Nadia berjalan mendekat ke sebuah gedung. Tertulis komunitas judo. Nadia menganggukkan kepalanya dan memantapkan hatinya. Ia tidak memberitahu Fauzan sebelumnya kalau dia akan datang ke sini. Juga, sebenarnya Fauzan tidak mengajaknya. Padahal, biasanya Fauzan tidak pernah absen mengajaknya ke sini.
Nadia melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Saat ia akan masuk, ia berpapasan dengan para judoka yang sudah keluar ruangan. Nadia merasa sedikit aneh. Kenapa para judoka sudah selesai latihan? Bukannya masih setengah jam? Pikirnya.
Nadia lalu meneruskan langkahnya untuk masuk. Saat sudah masuk, ia melihat Fauzan dan Dicky sedang berbincang di sudut ruangan. Mereka nampaknya tengah berbicara hal serius, sampai tidak tahu kalau Nadia sudah masuk.
Apa yang dibicarakan mereka membuat Nadia sangat penasaran. Ia berjalan mendekat, dan mencoba mendengarkan mereka.
"Zan, aku tidak melihat Nadia bersamamu. Kau tidak mengajaknya kemari?" Suara Dicky lamat-lamat terdengar oleh Nadia. Nadia yang semakin dekat, mencoba mendengarkan mereka dulu. Nadia kemudian menoleh ke arah Fauzan. Kenapa Fauzan nampak diam saja? Tidak menjawab pertanyaan Dicky? Pikirnya.
"Ini, soal Nadia kan?" Sekali lagi suara Dicky yang membuat Nadia menunggu respon Fauzan. Selang sekian detik, nampaknya Fauzan masih terus terdiam. Nadia tahu, Fauzan memang sedang marah dengannya.
"Ada masalah apa kau dengan Nadia?" tanya Dicky kembali. Namun, kelihatannya Fauzan tetap akan diam. Membuat Nadia merasa heran.
Nadia yang dirasa sudah cukup menunggu itu, tak kunjung mendapat jawaban dari Fauzan. Ia akhirnya berinisiatif untuk berbicara. Menjawab pertanyaan Dicky, juga menegaskan pada Fauzan bahwa memang di antara mereka tidak terjadi apa-apa. Nadia lalu berjalan mendekat ke arah mereka.
"Kami tidak ada masalah, seingatku." Nadia yang sudah dekat, dengan wajah tegas segera berbicara. Tentu saja, Fauzan dan Dicky yang tengah berbincang seketika terkejut mendapati Nadia yang tiba-tiba muncul di depan mereka begitu saja.
"Oh, Nadia ada di sini?" ujar Dicky tiba-tiba.
Dicky merasa canggung mendadak, karena baru saja menanyakan soal Nadia pada Fauzan. Namun, Dicky terlihat senang melihat kehadiran Nadia di sini.
Dan kenyataannya, berbeda dengan Fauzan. Fauzan hanya diam dan bahkan ia tidak membalas sapaan dari Nadia. Fauzan hanya kembali memasang kain panjang pada seluruh jari-jari tangannya.
Nadia melihat ke arah Fauzan. Namun, Fauzan nampak fokus pada jari-jarinya saja. Membuat Nadia mengkerutkan keningnya tanda sedih. Dicky yang paham akan situasi tersebut, segera beranjak dari sana.
"Permisi, aku akan membeli beberapa makanan di toko sebelah," ujar Dicky. Lalu ia berjalan melewati Nadia.
"Nadia, aku tinggal dulu ya," katanya lagi pada Nadia. Nadia hanya tersenyum dan mengangguk.
Dalam hitungan detik, Dicky sudah menghilang di antara mereka. Nadia melihat ke arah Fauzan. Fauzan dan Nadia saling pandang satu sama lain sebentar, lalu Fauzan mengalihkan pandangannya dan kembali mengikat tangannya dengan kain.
Nadia melihat Fauzan tidak menyapanya sama sekali. Ia menundukkan kepalanya sebentar, dengan kecewa. Lalu ia mengambil satu langkah maju. Nadia berjalan mendekatinya.
"Apa, kamu akan latihan?" tanya Nadia.
"Seperti yang sudah kamu lihat," jawab Fauzan datar. Sangat berbeda dengan Fauzan yang sebelumnya. Kali ini, Nadia baru tahu Fauzan yang menunjukkan sikap dinginnya. Fauzan masih menyelubungi kain panjang ke seluruh jarinya.
Nadia segera mengambil tangan Fauzan dan membantu Fauzan untuk memakaikan kain itu pada Fauzan. Fauzan sebenarnya sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan Nadia tersebut. Namun ia tidak menolaknya. Amarah yang ada di dalam hatinya, seketika padam dengan sikap lembut dari Nadia. Fauzan memperhatikan wajah Nadia yang menunduk memasangkan kain pada jarinya. Tidak dapat mengelak dari hatinya, Fauzan memang masih menyukai Nadia.
