"Delwyn!" Panggilan itu baru saja ditujukan untuk dirinya. Pandangan mata seorang pria benar-benar tertuju padanya sekarang. Delwyn tak menyangka kalau dia akan berakhir di tempat ini, bersama sang ayahanda yang hampir saja menganggap dirinya melakukan kebohongan sebab dia kembali ke Washington DC tanpa memberi kabar, juga hipersensitivitas elektromagnetik tidak akan sembuh semudah itu. Rasanya semua tidak masuk akal.
"Jadi kau mengatakan bahwa Daeva yang memberikan kesembuhan padamu?" Mr. Halmet menatap sang putra, tatapan matanya terasa begitu serius.
"Ayah tahu sendiri siapa itu Daeva, itulah alasan ayah membawaku ke sana bukan?" Delwyn nampak santai. Memandangi setiap sudut ruangan. Semuanya mulai terasa asing untuk dirinya. Aneh rasanya, sebab ini adalah rumah pribadi Delwyn sebelumnya. Namun, sebab tak pernah datang kemari lagi, dia sudah merasa bahwa dirinya sedang berada di tempat lain. Yang asing.
"Jadi, dia benar-benar bisa melakukan semacam sihir?"
"Ayah tidak percaya?" tanya Delwyn, penuh keheranan. "Aku bahkan melihat iblis di depan mataku sendiri." Dia mulai tertarik, nada bicaranya sedikit berlebihan. Seakan-akan rasa terkejutnya benar-benar besar adanya.
"Kenapa mengirimku ke sana jika kau ragu?" Delwyn kembali membuka suaranya. Menatap ayahnya dengan serius. "Jangan bilang ..."
"Kakakmu meninggalkan kisah yang tak tuntas, itu membuatku hampir gila!" Mr. Halmet mulai mengeluh. "Pikirkan saja dari mana semua kekayaan yang dia punya?" Ia menatap sang putra. "Semuanya berasal dari Daeva! Daeva Desdemonav. Dia bahkan membuatku bermimpi buruk tak karuan. Aku hanya ingin ... memastikan saja bahwa dia benar-benar bisa melakukan semuanya dengan menggunakan sihirnya."
Delwyn menghela nafasnya. "Bahkan dia membuat bangunan imajinasi dengan menggunakan sihirnya," sahut Delwyn kemudian. Dia tersenyum aneh pada ayahnya. "Itulah dia."
Delwyn tidak mewarisi sikap ayahnya. Mereka jauh berbeda. Seperi yang dikatakan oleh Daeva sebelumnya, dia tidak mau menjadikan pria itu sebagai penyala lilin terakhir sebab Halmet Stewart tidak memenuhi syarat. Dia tidak akan berhasil menyalurkan api dan menyalakan lilin. Bahkan dia ragu jika Halmet berhasil untuk menerbangkan lampion. Tidak semuanya boleh melakukan itu.
"Di mana dia sekarang?" tanya Halmet pada putranya.
Delwyn diam sejenak. Dia juga tidak tahu. Jika orang biasa berkunjung ke rumah teman, artinya mereka datang ke sebuah alamat rumah yang pasti, maka Daeva berbeda. Teman dan area bermain untuk wanita itu tidak bisa dilihat oleh orang awam. Itu hanya bisa dikunjungi oleh orang seperti Daeva saja.
"Dia masih berada di Green Bank bukan?" tanyanya lagi kala Delwyn hanya diam membisu, tak ada suara suara yang terucap dari celah bibirnya.
"Aku juga tidak tahu dimana dia. Belakangan ini aku selalu saja sibuk dengan Areeta. Areeta sedang sakit dan aku—"
"Lupakan tentang Areeta. Kalian tidak akan menikah," ucap Halmet tiba-tiba. Kalimat itu tentu saja membuat Delwyn terdiam sembari membuka kedua matanya lebar-lebar. Tak pernah menyangka kalau ayahnya akan berbicara demikian.
"Hubungan kerja samaku dengan ayahnya memburuk begitu pula hubungan di luar kantor. Aku tidak ingin menjadi besan dengannya." Halmet kembali menurutkan. Ini yang Delwyn benci dari ayahnya, dia adalah pria yang egois. Benar-benar egois. Dia hanya mementingkan pasal keuntungan materi saja.
Dia memang seorang bos yang sukses, mengambil alih semuanya setelah sang kakek meninggal dan mengaturnya dengan begitu mudah. Namun, terlepas dari itu semua ... Dia adalah ayah yang gagal.
"Aku tidak akan melepaskan Areeta!" Delwyn mendengus kesal. "Aku tidak akan—" Ucapannya terhenti tatkala gejala itu muncul lagi. Pusing dan kepalanya terasa begitu sakit sekarang. "Argh—" Delwyn mencengkram kuat kepalanya.
Halmet mulai terfokus melihat putranya kesakitan begitu. Dia segera memanggil anak buah untuk menolongnya. "Kau tidak apa-apa, Delwyn?"
"Kepalaku ...." Delwyn terhenti. Memejamkan rapat kedua matanya. "Gejalanya ...."
... To be continued ...