Chereads / Secret Love for Secret Admirer / Chapter 23 - Just Found Out

Chapter 23 - Just Found Out

Nadia merasa tubuhnya kaku tidak bisa digerakkan. Padahal, ia masih mencengkeram kerah baju Fauzan yang berdiri tepat di depannya dengan jarak sekitar beberapa sentimeter. Nadia saat ini bahkan tidak dapat mengontrol gerakannya.

"Bagaimana? Sudah jelas?" Suara Fauzan tiba-tiba membuatnya tersentak.

Nadia masih hanya bergeming sambil mengerjap. Fauzan menaikkan kedua alisnya melihat ke arahnya. Nadia kemudian segera melepaskan kerah Fauzan dengan mendorongnya agak keras hingga Fauzan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

"Sudah," ucap Nadia salah tingkah.

"Ternyata, kamu cepat sekali paham ya?" ujar Fauzan pada Nadia. Nadia hanya terdiam sembari tersenyum kecil. Terjadi kesunyian di antara mereka sejenak.

"Jadi, bagaimana? Apa menurutmu aku sudah bisa gerakan itu?" tanya Nadia yang mencoba memecah keheningan.

"Tentu saja kamu sudah bisa," jawab Fauzan. "Hanya saja..."

Fauzan menghentikan kalimatnya dan menoleh ke arah Nadia. Nadia pun juga ikut menoleh ke Fauzan.

"Hanya apa?" tanya Nadia.

"Saat berlatih, jangan terlalu fokus padaku," ujar Fauzan dengan menaikkan salah satu alisnya.

"Siapa yang fokus padamu?!" sanggah Nadia cepat. Ia segera mengalihkan pandangannya dari Fauzan. Fauzan kembali tersenyum ke arahnya.

"Apa kamu yakin?" tanya Fauzan yang berjalan mendekat ke arah Nadia. Ia semakin dekat dan dekat. Hingga berada tepat di depan Nadia. Nadia hanya terdiam sambil mengerjap. Fauzan yang sudah ada di depan Nadia, kembali menggenggam tangan Nadia.

"Kita lakukan sekali lagi," ujar Fauzan. Ia menarik pelan tangan Nadia. Dengan segala kekuatan, Nadia mencoba melepaskan pegangan Fauzan dari tangannya. Namun, sebelum itu Fauzan sudah terburu semakin dekat dan sangat dekat.

"Apa, yang akan kamu lakukan?" tanya Nadia ragu.

"Apa yang kamu harapkan?" Fauzan balik bertanya.

Mereka saling tatap dengan jarak yang begitu dekat. Nadia hanya mengerjap sembari terus menahan nafas.

"Aku bahkan bisa mendengar detak jantungmu," kata Fauzan dengan setengah berbisik.

Nadia dengan sergap, memutar pergelangan tangannya, dan ia membungkuk untuk bisa keluar dari genggaman Fauzan. Nadia lepas dengan mudah begitu saja.

"Aku, ke kamar mandi dulu," kata Nadia setelah bisa menghindar dari Fauzan. Kemudian, ia berjalan dengan cepat ke arah kamar mandi. Fauzan, hanya tersenyum melihatnya.

***

Fauzan memberikan satu kaleng soda berisi pada Nadia. Nadia yang tadinya menunduk mencari sesuatu di dalam tasnya, begitu melihat Fauzan, segera mengangkat kepalanya. Nadia melihat ke arah Fauzan dengan tatapan ragu.

"Ini untukmu," ujar Fauzan pada Nadia. Nadia menerimanya perlahan.

"Terima kasih," jawab Nadia.

Fauzan lalu duduk di samping Nadia. Selesai berlatih, mereka bersantai di bangku panjang sudut di dalam ruangan. Nadia membuka kaleng sodanya dan meminumnya.

"Soda itu juga berguna menenangkan detak jantung yang tidak karuan," kata Fauzan.

"Uhuk...uhuk..." Nadia tersedak begitu mendengar Fauzan berbicara begitu. Fauzan terkejut melihatnya dan menepuk-nepuk punggung Nadia pelan.

"Apa kamu tidak apa-apa?!" tanya Fauzan khawatir. Ia masih menepuk punggung Nadia dengan pelan, sampai Nadia selesai tersedak.

"Aku, tidak seperti itu." Nadia mengusap mulutnya.

"Hah?" Fauzan mengangakan mulutnya, tak mengerti apa maksud Nadia. "Aku hanya bilang sesuai info yang aku tahu," kata Fauzan. Ia kemudian mendekat ke arah Nadia. "Jadi, kamu sedang deg-degan ya?" ucap Fauzan sembari menaikkan salah satu alisnya.

Nadia kembali mengalihkan pandangannya dari Fauzan. Ia kembali meminum sodanya. Mengacuhkan Fauzan karena merasa malu. Juga, berusaha mencari sebuah topik untuk dibicarakan.

