Nadia masih belum merespon apapun. Ia tertegun dengan kalimat yang baru saja diucapkan Fauzan padanya. Fauzan seolah mengatakannya dengan bersungguh-sungguh.
"Apa katamu?" tanya Nadia untuk benar-benar memastikan jika ia tidak salah dengar.
"Seperti yang sudah kamu dengar," kata Fauzan. "Aku, merasakan apa yang kamu rasakan pada Agra.
"Kapan?" tanya Nadia.
"Waktu kamu bersama Agra," jawab Fauzan. Fauzan lalu menengok ke arah depan. "Aku pernah merasa sangat kesal dan marah waktu melihatmu dengan Agra. Tapi, ketika aku tidak ingin marah, aku malah menjadi serakah," jelas Fauzan. Nadia melihat Fauzan yang mengungkapkan perasaannya.
"Katakanlah, kalau aku ini memang sedang cemburu," kata Fauzan lagi menengok ke arah Nadia. "Jadi, itu juga yang kamu rasakan saat ini bukan? Apa kamu juga berpikir begitu?" tanya Fauzan dengan melihat ke arah Nadia.
"Apa maksudmu?" tanya Nadia yang mendadak tak paham dengan kalimat Fauzan.
"Apa aku salah soal perasaanmu pada Agra?" ujar Fauzan lagi.
Nadia terdiam. Sejujurnya Fauzan tidak salah sama sekali. Ia hanya menunduk. Tapi, tidak ingin mengungkapkannya di depan Fauzan.
"Sebenarnya, kamu tidak salah," kata Nadia yang ragu saat mengatakannya. "Tapi, aku baru tahu tentangmu padaku," gumam Nadia pelan. Fauzan tersenyum mendengarnya.
"Dari awal aku memang sudah mengatakannya padamu. Anggaplah perasaanku ini adalah sebuah cinta rahasia untukmu. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya padamu, dulu? Apa kamu lupa?" tanya Fauzan pada Nadia dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Cinta rahasia?" ulang Nadia dengan nada tanya. "Seperti perasaanku pada Agra?" kata Nadia refleks bertanya demikian. Fauzan memicingkan matanya ke arah Nadia. Dengan pandangan agak tajam. Kemudian ia menghadap ke depan ke arah lapangan basket di dekat gazebo yang sedang mereka tempati itu.
"Lihatlah lapangan basket itu," kata Fauzan. Nadia melihatnya sesuai pinta Fauzan. "Luas ukuran lapangan basket sekitar delapan belas kali dua puluh lima meter. Lebih besar dari halaman sebuah taman kecil di kota," jelas Fauzan.
Nadia mendengarkan Fauzan. Sejujurnya, ia tidak mengerti dengan apa yang sedang dikatakan Fauzan saat ini. Fauzan nampak masih ingin melanjutkan kalimatnya.
"Lapangan basket itu, punya sudut yang lumayan besar. Lagipula, dalam acara pertandingan basket, pasti ada ratusan penonton." Fauzan kemudian melihat ke arah Nadia. "Dari sekian besarnya sudut pandang lapangan basket dan ratusan penonton itu, matamu hanya tertuju pada Agra." Fauzan kembali menatap Nadia tajam.
Nadia terkejut dengan ungkapan Fauzan.
"Apa itu yang kamu sebut cinta rahasia?" ungkap Fauzan pada Nadia. Fauzan lalu memalingkan wajahnya kembali dari Nadia. "Siapa yang tidak tahu kalau kamu sedang menyukai Agra?" gumam Fauzan seolah berbicara sendiri. Padahal ia masih berbicara dengan Nadia.
Nadia menundukkan kepalanya. Jika dipikir, memang kalimat Fauzan ada benarnya juga. Nadia teringat saat Mika juga sudah tahu meskipun ia selalu mengelak. Apalagi Agra sendiri yang selalu berkomunikasi dengannya? Pandsngan Nadia seolah kosong mengingat semua hal tentangnya dan Agra.
"Kalau begitu, kenapa Agra tidak tahu kalau aku menyukainya?" tanya Nadia yang juga seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Mustahil jika dia tidak tahu," kata Fauzan. "Walaupun, mungkin dia baru mengetahuinya akhir-akhir ini," lanjut Fauzan. Nadia menoleh lagi ke arah Fauzan dengan ekspresi wajah tanya.
"Kenapa kamu bisa tahu soal itu?" tanya Nadia.
"Kamu pikir, apa yang akan dilakukan seorang sahabat, begitu sahabatnya memiliki perasaan atas dirinya?" Fauzan pada Nadia. "Mungkin aku memang tidak tahu pasti sejak kapan Agra tahu kamu menyukainya. Tapi aku benar-benar bisa memastikan kalau dia sudah tahu soal perasaanmu padanya."
