Delwyn menatap dengan pilu, duka ada di dalam hatinya mendapati keadaan Daeva yang seperti ini. Entah apa yang akan terjadi nantinya, dia tak tahu kalau Daeva bisa terluka juga. Bahkan lukanya separah ini.
"Bagaimana dengan Decurion?" tanyanya. Melirik ke arah yang yang baru saja keluar dari dalam kulkas. Ah, benar, Ibad bisa keluar sesekali. Kalau malam tiba atau senja menutup hari yang terpenting itu tak terkena sinar matahari dan membuatnya lekas membusuk.
"Kami tidak bisa menghubungi mereka," ucap Ibad pada Delwyn. "Decurion dan Sang Agung Loralei, itu di luar kuasa kita. Hanya Nina Daeva yang bisa melakukan itu. Hanya dia yang punya akses untuk masuk ke sana."
Delwyn menghela nafasnya panjang. "Jika keadaannya begini, kita harus bagaimana? Banyak yang bergantung padanya, termasuk aku. Aku tidak terus berdiri tanpa melakukan apapun. Aku harus kembali ke perusahaan ku. Aku tidak bisa membiarkan pihak lain mengambil kursi dan mengambil jabatanku."
Ibad menoleh padanya. "Itu yang terpenting sekarang, Mr. Delwyn?"
Delwyn kembali mengangguk. "Aku seorang pebisnis. Jadi jabatan dan kedudukan adalah hal yang terpenting." Sekarang pandangan matanya kembali menatap Daeva. "Tentunya juga keselamatannya," ujarnya. Pandangan mata itu punya harapan lebih untuk kebangkitan wanita itu lagi.
"Aku pernah berada di posisinya." Ibad memulai lagi. Tak peduli dengan Delwyn yang mau mendengarkan atau tidak, dia hanya ingin berbicara saja, melepaskan semua kegelisahan yang ada di dalam dirinya. "Aku pernah mati dulunya, berada di antara dunia manusia dan orang mati. Dalam dunia Nona Daeva, itu disebut sebagai gerbang perbatasan. Ada dua angsa cantik yang begitu besar, bulunya bersinar dengan mutiara di atas kepalanya. Itu benar-benar mengesankan. Aku mengingatnya sampai sekarang," ujarnya lagi.
Delwyn mulai menatap ke arah Ibad. "Malaikat?"
Dia menaikkan kedua sisi bahunya. "Aku sempat berpikir begitu. Namun, setelah mendapat anugerah dan hidup kembali, aku bertemu dengan mereka di dunia manusia sesekali. Namanya Hank dan Hans. Mereka adalah iblis kembar," katanya. "Dia yang bertemu ayahmu tadi, dia yang membuat kau kembali di sini."
"Hank?" tahya Delwyn mengulang. Nama yang asing.
Ibad mengangguk. "Kau pasti akan bertemu dengan dia, cepat atau lambat."
Senyum tipis mengembang. Siapa yang peduli dengan dua angsa besar. Di dalam pikirannya hanyalah kebangkitan Daeva Desdemonav. Tak ada harapan yang lain.
"Aku berpikir ..." Ibad meneruskan. "Bagaimana jika Nona Daeva juga berada di sana sekarang? Dia sedang kebingungan antar hidup atau mati, dia sedang mencari jati dirinya. Menunggu waktu untuk menghilang semua rasa sakit," ucapnya lagi. Dia berdecak, mengekspresikan betapa kesalnya dia dengan keadaan yang ada.
"Maka kau bisa Hank atau Hans atau siapapun itu bisa bertemu dengannya bukan?"
Ibad manggut-manggut. "Namun, tidak ada yang tahu dimana Nona Daeva sekarang. Seperti benar-benar menghilang di telan bumi. Rasanya benar-benar menyedihkan."
Delwyn berjalan mendekat. Menarik kursi yang ada di sisi ranjang dan duduk di sana. Sedangkan Ibad berdiri tak jauh darinya.
"Dia punya batas waktu?" tanya Delwyn pada akhirnya. Perlahan-lahan menyentuh jari jemari Daeva. Benar, itu sangat dingin. Seakan tidak ada tanda-tanda kehidupan.
"Tidak ada yang tahu, Mr. Delwyn. Dia tidak pernah membicarakan tentang hal itu."
Delwyn manggut-manggut. Sekarang jari jemarinya menggenggam tangan Daeva. Mencoba untuk menghangatnya.
"Mr. Delwyn ...." Ibad memanggilnya. Pria itu menoleh dan menatap ke arahnya. "Bagaimana dengan dongeng putri tidur?"
Delwyn mengerutkan keningnya. "Apa yang yang bagaimana?"
"Dia bangun dari tidur panjang setelah dicium oleh orang yang tepat. Kau tidak ingin mencoba melakukan kemungkin itu?" tanyanya lagi.
Delwyn memaku. Tak berucap sepatah katapun.
"Kau adalah pengikutnya, yang dipilih langsung oleh Nona Daeva. Jadi tidak aneh jika semua berharap bahwa kau adalah orang yang tepat." Ibad menatap Daeva lagi. "Cium dia," katanya tiba-tiba.
Suasana berubah begitu saja. Ibad sudah gila!
"Bagaimana bisa aku ...." Delwyn menghentikan kalimatnya. "Aku sudah punya pacar," katanya lagi.
"Anggaplah itu balas Budi sebab Nona Daeva sudah menyembuhkan penyakitmu, Mr. Delwyn," sahutnya. Memotong kalimat.
Delwyn diam lagi. Melirik Daeva, kemudian kembali menatap ke arah Ibad.
"Lakukan, Mr. Delwyn. Tidak ada salahnya mencoba bukan?"
Delwyn berdecak. Sial!
... To be continued ...