Chereads / Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone / Chapter 40 - 39. Death vs life

Chapter 40 - 39. Death vs life

Mr. Unknown meninggalkan mereka. Tinggallah Delwyn bersama dengan pria asing ini. Tak pernah menyangka kalau mayat hidup benar-benar ada di dunia. Orang-orang biasa menyebut itu dengan Zombi. Entahlah, apa yang pantas untuk menyebut pria ini. Delwyn sendiri pun belum yakin pasti bahwa dirinya sedang berada di satu ruangan bersama dengan mayat yang bisa bicara.

"Jadi namamu adalah Ibad?" tanyanya memulai. Delwyn menatap gelas wine yang ada ada di depannya, itulah cara terbaik untuk menghilang resah dan gelisah di dalam hatinya saat ini. Mencoba tetap berpikir positif padahal keadaan yang ada di sekitarnya jelas-jelas merujuk pada kesan yang negatif.

Pria itu mengangguk. Wajahnya polos, bahkan tatapan matanya pun demikian.

"Kau tidak makan daging manusia bukan?" tanyanya pada Ibad. Memastikan. Di dalam film, virus zombie menyebar secara tidak sengaja. Takut jika sebab dirinya lah umat manusia hancur.

"Aku pernah memainkannya sekali, tetapi ...." Kalimat itu sontak membuat Delwyn menoleh. Menatap ke arah Ibad dengan serius. Perlahan-lahan dia bergeser, takut jika tiba-tiba Ibad menerkamnya bak singa lapar. "Tetapi Nona Daeva memarahiku habis-habisan. Aku dikurung selama beberapa hari tak ada makan dan minum. Aku menyesal setelahnya." Dia menatap Delwyn tanpa dosa setelah menceritakan dosanya.

Memakan manusia.

"Bagaimana kau melakukan itu?" tanya Delwyn penasaran. Bodohnya dia!

"Aku hanya ...." Pria itu diam sejenak. Mencoba untuk menggali memorinya. "Aku hanya ... hanya memakannya saja. Aku melihat orang itu seperti layaknya daging panggang. Semasa hidup, aku suka daging panggang." --sialnya, Delwyn melihat pria itu menepuk dadanya dengan mantap, percaya diri setelah mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya.

"Dan kau menceritakan itu dengan bangga?" Delwyn mulai bergidik ngeri. Ada yang tidak beres dengan pola pikir pria di sisinya itu. "Kau tidak berpikir bagaimana perasaan orang itu atau mungkin keluarganya?"

Ibad menggelengkan kepalanya. "Otakku sudah busuk beberapa tahun yang lalu," katanya. Masih dengan pandangan mata yang begitu polos. Dia pikir kalau dirinya tidak punya dosa sekarang. "Aku tidak bisa mengingat apapun lagi, memoriku hilang tepat saat kematianku."

Ia mencoba untuk memahami itu. Mana ada mayat hidup yang punya hati nurani? Tidak ada! Itu mengada-ada saja.

"Lalu kau makan apa sekarang?" --sudah tahu takut, Delwyn masih saja penasaran dengan pria ini. Jujur saja kalau dia benar-benar unik. Delwyn juga punya pengalaman baru di sini. Dia duduk bersama mayat yang hampir membusuk.

"Daging merah. Mungkin daging rusa, babi hutan atau semacamnya. Kadang aku tidak makan sama sekali," katanya kemudian.

Lagi-lagi Delwyn hanya bisa menganggukkan kepalanya. Paham sekarang bagaimana cara pria ini hidup. Benar-benar mirip dengan zombie.

"Ah, aku mengerti. Kau benar-benar mirip zombie rupanya." Delwyn terkekeh kecil. Meminum wine yang ada di dalam gelas.

Tak ada pembicaraan di antara mereka lagi sekarang. Keduanya sama-sama diam membisu. Memahami keadaan aneh di antara keduanya.

"Ngomong-ngomong soal Nona Daeva, bagaimana kau bertemu dengan dia?" tanyanya kemudian. Ibad menatap ke arah Daeva, lalu mengarahkan pandangan matanya untuk Delwyn. Pria itu masih memilih diam seribu bahasa.

"Bagi mereka yang tidak mengenalnya, Nona Daeva adalah orang yang jahat," katanya kemudian. Dia tersenyum kecut. "Namun, dia adalah orang baik, dari segala macam tipe orang baik yang ada di dunia ini."

Delwyn menoleh. Ditatapnya Ibad. "Apa jasanya padamu sampai kau menyanjungnya begitu?" tanyanya kemudian. Dia terkekeh kecil di bagian akhir kalimatnya.

"Dia membuatku hidup lagi," katanya.

"Hanya itu? Aku dengar dia melakukan itu pada banyak orang."

"Namun, dia tidak mau memberi tahu siapa yang sudah membunuhku. Katanya itu hanya akan membuat diriku sakit hati saja. Dia ingin memberikan kesempatan yang kedua padaku untuk hidup. Katanya aku harus hidup bahagia. Jadi dia menghapus semua ingatanku."

Delwyn mendengarkan itu dengan begitu baik. Sesekali tersenyum manis kemudian.

"Dia benar, aku hidup bahagia dan lega sampai sekarang. Hingga aku lupa, bahwa kapan pun waktunya, bisa merenggut hidupku lagi. Seperti sekarang, aku tinggal menunggu saja, menunggu waktu yang tepat untuk kematianku yang sesungguhnya."

Dia menghela nafasnya. "Kali ini bersama dengan kematian banyak orang, termasuk Nona Daeva."

... To be continued ...