mereka hanya sekitar beberapa sentimeter saja. Jantung Nadia berdetak amat keras, seolah mau meledak.