Delwyn terus mondar mandir ke sana kemari, tak tenang sebab Areeta belum kunjung sadar hingga sekarang. Hampir tiga puluh menit berlalu, Daeva berkata bahwa itu tak akan lama. Areeta hanya butuh mengingat apa yang disimpan di dalam hati. Tak lebih, itu tak akan pernah menyakiti Areeta jauh lebih banyak lagi.
"Dia belum sadar, Daeva." Delwyn diam di depannya. Menatap Daeva dengan penuh kekhawatiran. "Kau benar-benar ingin membunuhnya bukan?" Delwyn mengeluh. "Masih butuh darah perawan itu? Areeta adalah targetnya?"
Daeva menatap pria yang sedang kebakaran jenggot di depannya itu. Dia tahu benar seperti apa perasaan Delwyn. Naluri seorang manusia tidak pernah salah, Delwyn punya cinta untuk sang Kekasih. Dia akan memaklumi semuanya.
"Daeva!" Delwyn meninggikan nada bicaranya. "Kau tak pernah mencintai bukan?" Pria itu menghela napasnya panjang. Jika bukan sebab terikat perjanjian aneh dengannya, Delwyn pasti sudah menjebloskan wanita kurang ini ke penjara. Dia melukai sang kekasih. Namun, Delwyn tak bisa membuktikan itu. Fisik Areeta baik-baik saja. Dia pingsan sebab alasan yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Semuanya sebab sihir milik Daeva. Dia yang melakukan hal bodoh itu.
"Aku tahu kau tak pernah mencintai orang lain, kau tak punya itu dan tak ada waktu untuk melakukannya. Namun, mengertilah Daeva ... dia adalah kekasihku."
"Aku sudah bilang bahwa aku tidak membunuhnya, Delwyn." Daeva menyahut. Suaranya lirih dan tenang. Seperti biasa, menguasai keadaan yang ada. "Aku bilang aku hanya menanamkan sihir di dalan kepalanya untuk menggali semua memori yang dia sembunyikan. Aku melakukan hal yang sama padamu waktu itu."
"Kau berbohong!" Delwyn menyentak. "Aku bahkan tidak menyadarinya. Itu tak terasa menyakitkan."
"Karena kau tidak membentenginya." Daeva bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke luar ruangan. "Areeta membentengi memori yang ingin aku panggil. Dia membentuk perlindungan sebab sesuatu."
"Apa maksudmu? Jangan bermain teka-teki denganku."
Daeva berdiri menghadap jendela luar. Melipat tangannya ke belakang. Dia diam sejenak, mencoba memahami sesuatu. "Aku meminta kenangan tentang kakeknya." Daeva memulai. Kalimat itu membuat Delwyn mengerutkan keningnya samar.
Untuk apa? Itulah arti pandangan Delwyn pada wanita di depannya.
"Aku butuh informasi di mana mayat kakek Areeta berada. Aku ingin bertemu dengannya."
"Dia sudah mati, Daeva. Bertahun-tahun yang lalu. Untuk apa mencari tahu?"
Daeva menoleh. Ditatapnya Delwyn yang berubah menjadi pria cerewet di sini. "Dia yang menemukan kitab Althea-lux pertama kali. Kemungkinan besar, dia yang membuat mantra itu dan memanggil pembuat Advocata Ogirth. Aku harus berbicara pada rohnya."
"Kau bisa menemui Mr. Adelfo di Tanah Sheol atau minta bantuan pada Sang Agung Loralei. Katanya dia punya banyak akses dunia ini. Jadi dia pasti bisa menemukannya."
Delwyn menoleh. Menatap ruang rawat tempat Areeta berada. "Kau menyakiti memorinya, Daeva."
"Aku tidak melakukannya, Delwyn." Daeva menyahut. Tak terima dituduh sebagai pelakunya. "Sudah aku katakan, Areeta membentengi memorinya tentang sang kakek."
"Kau pikir aku percaya pada itu?" Delwyn melirih. "Sudah aku katakan, aku tidak percaya pada sihir bodoh atau apapun itu. Kau terlalu banyak mengada-ada."
Daeva berdiri tengah ketenangan. Menatap pintu kaca yang ada di depannya. Menatap tubuh lemah wanita itu. Isi kepala Areeta terhubung dengan Daeva sekarang. Riuh sekali, tak pernah disangka bahwa dirinya punya pikiran seriuh ini.
"Dia sedang menggali memorinya." Daeva melirih. Sedangkan Delwyn hanya diam duduk di sisinya. "Kau yakin ... Kau mengenal kekasihmu dengan baik? Dia wanita yang mengejutkan."
Delwyn mendongakkan kepalanya. Menatap Daeva. Dia benci situasi seperti ini. Kekhawatiran yang diberikan oleh Delwyn memang terlalu berlebihan. Napas Areeta masih baik-baik saja.
"Berhentilah mengoceh yang tidak perlu. Kau hanya perlu membangunkannya lagi."
Daeva menunduk, menjatuhkan pandangan mata pada Delwyn. "Sudah aku katakan, Delwyn. Hanya dia yang bisa membangunkan dirinya sendiri."
"Cabut saja mantra bodohmu itu dari dalam kepala Areeta!" Delwyn membentak. Membuat semua yang ada di dalam ruangan menoleh padanya. Menatap Delwyn juga Daeva dengan aneh.
Masih sama, Daeva menatapnya dengan tenang. Tersenyum tipis kemudian. "Berhenti membentak diriku. Isi kepala Areeta sudah begitu riuh, kau tahu?"
Delwyn mengerutkan keningnya. "Jangan berbicara asal, sudah aku katakan," ujarnya melirih. Berusaha melunak.
"Delwyn ...."
"Daeva! Listen to me!" Lagi-lagi Delwyn membentak. "Aku mohon ... bebaskan Areeta. Aku tidak tega melihatnya begitu."
"Aku tidak memenjarakannya," tutur Daeva terkekeh renyah. "Aku tidak mengikatnya, dia yang mengikat dirinya sendiri." Daeva memutar tubuhnya. "Aku hanya butuh memori tentang kakeknya, Delwyn. Aku tidak menyentuh apapun selain itu."
"Kenapa kau begitu ngotot?"
"Itu adalah misiku yang terakhir," ujarnya. Berterus-terang.
... To be continued ...