"Temukan dimana jasad penemu kitab ini pertama kalinya, Daeva. Aku punya firasat tentang itu." Kalimat perintah dari Decurion membuat Daeva berada di sebuah tempat yang tak pernah dia kunjungi sebelumnya. Pameran seni, pusat kota Washington DC.
Suasana ramai. Lalu lalang orang sesekali menyita fokus wanita muda dengan pakaian serba rapi dan terlihat begitu mahal. Areeta menghadiri pameran bukan tanpa sebab, mantan kekasihnya mengundang dua kemari. Katanya, Areeta harus datang. Ini akan menjadi pameran luar biasa bagusnya yang pernah ada dalam sejarah Kota Washington DC. Tak akan pernah mengecewakan, Areeta perlu meluangkan waktu untuk tidak bekerja setiap hari.
Namun, dia sepertinya tertipu. Semua sama saja. Areeta berdiri memandang ketidakmampuannya sekarang. Dia ingin pulang, tetapi Areeta adalah tamu terhormat di sini. Dia ditempatkan di sebuah kursi yang menjadi pusat segalanya. Namanya menyandang status sebagai sejarahwan yang ternama di kota ini. Projek besar milik Phospenes Laboratory tak pernah gagal menyita perhatian dunia. Termasuk pada penelitian kitab Althea-lux selama beberapa tahun terakhir. Kabarnya mulai surut, selepas meninggalnya sang kakek.
"Aku yakin kau adalah Areeta," sela seseorang dalam diamnya. Areeta hampir saja memuntahkan kopi yang dia minum. Kedatangannya bak angin, tak bisa diterka.
"Who are ... you?" tanya Areeta sedikit ragu, menatap siapa yang baru saja berdiri di sisinya. Ikut memandang lantai bawah yang penuh dengan orang-orang penjaja seni. Semuanya bahagia dan nyaman, kecuali dirinya.
"Daeva ...." Wanita itu menyebutkan namanya dengan tegas. Tak ada keraguan, seakan itu adalah hal yang lumrah.
"Daeva?" Areeta diam sejenak. Meletakkan kembali satu cup kopi hitam di sisi pinggiran pembatas lantai. Melirik wanita di sampingnya. "Daeva ...." Dia berpikir, seakan namanya pernah terbesit di dalam kepalanya. Itu tak asing. "Daeva, sepertinya aku pernah mendengar nama itu."
Dia hanya tersenyum miring. Mengangguk kemudian. Tentu saja, Delwyn, si mulut besar itu, pasti sudah berkata padanya.
"Kau kekasih baru Lio?" tanyanya. Menyebut nama sang mantan kekasih dengan nada meremehkan. Jujur saja, hubungan Areeta dengan Lio Reymond tak benar-benar berjalan dengan lancar. Bahkan mereka berpisah selepas mendapati Lio tidur dengan teman Daeva di pameran lima tahun lalu. Meksipun sudah berakhir, nyatanya rasa sakit itu masih ada. Dia tak terima, Areeta direndahkan secara tidak langsung.
"Aku tidak mengkonsumsi manusia tukang selingkuh." Daeva menjawab. Kalimatnya membuat Areeta diam sembari mengerutkan keningnya.
"Lio bukan makanan. Dia manusia, pemilik gedung ini. Pemilik pameran dan seorang pelukis terkenal."
Daeva menyeringai tipis. "Dan kau adalah?" tanyanya berbasa-basi.
Areeta diam. Memicingkan matanya. Dia benar-benar orang yang aneh.
"Dr. Areeta Bellanca ... ilmuan sekaligus sejarahwan yang mengkaji banyak benda kuno dan mistis. Phospenes Laboratory pasti berkembang pesat setelah mendapat investor terbesar dari peneliti Althea-lux."
Areeta semakin jelas mengerutkan keningnya. Baiklah, mungkin wanita aneh ini mengenal namanya lewat identitas yang terbesar di media sosial. Banyak yang menyebut namanya, Areeta sudah mirip seorang artis. Namun, tak pandai berakting. Jelas-jelas dia menatap Daeva dengan cara yang tidak suka. Risih, barang kali.
"Tentang namaku dan nama laboratoriumku adalah hal yang wajar. Namun, tidak untuk Althea-lux. Tak banyak orang yang tahu nama kitabnya. Kau seorang sejarahwan juga?"
