Chapter 38 - 37. Back to home

Redup lampu tidur menyinari ruangan. Delwyn masih mencoba untuk memahami keadaan yang ada. Dia ingat, dirinya pingsan di ruang kerja milik sang ayahanda. Gejalanya kambuh lagi.

Delwyn mengerutkan keningnya. Jari jemarinya meremas sisi kepalanya yang terasa begitu berat. Samar-samar pandangan matanya menyapu seluruh sudut ruangan yang mulai tak terasa asing untuk Delwyn. Ini tempatnya menginap kala berada di dalam bangunan milik Daeva.

"Siapa yang membawaku ...." Delwyn menelan ludahnya dengan kasar, tenggorokannya terasa begitu kering. Seperti sudah lama tidak minum air, padahal dia yakin, dia baru saja pingsan beberapa menit yang lalu.

Delwyn menyalakan lampu utama. Terang datang kemudian. Matanya menitik pada satu lukisan besar yang akan selalu ada di setiap kamar di dalam bangunan hotel tua ini, lukisan dengan wajah Daeva Desdemonav. Pemiliknya. Seperti minta diagung-agungkan.

Ia bernafas lega. Di tempat ini, semuanya terasa begitu tak nyata, hanya listrik di sini yang tidak berpengaruh pada dirinya. Semuanya hanya sihir, ilusi. Namun, entah bagaimana caranya, Daeva membuat semua terasa begitu nyata.

"Sekarang jam berapa ...." Delwyn melirih. Mencari letak ponselnya. Ada di sudut meja, tetapi dalam keadaan mati sebab baterai habis. Dia mencari pengisi daya selanjutnya, tetapi tidak menemukan benda itu. Sayang sekali! Padahal dia ingin mencari tahu kabar Areeta.

Gagang pintu ditekan. Jauh di sana, suara seseorang menerobos masuk ke dalam. Delwyn mengamati. Sepersekian detik berlalu, seorang pria dengan pakaian mirip barista datang membawa sesuatu untuknya. Makanan.

"Mr. Delwyn," ucapnya menyapa. Pandangan mata mereka bertemu dalam sejenak. Kilas pandang saja, sebelum akhirnya dia memutuskan kembali fokus dengan tugasnya. "Ini sarapan untukmu. Aku yakin kau akan bangun hari ini."

Delwyn mengangguk paham. Awalnya tak menyadari sesuatu. Sebelum akhirnya dia mulai bangun dari kebodohannya.

"Kau bilang apa tadi?" tanya Delwyn. Mengerutkan keningnya. "Sarapan?" Dia meneruskan. Mencoba mengingat sesuatu. Dia pingsan di siang hari, maka seharusnya akan jauh lebih tepat jika mengatakan bahwa ini adalah makan malam untuknya. "Ini malam hari," ujar Delwyn melirih. Memastikan. Jam dinding di atas tembok mati begitu saja.

Dia tak bisa melihat jam.

Pria itu tersenyum miring. Selepas meletakkan sarapan untuk Delwyn, dia berjalan ke arah jendela besar yang tertutup oleh tirai hitam di sana. Wajar saja jika Delwyn tak tahu kalau ini pagi buta.

Dia membukanya. Benar! Fajar seakan mau menghinanya. Dia seperti orang bodoh sekarang.

"Jadi ...." Delwyn mencoba memahami. Sekali lagi, ini pasti ulah sihir Daeva. "Jadi aku pingsan selama berapa jam? Satu hari penuh?" tanyanya. "Kau bawa jam? Kalender?"

Pria itu terkekeh. Dia yang menghina pada akhirnya. Penampilan Delwyn benar-benar mengejutkan. Tak akan sadar jika dia adalah CEO utama dari sebuah perusahaan big data di Washington DC. Dia mirip gelandangan dengan penampilan yang acak-acakan.

"Tiga hari," ucapnya. "Tiga hari kau melalui pingsan itu."

Delwyn menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mati," ujarnya. "Aku hanya pingsan. Itu karena efek dari penyakit gila itu. Tiba-tiba saja kambuh dan itu jauh lebih sakit." Delwyn menjelaskan singkat. "Aku harus bertemu dengan Daeva sekarang. Dia harus menjelaskan ini," imbuhnya. Hampir saja berjalan keluar dari kamar.

Namun, pria di depan jendela itu mencegah. Bukan sebab takut Delwyn akan malu dengan penampilan seperti itu. Akan tetapi, yang ingin ditemui tidak bisa ditemui sekarang.

"Kau tidak bisa menemuinya, Mr. Delwyn."

Delwyn menoleh. "Daeva lepas tangan seperti saat dia membuatku malu di depan Areeta?" gerutunya. Marah, tentu saja. "Dia berjanji bahwa gejalanya tidak akan kumat lagi. Namun, itu terjadi! Setelah aku mendatangi perjanjian untuk kita berdua."

Delwyn memutar tubuhnya. Berkacak pinggang. "Aku tahu, dunia kalian tidak berjalan seperti duniaku. Bahkan kalian bisa membuat semua keadaan hilang dan tidak ada perjanjian apapun. Namun, tidak dengan duniaku." Delwyn merentangkan kedua tangannya. "Aku seorang pebisnis. Maka aku harus melakukannya seperti seorang pebisnis juga! Pebisnis tidak pernah menghindari atau menyalahi aturan sebuah perjanjian dan kontrak."

Pria di depannya berjalan mendekat. Berdiri tepat di depan Delwyn. "Kau bisa datang melihatnya, tetapi tidak bisa berbicara dengannya."

Delwyn diam. Sejenak tak berbicara. "Ada ... yang terjadi?" tanyanya ragu. Delwyn mulai memahami perubahan ekspresi wajah pria di depannya. "Kau tak sedang berpura-pura sedih bukan?" tanyanya lagi.

"Ikut denganku, Mr. Delwyn."

... To be continued ....