Kenapa aku harus pergi ke perbatasan? Itu bukan tempatku ..." Daeva menyimpan amplop itu. Tak jadi membacanya. Ternyata amplop hanya tipuan yang dilakukan oleh Hank padanya.
"Seseorang merusak gucinya," ujar Hank penuh keyakinan. Daeva diam, tak jadi menggumamkan basa-basi untuk pria di depannya itu.
"Guci ..." Daeva melirih. Berpikir keras. Sebelumnya tak ada bagian dari penjaga perbatasan yang datang menemui dirinya secara langsung. Semua disampaikan lewat Sang Agung Loralei atau Decurion. Semua punya tugasnya masing-masing.
"Milik Maris," ujarnya. Sekarang Daeva tahu mengapa Hank datang dan mengundangnya secara langsung.
"Abu Maris ditukar dengan abu milik rusa liar. Gucinya dirusak dan seseorang mengambil yang asli."
Daeva mengulum salivanya. Menatap Hank dengan penuh kekhawatiran. "Kenapa ...." Ucapan Daeva terhenti tepat saat Hank mengeluarkan sihir dari ujung jari jemarinya. Membentuk sebuah portal terbuka yang menampilkan gambaran aneh. Suasana di perbatasan. Daeva lama tak berkunjung di sana.
"Maris adalah pencipta ajaran Ogirth, penentang Loralei. Dia adalah iblis yang jahat, Daeva."
Daeva mengangguk ringan. Tentu saja, dia paham konsep itu.
"Loralei berhasil menangkapnya dan membakar Maris menjadi abu. Namun, surga dan neraka enggan untuk menerima tubuhnya. Bahkan abunya pun tak diterima oleh semesta. Jadi Sang Agung Loralei memutuskan untuk menyimpan abu dan guci agungnya di perbatasan. Kami menjaganya siang dan malam." Hank menghentikan sihir portal hilang, berganti pada sebuah pemandangan yang begitu indah dipandang mata. Seperti ratusan bintang di atas langit. Hank pandai menjelaskan semuanya.
"Itu bukan abu jasad manusia, tetapi iblis yang dibakar menggunakan api suci setelah semua dosa yang dia lakukan di tanah surga. Dia mengotori banyak tempat." Hank menoleh. Menatap Daeva yang menyimak. Dia hanya tahu tentang abu dan guci milik Maris di gerbang perbatasan. Namun, tidak dengan semua kisah secara utuh. Daeva tak peduli dengan itu. Urusannya adalah dengan Dierdre, bukan rekannya.
"Seseorang mencuri abunya dan merusak gucinya. Jika itu dibiarkan, maka itu akan benar-benar berbahaya."
Perempuan itu mengerutkan keningnya. "Kenapa berbahaya? Bisa saja seorang malaikat mengambilnya atau ...."
"Maris bisa dihidupkan kembali jika dia berada di tangan orang yang tepat."
Daeva menarik wajahnya. Terkejut bukan main. Mendapati fakta yang luar biasa membingungkan.
"Memberi nyawa seperti Daviela?"
Hank mengangguk. "Datanglah ke perbatasan. Kita bicara apa yang terjadi di sana. Kau akan jauh lebih mudah mengerti jika kita melanjutkan pembicaraan di sana."
Ia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pergi ke sana. Loralei melarangku. Perbatasan dunia orang mati dan manusia, bukan tempat untukku, Hank. Kau bisa meminta bantuan pada Decurion. Matanya jauh lebih tajam dariku."
Hank tertawa ringan. Dia yakin Daeva pasti menolaknya mentah-mentah. Toh juga, wajar saja. Daeva akan kehilangan jati diri jika dia berada di perbatasan dalam waktu yang lama.
"Aku yakin kau akan menjawab itu," katanya. Merogoh masuk ke dalam mantel tebal yang dia kenakan. Mengeluarkan sesuatu. "Ini perintahnya, Daeva." Hank memberikan batu kecil pada Daeva. Mirip permata, berwarna biru terang yang mempesona.
"Daim ..." Daeva tersenyum manis. "Kau benar memberikan permata Daim sebagai imbalannya?"
Hank mengangguk dengan mantap. "Kau akan mendapat dua jika mau membantu."
"Bagaimana dengan Sang Agung Loralei? Dia akan marah besar padaku jika aku membantu kalian. Urusan di perbatasan di luar kuasaku."
Hank meraih tangan Daeva. Memaksanya untuk menerima permata Daim yang ia bawa dari kastil perbatasan. Membuat tangan perempuan di depannya kembali mengepal. "Datanglah ke sana, aku akan menjelaskan semuanya. Sisanya. Aku tak punya waktu lagi," ujarnya. Melirik ke arah ambang pintu jauh di sana. "Seseorang akan datang, jika dia melihatku ... itu akan menjadi masalah besar."
Daeva diam. Dia hanya bisa mengangguk. "Aku akan memikirkannya, Hank."
Hank tersenyum tipis. Suara ketukan pintu menyela keduanya. Di saat bersamaan pintu dibuka, Hank menghilang. Meninggalkan satu bulu angsa indah yang jatuh di atas lantai balkon ruangan.
Daeva menatap orang yang baru saja datang, Delwyn. Yang ditunggu.
"Daeva!" Delwyn berjalan mendekat. Kalang kabut bak kebakaran jenggot. "Temui Areeta sekarang!" Dia menyentak. Ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran. "Sekarang juga!"
... Bersambung ....