Lawan bicaranya hanya diam. Sejenak tak ada suara. Areeta benar-benar menunggu penjelasan dari lawan bicaranya yang tiba-tiba saja datang menemuinya. "Oblivien adalah tempat yang bagus."
Areeta menyipitkan matanya. Mencoba menerka siapa orang di depannya ini. "Tahu dari mana tentang Oblivien?"
"Aku bahkan tahu nama tim konyol yang kau buat untuk meneliti Althea-lux. Namun, aku tidak perlu menyebutkan hal itu. Itu terlalu konyol."
Areeta memutar tubuhnya. Menghadap ke arah Daeva. "Katakan apa maumu?"
"Di mana kakekmu dikubur?" tanya Daeva tanpa berbasa-basi. Tak ada jejak dan riwayat dimana pria tua yang pertama kali mengkaji pasal Althea-lux. "Dia adalah penemu kitab itu pertama kali. Di mana dia dikubur, Dr. Areeta."
"Apa maumu?" tanya Areeta lagi. Tak mau sembarang mengatakan di mana mendiang kakeknya berada. "Aku tidak bisa memberi tahu di mana jasadnya diawetkan."
"Dia diawetkan?" Daeva menyeringai tipis. "Di mana?"
"Hei, listen to me." Areeta menarik napasnya dalam-dalam. Entah, dia mulai kesal dengannya. "Aku tidak mengenalmu. Hanya namamu terdengar tidak asing bagiku. Selebihnya aku tidak tahu siapa dirimu. Aku tidak punya masalah denganmu dan tolong tinggalkan aku pergi." Areeta menyahut cangkir cup di sisinya. Namun, naas. Itu meleset dari genggamannya. Areeta terkejut bukan main sebab di dalamnya adalah air panas yang akan berbahaya jika mengenai kepala orang di lantai bawah.
Namun, dia terkejut saat itu berhenti di tengah-tengah. Semua orang yang ada di lantai bawah masih berjalan dengan normal. Hanya kopi yang berhenti di tempatnya.
"What ... what are ... what are you doing?" Areeta terkejut. Panik dengan apa yang dia lihat.
Daeva tak memberi jawaban. Dia hanya mendesah dengan kasar. "Aku bahkan bisa memanaskan airnya dan membuat siapapun yang terkena mendidih. Kau akan disalahkan karena itu. Itu membunuh orang lain." Daeva berjalan mendekat. Melipat tangannya ke belakang. Ciri khas yang tak pernah hilang. "Aku juga bisa mengubahnya menjadi gelembung dan terbang hilang tanpa meninggalkan jejak apapun. Itu tidak akan melukai siapapun."
Areeta menahan napasnya sejenak. Masih tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Tergantung bagaimana pilihanmu."
Areeta menghela napasnya. "Aku tidak akan membahayakan jasad kakekku. Aku tidak mengenalmu jadi jangan memaksanya."
Daeva tersenyum miris. Tangannya terulur. Mengusap sisi kepala Areeta dengan lembut. Membuat wanita itu merasa semakin aneh sekarang.
Daeva menghentikan aktivitas. Cahaya samar masuk ke dalam kepala Areeta melalui pelipisnya. Kepala wanita itu pusing bukan main. Membuatnya hampir saja terjatuh ke lantai.
"Apa yang ...." Areeta memegangi kepalanya. Sakit luar biasa dirasakan. Dia bak orang yang berada di ujung kematian.
"Areeta!" Seseorang menyela. Tiba-tiba saja dia datang entah dari mana. Membuar Daeva sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Are you okay?" tanyanya mencoba menolong sang kekasih.
"Ini sangat sakit ...." Areeta merintih. Mencengkram kuat kepalanya.
Delwyn menatap Daeva dengan penuh kekhawatiran. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya penuh penekanan. Namun, yang diajak berbicara hanya diam menatapnya. Dia menyebalkan sungguh!
"Areeta, bertahanlah. Kita pergi ke rumah sakit." Delwyn menggoyang tubuh wanita di sisinya untuk tetap menjaga kesadaran Areeta. Namun, itu sia-sia. Gadis itu pingsan kemudian.
"Areeta ... hei!" Delwyn menepuk ringan pipinya. Sekarang pandangan matanya tertuju pada Daeva. Dia berdiri bak patung tak punya hati dan nyawa di depannya.
"Apa yang kau ...."
"Dia tidak akan mati. Aku memanggil alam bawah sadarnya. Itu pasti menyakitkan."
"What?!"
... Bersambung ...