Nadia tercekat kembali. Ia semakin berpikir dengan kalimat Fauzan. Fauzan kembali tersenyum melihat ke arah Nadia.
"Kamu hanyalah seorang pengagum rahasia. Tidak pintar menyembunyikan cinta rahasia," lanjutnya. Nadia menundukkan pandangannya. Fauzan lalu menghadap ke depan.
"Katakanlah, kalau perasaanku padamu ini adalah cinta rahasia untuk pengagum rahasia," kata Fauzan. Nadia lalu menolehkan kepalanya melihat ke arah Fauzan. Ia lalu mengerjap pelan melihat Fauzan. Sejujurnya Nadia merasa tertegun dan terkesima dengan kalimat Fauzan. Fauzan lalu juga ikut menatapnya.
"Kenapa, kamu bisa menahannya selama itu?" tanya Nadia pelan.
"Bukankah kamu juga mengalami hal yang sama denganku?" Fauzan membalikkan pertanyaan Nadia. Nadia justru kembali terdiam. Fauzan mengerti benar apa yang dirasakan Nadia. Lalu, Fauzan melihat ke arah Nadia lagi.
"Aku sudah mengatakannya padamu, kalau aku menyukaimu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir dengan judoka-judoka perempuan itu," kata Fauzan. Nadia tercekat mendengar kalimat Fauzan. Ia kembali menundukkan pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa malu dan kecanggungannya. Fauzan melirik ke arah Nadia dan mendekat. "Apa, sekarang kamu percaya padaku?" tanya Fauzan untuk memastikan. Sedangkan, Nadia masih hanya diam merasa tersipu.
"Jadi, apa kamu sudah tidak marah padaku?" tanya Fauzan dengan melirik ke arah Nadia. Nadia melihat Fauzan sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi dengan salah tingkah.
"Aku kan, tidak bilang kalau aku sedang marah," ujar Nadia dengan malu-malu dan masih salah tingkah. Fauzan hanya tersenyum melihatnya.
"Baiklah. Katakanlah kalau kamu memang tidak marah. Tapi, akuilah kalau kamu benar-benar sedang cemburu bukan?" tanya Fauzan lagi. Mendengarnya, Nadia hanya merasa semakin canggung. Dengan memberanikan dirinya, ia mengangguk pelan. Saat Nadia mengangguk, sebenarnya Fauzan merasa sangat bahagia. Ia bahkan tidak menduga jika Nadia akan mengakuinya di depan Fauzan. Saat ini, gantian Nadia yang menoleh kearah Fauzan.
"Sekarang, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Nadia.
"Apapun, tanyalah padaku."
"Apa, sekarang kamu masih merasa cemburu? Atas kedekatakanku dengan Agra?" tanya Nadia yang memberanikan diri.
"Hm..." Fauzan nampak berpikir sejenak. "Entahlah? Aku rasa, sepertinya aku sudah sangat jarang merasakan cemburu lagi," ungkap Fauzan.
"Kenapa?"
"Karena, sekarang kamu sudah dekat denganku," ujar Fauzan dengan menatap mata Nadia lekat-lekat. Nadia kemudian mengalihkan matanya dari Fauzan.
"Aku, tidak pernah tahu itu," gumam Nadia pelan sambil menundukkan pandangannya.
"Tentu saja," sahut Fauzan. Sehingga Nadia kembali melihat ke arah Fauzan. "Aku sudah bilang kalau cinta ini memang cinta rahasia untukmu," ulang Fauzan untuk memberitahukannya pada Nadia. Nadia lalu tersenyum tersipu mendengarkan kalimat Fauzan.
"Nadia," panggil Fauzan sehingga Nadia menoleh ke arah Fauzan. Tiba-tiba terlintas di pikiran Fauzan bahwa ia ingin menanyakan sesuatu pada Nadia.
"Hm?" balas Nadia menanggapi Fauzan.
"Aku sudah mengatakan perasaanku padamu berulang kali. Tapi, sampai sekarang, aku merasa masih belum pernah mendapat jawaban darimu," jelas Fauzan. Kemudian, Fauzan menoleh ke arah Nadia. Matanya menunjukkan keseriusan.
"Dengan semua kedekatan kita saat ini. Dengan semua perasaan jujurku padamu, apa kamu sudah bisa menerimaku?" tanya Fauzan. Sedangkan Nadia, karena pertanyaan itu mendadak diajukan padanya, ia jadi merasa tercekat dan justru tidak bisa merespon dengan cepat.
"Nadia, apa aku sudah bisa memilikimu seutuhnya sekarang?"