Satu hari berlalu begitu saja. Daeva masih berdiri di tempat yang sama, memandang kehidupan yang ada di depannya, ditemani satu botol wine di dalam genggaman tangannya. Tak usah ditanya, mengapa Daeva berdiri di tempat ini semalaman penuh. Melihat malam datang dan menyambut pagi dengan sinar yang terang, sebelum akhirnya kembali redup, menyediakan pemandangan malam Kota Green Bank yang khas dipandang mata.
"Daeva ...." Seseorang memanggilnya. Suaranya datar datang bersama langkah kaki yang terdengar tegas memecah keheningan.
Daeva menoleh. Menatap siapa yang baru saja datang. Nyonya Amelia. Wanita tua yang menyewa kamar di lantai paling bawah. Tepat di sisi pintu masuk bangunan ini.
"Ada kendala dengan airnya lagi?" tanya Daeva, tebakan yang tak asal-asalan. Wanita ini selalu saja mengoceh pasal air yang terlalu dingin atau keran yang macet. "Harga sewanya murah untuk segala yang aku berikan, Nyonya. Aku sedang tak berminat untuk berdebat dengan siapapun."
Nyonya Amelia kokoh. Sekarang wanita berambut abu itu berdiri di sisi Daeva. Ikut menatap apapun yang ada di depannya. "Ada tamu pagi ini, dia mencari dirimu," ucapnya dengan begitu lembut. Suaranya sedikit serak, tak seperti Nyonya Amelia biasanya.
"Delwyn?" tanyanya. Pria itu tak ada kabar sejak kemarin siang, tepat saat Daeva dan dirinya bertengkar hebat pasal Areeta. Wanita itu tak kunjung sadar juga rupanya.
"Dia tidak menyebutkan namanya, Nona. Dia datang dan memberikan amplop ini untuk dititipkan dan diberikan padamu." Nyonya Amelia memberikan apa yang ada di dalam genggamannya. Tersenyum pada Daeva.
"Kau ...." Daeva menatapnya dengan aneh. Entah mengapa hawanya terasa panas dengan atmosfer yang asing. "Kau benar-benar Nyonya Amelia?" Daeva melirih. menerima sebuah amplop tua yang tak biasa. Seperti datang dari masa lalu. Kesan klasik dan kuno ada di sana.
"Siapa lagi memangnya, Nona?" Dia tertawa. Nyonya Amelia hanya tahu bahwa dirinya pemilik tanah dan gedung ini. Tak ada yang aneh, Daeva menyembunyikan identitas dengan begitu baik.
Dia mengangguk. Wanita itu berusaha meyakinkan dirinya dengan menggunakan senyum yang manis.
"Seorang pria?" tanya Daeva sembari menerima itu. Membolak-balikkan amplopnya, hendak membukanya.
"Aku sudah membaca isinya, Nona." Wanita tua itu kembali menyela, membuka suaranya. Kali ini tersenyum kuda.
Aroma napas itu .... Daeva mengenalnya. Namun, dia enggan mempermasalahkan itu. Nyonya Amelia adalah wanita tua yang cerewet. Dia akan menyebar gosip tak sedap untuknya nanti.
Daeva tak mengusirnya sebab dia tak ingin membuat dosa. Hidup berbaur dengan manusia sebagai nona pemilik gedung juga berarti harus memahami segala macam karakter manusia.
Daeva menatap Nyonya Amelia. Kebiasaan! Mau marah, tetapi wanita tua itu selalu saja keras kepala dan ngotot. Apapun yang dititipkan padanya selalu dibuka dan dibaca jika itu adalah pesan dari seseorang. Daeva berdecak. "Berhentilah untuk melanggar privasi, Nyonya. Tak semua bisa memaafkan itu."
Nyonya Amelia terkekeh. "Hanya kau yang selalu mendapat kiriman aneh. Beberapa bulan lalu, kau mendapatkan kiriman kepala rusa. Siapa yang mengirimkan itu?"
Perempuan bergaun merah itu hanya diam, fokus kembali pada surat di dalam amplop.
Daeva menghela napasnya. Jari jemarinya henda membuka amplop miliknya. Lalu tiba-tiba saja angin kencang datang berembus. Aroma daun mint terasa begitu segar. Menyejukkan lubang hidung.
"Kau harus pergi ke perbatasan," ujarnya tiba-tiba. Wanita yang ada di sisinya berubah menjadi lain. Wajahnya tak lagi mirip Nyonya Amelia. Dia gagah, seorang pria.
"Hank?" Daeva mendongak. Membuka kembali matanya tak tertutup sebab angin besar datang baru saja. Dia menatapnya. Wajah tampan yang tak asing.
"Bantulah kami dan pergilah ke perbatasan, Daeva." Dia memohon. Hank tiba-tiba saja terlihat begitu putus atas.
"Perbatasan membutuhkan bantuanmu. Abu seorang iblis hilang dan gucinya dirusak."
Daeva masih linglung. Menatap Hank dari atas ke bawah. Mencoba memahami dan percaya bahwa dia benar-benar penjaga perbatasan. "Di mana Nyonya Amelia? Kenapa kau menggunakan wajahnya untuk datang kemari?"
Pria gagah dengan jaket berbulu yang membalut tubuhnya itu hanya tersenyum tipis. Tak memberi jawaban apapun.
"Kau membunuhnya dan meminjam tubuhnya?" tanya Daeva. Nada bicaranya seakan ingin mengajak untuk berdebat.
"Aku tidak membunuh orang, Daeva. Aku menghantarkan mereka ke gerbang perbatasan dan mengawalnya sampai Tanah Sheol menghentikan penghakiman dan surga atau neraka mengambil rohnya."
Tentang Hank, seorang villian gila yang menjaga gerbang perbatasan antara dunia orang mati dengan manusia.
... Bersambung ...