"Kenapa, kamu ke sini malam-malam seperti ini?" tanya Fauzan pada Nadia.
"Untuk melihatmu," jawab Nadia, membuat Fauzan terus menatapnya. Nadia sudah selesai dengan kain itu. Lalu melihat ke arah Fauzan.
"Apa, kamu masih marah padaku?" tanya Nadia ragu.
"Hm...mm..." Fauzan menganggukkan kepalanya. "Masih," lanjutnya.
Nadia sedikit terkejut dengan jawaban Fauzan yang sangat cepat itu. Nadia lalu menundukkan kepalanya sebentar. Fauzan bisa melihat ekspresi kecewa Nadia. Namun, melihatnya Fauzan merasa tenang. Artinya, bukankah Nadia tidak rela bukan? Pikir Fauzan. Nadia segera mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Fauzan cepat.
"Apa, kamu mau berbicara denganku?" tanya Nadia.
"Kenapa tidak?" jawab Fauzan.
Mereka berdua berjalan dan duduk di bangku panjang.
"Apa aku boleh tahu kenapa kamu marah?" Nadia mulai mengawali percakapan.
"Karena kamu tidak bisa menentukan pilihan," jawab Fauzan. Nadia memikirkan kalimat Fauzan baru saja. Jika dipikir-pikir, memang ada benarnya. Nadia lalu menghela nafasnya.
"Aku tahu seperti itulah alasanmu," ujar Nadia sambil menundukkan pandangannya.
"Sekarang, apa aku boleh bertanya padamu soal pertanyaan sulit yang aku tanyakan padamu sebelumnya?"
"Aku sudah paham dengan semua pertanyaanmu. Hanya saja, waktu itu aku masih tidak bisa mengenali diriku sendiri." Nadia melihat ke arah depan dengan pandangan menerawang. Ia kemudian menoleh ke arah Fauzan yang tengah memperhatikannya.
"Sekarang, aku rasa aku sudah bisa menjawab pertanyaanmu itu," kata Nadia yang masih menatap ke arah Fauzan. Fauzan merasa antusias dengan kalimat Nadia tersebut. Ia rasa, bisa menerima alasan Nadia.
"Hal yang sama, yang pernah aku rasakan pada Agra dulu, yaitu aku merasa marah jika melihatmu dekat dengan para judoka perempuan," jelasnya.
"Apa artinya kamu menyukaiku?" tanya Fauzan segera.
"Aku tidak bisa mengatakan seperti itu," jawab Nadia dengan pandangan wajah tertunduk. Membuat Fauzan kembali mengkerutkan keningnya.
"Apa, kamu masih menyukai Agra?" Fauzan kembali bertanya to the point. Nadia kemudian mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Fauzan.
"Sejujurnya, hampir sampai saat ini aku belum memikirkan Agra sama sekali. Bahkan, aku mengganti semua kenangan Agra denganmu," jawab Nadia. Mendengarnya, Fauzan merasa tertegun. Ia lalu hanya diam dan mencermati kalimat Nadia. Fauzan tidak marah karena Nadia sudah berusaha keras untuk berbicara jujur padanya.
"Aku tidak bisa mendeskripsikan apakah ini yang dinamakan perasaan suka. Tapi, setiap kali aku bersamamu, aku selalu merasa gelisah," ungkap Nadia. Kalimat Nadia baru saja, membuat Fauzan merasa bahagia. Fauzan masih diam mencoba memberikan waktu untuk Nadia berbicara.
"Melihat kamu marah tadi pagi, membuatku sadar kalau aku merasa sedih dan takut kehilanganmu," lanjut Nadia. "Tapi, aku masih belum bisa memutuskan apakah aku bisa menjadi pacarmu atau tidak," kata Nadia.
"Aku bisa mengerti," ujar Fauzan. Nadia menoleh ke arah Fauzan. "Aku tahu karena ini semua berhubungan dengan perasaan. Aku juga tidak memaksamu buru-buru untuk menjadi pacarku. Hanya saja, aku ingin tahu perasaanmu. Sekarang, aku sudah tahu perasaanmu dan aku merasa senang mendengarnya." Fauzan melihat ke arah Nadia dengan tersenyum. Nadia juga membalas pandangan Fauzan dengan ekspresi yang sama.
Sebuah keheningan dalam kekosongan ruangan itu, mereka saling tatap. Saling jujur mengungkapkan perasaan satu sama lain. Nadia dan Fauzan sadar, jika komunikasi dan saling mengerti bisa menjadi obat terbaik mereka saat ini. Mereka sudah lega dengan apa yang mereka jalani satu sama lain.