Daeva duduk di atas sebuah batu besar. Ukiran kuno menandakan perjalanan batu ini bisa sampai ke Oxilir, lembah perdamaian.
"Aku lebih kau mengganti namanya," ujar Daeva memulai. Berbasa-basi, atas kuasa Sang Agung Loralei ada jamuan di sini. Beberapa menu makanan yang tak layak untuk manusia santap, tetapi tidak ada manusia asli di sini. Raganya memang milik manusia, tetapi yang membuat Daeva hidup abadi adalah roh dan kekuatan dari seorang iblis Agung yang menangani lembah perdamaian di Oxilir. Sang Agung Loralei.
"Kau masih berpikir ini adalah surga?" Sang Agung Loralei berucap. Duduk di atas singgasana besar dengan pahatan aneh di sana. Semacam bunga matahari, tetapi sisinya terbakar oleh api. Inilah lambang dari tanah perdamaian, tempat Sang Agung Loralei bersemayam selama milyaran tahun. Dia adalah raja dari segala raja dunia iblis.
"Surga versi gelap," katanya, menarik satu piring hidangan di depannya. "Jantung babi?" tanya Daeva. Melirik Sang Agung. "Aku lebih suka kepalanya."
"Katakan apa yang ingin kau katakan, Daeva. Jangan mengulur waktu. Kecuali kau akan merasakan hempasan luar biasa ketika Cyrus mengenai tubuhmu."
Daeva meliriknya. Permata bulat berwarna merah darah yang menggumpal itu menjadi lambang kesombongan Sang Agung Loralei. Siapa pernah menyangka, kalau tongkat itu terbuat dari tulang belulang milik musuh terbesarnya dulu. Tangan yang menggenggam bola Cyrus adalah perwujudan nyata bagaimana musuhnya mempertahankan kekuatan di dalam bola itu. Sang Agung Loralei mengalahkannya.
"Jangan pernah menyombongkan itu, kau mencurinya dari bukit siluman. Itu tidak baik," katanya tertawa lagi. Daeva suka dengan suasana di sini.
"Hank menemuimu?" tanyanya. Mengubah alur dengan cepat. Dia tak punya selera humor. "Apa yang dia katakan?"
Daeva menatapnya lagi. "Dia tidak datang ke sini?"
"Abu guci milik Maris dicuri dan diganti dengan abu rusa liar?" Sang Agung Loralei tertawa lepas. Namun, ingat, dia tidak punya selera humor. Tawanya adalah untuk menertawakan kegagalan yang dilakukan oleh para angsa penjaga di gerbang perbatasan.
"Seseorang menyusup gerbang perbatasan. Mengambil abu Maris dan menyempurnakan kejahatan itu."
Perempuan itu menghela nafasnya dengan kasar. "Selanjutnya apa?" tanya Daeva. Menyita fokus Sang Agung Loralei.
"Itu yang ingin aku tanyakan padamu. Aku tidak bisa mempercayai Decurion kalau sudah menyangkut pasal Maris dan Dierdre."
"Maris adalah pembuat manta iblis yang mematikan. Jika mantra itu dipelajari dan dirapalkan lalu membuat kitab Althea-lux, maka ajaran iblis akan menyebar bak sebuah virus di dunia manusia."
"Kita adalah iblis, apa salahnya? Bukankah itu artinya kita akan menang melawan surga dan malaikat?"
Sang Agung Loralei menghentakkan tongkatnya. Pusaran angin muncul kemudian. Membawa sebuah ilusi mata yang mengejutkan.
"Bangsa kita bukan iblis penggoda manusia, Daeva. Kita berbeda dengan Maris dan Dierdre atau Daviela." Sang Agung Loralei mulai menjelaskan. Membawa kilas balik yang membisu pandangan Daeva. Semuanya benar-benar sempurna.
"Tugasku adalah menghantarkan jiwa-jiwa yang mati ke dalan lembah penghakiman di tanah iblis, Sheol untuk mendapat ganjaran dan keputusan yang adil di atas penghakiman Little Sweatmeat. Kita tidak pernah ikut campur urusan manusia di dunia, Daeva." Sang Agung Loralei menjeda. Turun dari singgasananya.
"Sebelum pergi ke surga atau neraka, tugasku adalah memberi keputusan layaknya seorang hakim di dunia atas semua manusia yang berdosa. Aku mengulas dosa mereka, sebelum menyampaikannya pada Sang Kuasa." Sang Agung Loralei menatap lawan bicaranya. "Itu adalah prosedur."
"Dunia di dalam Tanah Sheol tidak bisa bercampur dengan surga atau neraka. Kita berada di ambang yang tak pasti. Di dalam Tanah Sheol, aku tinggal di lembah yang kusebut sebagai Oxilir atau lembah perdamaian pertama. Di sini ... kita bukan ingin berdamai dengan surga dan neraka, tetapi tidak ada satu pun iblis yang bisa berkelahi di tanah ku. Itulah mengapa aku menyebutnya sebagai lembah perdamaian."
Dia mengangguk. Tak jadi memakan daging mentah di depannya. "Seperti gerbang perbatasan?"
"Setelah seseorang mati, mereka akan pergi ke gerbang perbatasan. Di sana mereka harus meninggalkan apa yang ada di dunia dan menyambut perjalanan panjang yang tiada habisnya. Ada satu ruangan tunggu yang besar. Semuanya menunggu giliran untuk dipanggil. Selepas giliran mereka datang, maka para angsa akan mengantar mereka ke pintu selanjutnya."
"Gerbang Tanah Sheol?" Daeva menebak. Dia sudah pernah mengalaminya.
Sang agung Loralei mengangguk. "Di sinilah kalian akan diadili sesuai dengan semua dosa. Tak semua orang punya dosa dan kebaikan yang seimbang, Daeva." Ia menatap ke arah Daeva. "Salah satunya adalah kau."
"Tanah Sheol memberi keringanan padamu untuk menebus tujuh dosa terbesar agar surga atau neraka bisa menentukan pilihan yang tepat. Anugerah yang aku berikan, tidak untuk membawamu ke Surga dan hidup bahagia di sana. Namun, itu bergantung bagaimana kau menjalani hidupmu."
Daeva mengangguk. "Lalu bagaimana dengan Maris?"
"Dia sudah mati, aku membakarnya waktu itu. Namun, para angsa bodoh itu melalaikan tugasnya. Membiarkan abu Maris hilang begitu saja. Kau harus mencarinya. "
Daeva mengerutkan keningnya. "Kenapa harus aku? Decurion bisa melakukan itu. Dia hebat dalam hal terbang dan mencari mangsa."
Sang Agung Loralei tiba-tiba saja menarik tangan Daeva. "Gunakan sisik yang ditinggalkan oleh Maris di dalam tubuhmu untuk melacak keberadaan abu itu, Daeva."
"Sisik?" tanya Daeva tak mengerti. "Dia tidak meninggalkan apapun yang—" ucapannya terhenti. Rasa sakit menyerang dadanya kala bola Cyrus ditempelkan di atas dada Daeva.
"Maris tak sengaja meninggalkan itu saat kau berperang dengan Dierdre, pengikutnya."
... To be continued ...