"Kau ingin aku melihat wanita yang sedang tertidur?" tanyanya. Melirik Delwyn yang berdiri di sisi Daeva. "Kau menyuruhku untuk datang ke Washington DC hanya untuk untuk ini?" Daeva meninggikan nada bicaranya. Dia kesal, sebab Delwyn membuat Hank pergi, padahal dia masih punya banyak pertanyaan untuk semua yang dikatakan oleh Hank padanya.
"Dia pingsan lagi, Daeva! Hanya kau yang bisa menyembuhkan Areeta. Kau yang membuatnya begini." Delwyn ikut marah. Bukan dia yang korban, tetapi Areeta. Wanita yang dia cintai benar-benar dalam kesulitan sekarang. "Jika saja kau tak memanggil memorinya, maka dia tak akan sakit kepala dan pingsan. Jadi semua ini adalah salahmu."
"Sudah berapa kali aku katakan? Areeta menggembok memorinya. Dia mengubur dalam-dalam kenangannya bersama sang kakek. Bukan salahku!" Wanita itu menegaskan. Tak mau dijadikan tersangka. Pasalnya, sihir Daeva tak pernah keliru. Tak pernah menyakiti orang lain kecuali itu adalah tujuannya.
"Aku tidak akan menyakiti kekasihmu. Aku hanya ingin mendapatkan memori tentang kakeknya. Sihirku yang ada di dalam tubuh Areeta bukan untuk menyakiti atau bahkan membunuhnya, Delwyn. Aku juga tidak bisa melakukan itu sebab perjanjianku dengan Sang Agung Loralei."
Delwyn menghela napasnya. Duduk di atas kursi. "Bagaimana jika dia tak kunjung sadar?" tanya pria itu. "Kau tadi bilang bahwa dia akan segera sadar. Namun, nyatanya ... dia tak kunjung sadar."
"Dia akan sadar." Daeva melirih. Mencoba untuk melunak. Meksipun itu sulit untuk dilakukan. Dia masih marah, sebab Delwyn mengacaukan pertemuannya dengan Hank. Tak mudah untuk bertemu dengan penjaga di perbatasan.
"Aku harus pergi sekarang." Daeva kembali berucap. Memutar tubuhnya, berniat menghilang selepas itu. Namun, Delwyn menarik tangannya. Membuat Daeva terkejut bukan main. Sebelumnya tak pernah ada yang bisa menghentikan dia ketika ingin pergi dan menghilang. Delwyn terus aja melakukan hal-hal gila yang membuat Daeva tak bisa berkata-kata lagi.
"Kau menahanku?" tanyanya heran.
Delwyn mengangguk dengan samar. Tak ada yang terucap lagi. Dia hanya diam, membisu.
"Bagaimana kau melakukan itu? Kau mengucapkan mantra?"
Delwyn menggelengkan kepala. "Aku hanya memegang tanganmu. Itu hal yang wajar bukan?"
Daeva meliriknya. Perlahan-lahan genggaman tangan Delwyn lepas dari pergelangan tangannya.
"Itu adalah hal yang aneh?" tanyanya. Sedikit ragu, sebab wajah Daeva berkata demikian. Seakan semua yang dilakukan oleh Delwyn adalah hal yang langka.
"Lupakan ...." Daeva menyerah. Enggan membahas itu sekarang. Delwyn pun tak akan mengerti, itu sebabnya dia memilih menyudahinya. Daeva pun tak bisa menjelaskan apapun. Dia terkejut sama halnya dengan Delwyn.
"Kalau begitu jangan pergi. Setidaknya jika terjadi sesuatu pada Areeta, kau bisa langsung datang."
Wanita itu menarik napasnya dalam-dalam. Menahannya sejenak. "Aku bahkan bisa tahu apa yang terjadi pada semua manusia yang mendapat sihir dariku, Delwyn. Aku akan datang jika terjadi sesuatu padanya. Jadi jangan menahanku, dan biarkan aku pergi. Ada urusan yang jauh lebih penting sekarang."
Delwyn menghela napasnya. Dia menunduk, menjatuhkan pandangan mata. Tak lagi menatap ke arah Daeva. Seakan menyerah dan pasrah. "Kau tidak mengerti ....."
"Apa yang harus aku mengerti, Delwyn? Kau yang tidak mengerti. Cara kerja duniamu dan duniaku benar-benar berbeda."
Delwyn menatapnya dengan sayu. Daeva diam dalam sejenak..
"Semua yang ada di duniaku dikendalikan oleh sihir, apapun yang tak kau percaya benar-benar adanya di dalam duniaku. Bahkan jika Areeta mati, aku bisa memberi nyawa untuknya. Namun, sudah aku katakan berkali-kali bahwa Areeta tidak akan mati. Dia tidak pernah mati hanya karena sihir ringan yang aku tanamkan di dalam alam bawah sadarnya."
"Kenapa kau begitu ingin menggali memori itu? Jika kau bilang itu menyakitkan maka seharusnya kau tidak menyakitinya dan menghentikan itu. Mengambil kembali—"
"Aku akan mengembalikan semuanya. Aku akan membuatnya lupa bahwa dia sudah menggali memori itu setelah aku mendapatkan apa yang aku inginkan."
"Soal Althea-lux bukan?" sahut Delwyn. Dia menjadi sok tahu sekarang. "Hanya karena kitab itu kau menjadi egois? Tidak ada yang istimewa dari kitab itu."
"Sudah aku katakan bahwa hidup kita berbeda, Delwyn. Aku melihat apa yang tak kau lihat dan kau melihat apa yang tak kulihat juga." Daeva melirih. Sekarang dia berbicara dengan lembut, seakan pasrah pada keadaan. "Aku selalu menepati janjiku. Aku tidak akan membunuh siapapun. Jadi tunggulah waktunya datang dan aku akan membebaskan kekasihmu."
Daeva ingin pergi, tetapi Delwyn kembali menahannya. Menatap Daeva dengan penuh harapan. "Aku mencintainya. Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Jadi aku mohon padamu, untuk benar-benar datang jika dia tak kunjung sadar."
Daeva hanya diam. Cinta? Dia pernah merasakan itu. Jauh di masa yang lampau, saat dia masih menjadi manusia biasa. Rasanya benar-benar menyesakkan.
... To be continued ...