Fauzan dan Dicky masih melihat ke arah pintu masuk. Mereka lalu saling berpandangan satu sama lain. Saling memberi isyarat pandangan yang sama. Inilah pak Doni itu.
"Jadi ini, pak Doni?" tanya Dicky yang memang belum pernah melihat wajah pak Doni sebelumnya.
"Ya," jawab Fauzan mengiyakan.
"Apa beliau memang sendirian saja? Aku pikir, pak Doni ke sini ditemani sopir atau semacamnya," tambah Dicky. Fauzan menoleh ke arah Dicky. Kemudian, ia hanya mengangkat kedua bahunya pelan.
"Ayo, kita sambut," ujar Fauzan. Dicky seraya menganggukkan kepalanya.
Nadia yang duduk di bangku panjang di sudut ruangan itu, hanya diam melihat pemandangan yang bisa dijangkaunya. Ada laki-laki tengah baya yang masuk, juga ia melihat Fauzan dan Dicky berjalan ke arah laki-laki itu menyambut kedatangannya.
Nadia berpikir, mungkin itu tamu penting bagi mereka? Ia hanya menunggu Fauzan. Lalu, ia kembali bermain dengan ponselnya. Melihat-lihat sosial medianya.
Sebentar-sebentar Nadia menengok ke arah laki-laki tadi. Dilihatnya masih berbincang dengan Fauzan dan Dicky. Nadia melihat jam tangannya, pukul delapan malam. Mungkin, ia dan Fauzan nanti akan pulang satu jam lagi. Pikirnya.
Nadia kembali melihat ponselnya untuk berjelajah ke dunia maya. Sedangkan, untuk Fauzan dan Dicky yang sudah dekat dengan pak Doni, menyambutnya ramah.
"Selamat datang, Pak," sambut Fauzan menjabat tangan pak Doni. Diikuti dengan Dicky. Mereka berdua tersenyum ramah dan sopan.
"Kamu, Fauzan Narendra?" tanya pak Doni.
"Betul pak," jawab Fauzan mengangguk satu kali. Kemudian, Fauzan melirik ke arah Dicky. "Ini, Dicky. Pengelola komunitas ini," tambah Fauzan lagi. Pak Doni mengangguk dengan ramah pula.
"Apa, bapak sendirian?" tanya Fauzan.
"Ya, lebih enak sendiri. Lebih leluasa. Ha-ha-ha..." tawa pak Doni menandakan bercanda.
"Sebelumnya, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih. Karena bantuan pak Doni, kami bisa mengikuti turnamen judo nasional," tutur Fauzan.
"Tidak masalah. Aku juga dekat dengan pak Ferland, jadi aku pun senang bisa membantu," kata pak Doni, menyebutkan nama ayah Fauzan.
"Terima kasih sekali lagi, Pak," Dicky dan Fauzan menganggukkan kepala.
"Nanti, sebagai gantinya saya akan mempromosikan produk pak Doni pada siapa saja yang saya kenal."
"Bagus kalau begitu. Terima kasih," ujar pak Doni.
"Justru kami yang seharusnya berterima kasih," timpal Dicky.
Pak Doni lalu melihat ke sekitar area di dalam bangunan tersebut. Dilihatnya, nampak kosong. Tidak ada siapapun.
"Kenapa tidak ada yang berlatih?" tanya pak Doni.
"Hari ini, kami sedang libur," jelas Fauzan.
"Oh..." tanggap pak Doni kembali memperhatikan sekitar. Bola matanya berhenti begitu melihat seorang gadis yang duduk di sudut ruangan. Ia terus menatap gadis itu dengan saksama.
"Itu, siapa? Yang berlatih di sini juga?" tanya pak Doni. Fauzan dan Dicky melihat ke arah Nadia yang ditunjuk dan ditanyakan pak Doni.
"Bukan pak. Dia teman saya," kata Fauzan.
Pak Doni kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali memperhatikan Nadia yang terus menatap layar ponselnya. Fauzan melihat ke arah Nadia, lalu melihat pak Doni lagi. Ada sebuah jeda waktu di sana, meskipun Fauzan tidak bisa mengartikan apa pandangan pak Doni pada Nadia.
"Jadi, hari ini tidak ada latihan?" tanya pak Doni tiba-tiba pada Fauzan.
"Tidak pak," jawab Fauzan.
"Jadi sayang sekali. Niatku aku ingin melihat anak-anak latihan," kata pak Doni lagi. Fauzan dan Dicky kembali berpandangan.