"Hari apa saja di sini libur?" tanya Nadia dengan canggung yang berusaha mengalihkan pembicaraan. Fauzan pun juga menghadap ke depan.

"Hari rabu dan Jum'at," jawab Fauzan. "Karena hari itu, adalah jadwal aku dengan ayahku. Aku tidak ingin melewatkannya," kata Fauzan lagi. Nadia lalu memutar kepalanya memperhatikan Fauzan.

"Sepertinya, kamu sangat menyayangi ayahmu?" tanya Nadia akhirnya. "Kamu juga bilang kalau kamu menyukai judo karena ayahmu bukan? Memangnya kenapa?" Nadia masih melihat ke arah Fauzan.

"Saat aku kecil, aku sering sekali melihat ayahku berlatih judo. Sejak itulah, aku menilai judo sangat menarik karena ayah yang membuatnya seperti itu."

Nadia mendengarkan Fauzan bercerita. Pandangan Fauzan menerawang ke depan. Seolah ia memang melihat ayahnya di depan.

"Waktu itu, ayah bilang kalau ayah akan mengikuti turnamen judo. Jadi, setiap hari ayahku sangat giat berlatih. Untuk turnamen nasional pertama kalinya, ayah semakin giat melatih gerakannya. Semua teman ayah juga tidak meragukannya lagi, bahwa dalam komunitas judo ayah, ayahlah yang ditunjuk untuk mewakili turnamen tersebut."

"Aku bisa menebak kelanjutannya," ujar Nadia cepat. "Pasti, ayamu memenangkan turnamen itu dengan mudah kan?" tebalnya. Fauzan melihat ke arah Nadia sebentar. Kemudian, ia menghadapkan kepalanya ke depan lagi.

"Tapi nyatanya, saat turnamen dimulai, ayah tidak bisa ikut," kata Fauzan. Nadia yang mendengarnya mengkerutkan keningnya merasa aneh.

"Kenapa?" tanya Nadia spontan.

"Ayahku, mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju ke turnamen," kata Fauzan dengan nada getir. "Ayah, pingsan agak lama. Saat ayah siuman, ayah menyadari bahwa ayah tidak akan bisa mengikuti pertandingan untuk selamanya."

Nadia ingin bertanya lagi. Namun, ia menyimpan rasa penasarannya. Karena ia merasa Fauzan sedikit kesulitan mengungkapkan kalimatnya. Ia akhirnya terus menunggu Fauzan sampai Fauzan selesai berbicara.

"Karena waktu itu..." Fauzan nampak menyiapkan hatinya untuk memulai kalimatnya. "selain ayah kehilangan waktu karena pertandingan sudah usai, ayahku juga kehilangan salah satu kakinya." Fauzan menahan gerahamnya, mencoba untuk tegar. Nadia yang terkejut mendengarnya, refleks menahan nafasnya.

"Akibat kecelakaan itu, kaki ayahku harus diamputasi. Itu menjadi penyesalan terbesar bagi ayah. Karena ayah sudah menghancurkan harapannya dan harapan semua yang telah mendukungnya," jelas Fauzan.

"Rasanya, aku ingin sekali memutar balik waktu. Aku ingin mengembalikan kesempatan kebahagiaan ayah yang sekarang hilang selamanya."

Pandangan Fauzan tertunduk sedih. Nadia mengamatinya. Tak disangka, ada kegetiran dalam hati Nadia ketika melihat Fauzan seperti itu. Apa artinya? Nadia sendiri tidak tahu.

"Tapi, aku rasa kamu sudah berhasil memberikan kesempatan itu lagi," kata Nadia. Fauzan yang tadinya menunduk ke arah depan, melihat ke arah Nadia pelan.

"Bukankah, setiap tahun kamu memenangkan turnamen judo? Itulah kesempatan yang sudah hilang itu. Apalagi, kamu berhasil mendirikan komunitas ini. Komunitas yang besar ini, dengan usiamu yang sangat muda. Itu benar-benar sangat berarti," tutur Nadia.

Fauzan melihat ke arah Nadia. Ia tak menyangka jika rupanya, Nadia memiliki sifat damai. Mendengar kalimat Nadia, Fauzan jauh lebih tenang karena ia membenarkannya. Fauzan yang selama ini, merasa mengetahui semua soal Nadia, baru menjumpai saat Nadia menjadi seorang pendengar yang baik. Bahkan, ia merasa terhibur. Fauzan lalu menarik nafas panjangnya.

"Terima kasih," kata Fauzan sembari tersenyum ke arah Nadia. Nadia pun juga ikut mengikuti senyumnya untuk Fauzan.

Sedangkan, Nadia melihat sisi lain dari seorang Fauzan. Nadia tidak menyangka, jika Fauzan yang selama ini selalu tersenyum di depannya itu, ternyata menyimpan sebuah kesedihan juga. Kesedihan yang selama ini ia simpan sendiri. Jika dikatakan, satu pembicaraan ini bisa mengantarkan mereka untuk saling tahu satu sama lain.