Chereads / Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone / Chapter 22 - 21. The nightmare begins

Chapter 22 - 21. The nightmare begins

"Huh!" Delwyn terkejut dalam tidurnya. Pria itu bangun dengan keringat yang menetes di kedua sisi pelipisnya. Matanya tak tenang, menatap ke sekitarnya. Siapa yang pernah menduga bahwa Delwyn akan kembali ke sini tanpa dia sadari? Ingatannya masih tertinggal di dalam rumah Daeva. Dia pingsan di sana. Namun, Delwyn berakhir di atas ranjang penginapan malam ini. Entahlah, apa yang sedang terjadi sekarang, Daeva mengirimnya pulang tanpa persetujuan dari Delwyn.

Pria itu bangkit dari atas ranjang. Mengusap wajahnya dengan kasar, berjalan gontai ke sudut ruangan. Jari jemarinya mengambil satu gelas kosong di sana. Menuang air putih kemudian. Tenggorokannya terasa begitu panas dan kering. Seperti dirinya tidak minum selama berminggu-minggu.

Delwyn menatap ke arah tirai jendela yang ada di depannya. Selepas membasahi tenggorokannya, Delwyn membuka tirai yang ada di depannya. Pemandangan yang tak asing, setidaknya lahan rumput kosong di depannya masih menandakan bahwa dia berada di Green Bank sekarang, bukan kembali ke Washington DC seperti kala itu.

Suara pintu diketuk membuyarkan fokus Delwyn. Pria itu menoleh dan menatap ke arah ambang pintu. Ketukan kedua menyita langkah kakinya. Dia berjalan mendekat. Berniat untuk membukakan pintu untuk tamunya malam ini.

"Siapa ...." Delwyn diam kala melihat pria bertubuh jangkung berdiri di depan ambang pintu. Wajahnya tak asing, dia adalah orang yang menyambut Delwyn datang untuk pertama kalinya. Aneh saja, seakan menghilang ditelan waktu, pria itu tak pernah kelihatan lagi. Baru malam ini dia muncul dengan membawa nampan penuh makanan di atasnya.

"Nona Daeva memintaku untuk memberimu makan," ucapnya tak berbasa-basi. Seakan bisa membaca kebingungan Delwyn sekarang. "Boleh aku masuk?" tanyanya pada Delwyn.

Pria itu mengangguk dengan ringan. Sedikit ragu, takut kalau dia salah memutuskan. "Masuklah ...."

Delwyn mempersilahkan. Membuatnya masuk ke dalam rumah. Sepasang sepatu itu menapaki alas lantai di bawahnya. Dia menuju ke meja di sisi pintu masuk, meletakkan semua makanan di atas sana.

"Nona Daeva bilang kau suka olahan kepala babi, jadi aku memesankan khusus dari peternakannya." Dia membuka penutup makanan. Delwyn bergidik ngeri selepas melihat moncong babi di sana.

"Siapa yang ...." Delwyn menghela napasnya. Daeva benar-benar kurang ajar.

"Jujur saja, aku sedang menjadi vegetarian sekarang. Napsu makanku hilang setelah melihat wajah babi yang tersenyum." Dia memasang wajah aneh. Menghela napasnya penuh kecewa. "Bisa bawakan salad atau semacamnya?"

Pria itu kembali menutup hidangan. Menatap Delwyn. "Dagingnya empuk, jadi makan saja."

Seakan sedang berada di dalam penjara, Delwyn harus memakan makanan aneh seperti ini.

"Ngomong-ngomong, kau juga makan seperti ini?" Delwyn menyela lagi. Pria di depannya menatap dengan aneh. "Tak ada food court atau semacamnya, aku tidak melihat hidangan disajikan untuk tamu. Tempat ini benar-benar aneh."

Pria itu diam. Sejenak tak ada suara apapun.

"Makan saja, Mr. Delwyn." Dia menutup pembicaraan. Ingin pergi meninggalkan Delwyn. Membiarkan hening membentang di antara keduanya.

"Daeva sedang sibuk?" tanya Delwyn, menyela keheningan. Dia juga ingin mengajak pria ini berbicara dengan akrab. "Kenapa dia tak datang sendiri?"

Pria itu menoleh. Menatap Delwyn, lagi. Dia bosan dengan pria cerewet satu ini. "Dia sedang tidak ada di ruangannya."

Delwyn mengerutkan keningnya. "Malam-malam begini Daeva pergi?"

Pria itu tak memberi jawaban. Selepas menyelesaikan tugasnya, dia membungkukkan badan. Berpamitan untuk keluar dan kembali.

"Tunggu," ucap Delwyn menahannya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

Pria itu tak memberi jawaban. Hanya diam, menandakan bahwa Delwyn masih punya waktu untuk berbincang dengan dirinya.

"Kau ...." Delwyn mengulum salivanya. Takut, sedikit. "Kau manusia?" Pertanyaan yang acak, Delwyn hanya penasaran akan hal itu. Sebanyak apa dia hidup bersama 'orang yang bukan manusia asli'.

"Kenapa kau bertanya?" Pria itu menyahut dengan nada berat. Ekspresi wajah yang datar. "Apa aku terlihat seperti sedang melayang?" tanyanya. Tersenyum seringai pada Delwyn.

Delwyn berdehem. Diam sejenak, menatapnya. Kepalanya menggeleng kemudian. "Aku rasa kau adalah manusia." Ia tersenyum kuda. "Setidaknya aku punya teman di sini."

Pria itu berdecak. Tingkah yang aneh, dia tak mengerti mengapa Daeva Desdemonav mengangkatnya sebagai pengikut. Sebelum ini, Daeva tak pernah melakukan kesalahan yang fatal.

"Ngomong-ngomong ...." Delwyn menyela lagi. Membuat pria yang baru saja ingin melangkah pergi itu kembali diam di tempatnya. Menatap Delwyn dengan malas. Seperti sedang menggerutu sebab pria ini terlalu berisik. "Dimana Daeva?"

Delwyn menatap ke sekitarnya. "Dia selalu pergi ke tempat yang asing. Dia selalu muncul dari tempat yang tak terduga. Kemarin dia muncul dari ruang yang sebelumnya kosong."

"Orline," sahutnya singkat. Jujur saja, dia berharap Delwyn menyerah untuk bertanya selepas ini.

"Tempatnya iblis juga?"

Pria itu membalas dengan serius. "Tempat suci pada Decurion. Kau tidak akan pernah mengerti meksipun aku menjelaskannya."

"Ah, benar ... ngomong-ngomong juga, siapa itu Decurion?"

Pria itu memejamkan kedua matanya. Mencoba untuk memendam amarah sebab Delwyn terlalu berisik.

Delwyn paham akan itu, perubahan ekspresi wajah dan helaan napas panjang lawan bicaranya membuat Delwyn paham akan satu hal. Pria itu tak mau lagi menjadi sumber informasi untuknya.

"Makan saja makananmu, Mr. Delwyn. Jangan bertanya. Semakin sedikit kau tahu, maka itu akan semakin baik," pungkasnya menutup kalimat. Membungkuk ringan, lalu pergi meninggalkan Delwyn.

... To be continued ...