"Kalau begitu, pak Doni silahkan melihat Fauzan berlatih saja," tawar Dicky. Fauzan segera melihat ke arah Dicky dengan kode mata terkejut. Fauzan nampak tidak mau. Hanya saja, sepertinya Dicky menawarkan itu agar Fauzan mau.
"Bagus kalau begitu. Aku akan melihatmu latihan," ujar pak Doni. Fauzan nampak sedikit keberatan. Tapi karena pak Doni sudah bilang seperti itu, mau tidak mau Fauzan akhirnya mempersilahkan pak Doni masuk.
"Kalau begitu, silahkan melihat saya pak. Saya akan mempersiapkan latihan saya dulu," kata Fauzan. Fauzan berjalan ke arah ruang ganti. Sedangkan Dicky pergi keluar untuk membeli minuman. Perlahan, pak Doni berjalan ke arah Nadia yang duduk sendirian. Nadia yang dari tadi menunduk karena tengah melihat layar ponsel, sedikit kaget begitu pak Doni mendatanginya tiba-tiba.
"Sendirian saja di sini?" tanya pak Doni begitu sudah ada di depan Nadia.
"Eh, iya pak," jawab Nadia tersenyum sopan dan ramah.
"Mau melihat Fauzan berlatih juga?" tanya pak Doni yang tengah berdiri.
"Iya, Pak," jawab Nadia mengangguk.
"Kalau begitu, boleh duduk di sini?" Pak Doni menunjuk bangku yang diduduki Nadia yang masih kosong.
Nadia melihat bangku di sampingnya. Sejujurnya, Nadia sedikit tidak nyaman dengan kemauan pak Doni yang terlalu tiba-tiba itu. Nadia baru saja mengenal pak Doni, tapi sudah mau duduk bersebelahan. Lagipula, Nadia merasa senyuman pak Doni tadi, agak sedikit menakutkan baginya. Tapi, berhubung pak Doni seumuran dengan ayahnya yang harus dihormati, dan juga pak Doni adalah tamu Fauzan, Nadia tidak dapat menolaknya.
"Silahkan saja, Pak," kata Nadia.
***
"Hari ini aku tidak ada kegiatan apapun. Apa hari ini kamu ada latihan?" tanya Nadia pada Fauzan melalui panggilan telefon. Fauzan yang mendengarnya, tidak segera menjawab pertanyaan Nadia. Nadia sampai menunggu dan membuat Nadia heran.
"Halo? Zan? Kamu mendengarku kan?" panggil Nadia untuk memastikan.
"Iya, aku mendengarmu," jawab Fauzan. "Sebenarnya, hari ini aku akan berangkat latihan sendri dulu," ujar Fauzan. Mendengar Fauzan Nadia justru merasa aneh dan menjadi bertanya-tanya. Tumben sekali Fauzan tidak mau mengajaknya.
"Kenapa? Padahal aku ingin ikut melihatmu latihan," kata Nadia.
"Sebenarnya, hari ini pak Doni datang ke tempat latihan," ujar Fauzan dengan ragu.
Mendengar kalimat Fauzan, Nadia baru mengerti apa maksud Fauzan. Sejujurnya, ada yang aneh dengan pak Doni itu. Berhubung pak Doni adalah tamu penting karena merupakan donatur dana untuk turnamen, maka Nadia patut menghormatinya.
Nadia sendiri baru tahu kalau pak Doni adalah seorang donatur. Saat pak Doni sudah pulang, Nadia baru mengatakan pada Fauzan soal ketidaknyamanannya dengan pak Doni. Fauzan tentu bisa mengerti dia. Lebih baik, tidak perlu bertemu dengan pak Doni dulu.
"Kalau begitu, aku akan di kos saja," kata Nadia.
"Maafkan aku. Kapan-kapan, aku akan mengajakmu bersamaku," kata Fauzan dengan berat hati. Baru kali ini ia tidak mengajak Nadia setelah mengungkapkan perasaan pada Nadia.
"Iya. Maaf, aku juga tidak tahu," balas Nadia.
"Aku tutup dulu," kata Fauzan.
Panggilan ditutup.
Begitu panggilan berakhir, Fauzan terdiam bimbang. Ia nampak serius memikirkan sesuatu.
Kemarin, saat Fauzan baru saja keluar dari tempat ganti, ia melihat pak Doni sedang duduk di sebelah Nadia.
Dari kejauhan, Fauzan memperhatikan mereka dan Fauzan bisa menebak kalau Nadia sangat tidak nyaman. Fauzan merasa ragu begitu melihat pak Doni yang sok akrab dengan Nadia? Atau, mungkin saja memang pak Doni sangat ramah? Tapi, tetap saja Fauzan memiliki keraguan soal itu.