Mirna mengurung dirinya di kamar dua hari karena sakit hati akan sikap Seno dan tante Julia. Dia menangis seperti orang gila karena patah hati yang begitu dalam. Bayangkan—kekasih yang sudah lama bersama mu tapi meninggalkan mu begitu saja demi wanita lain. Siapa yang tidak sakit?
Mirna tak makan selama selama dua hari. Nafsu untuk makan bahkan sudah hilang entah kemana. Saat ini yang dalam pikirannya hanya bagaimana cara membawa Seno kembali ke dalam pelukannya.
"Seno, kamu jahat!"
"Kamu jahat!"
Ucapnya meraung serta menangis bak orang yang telah kehilangan tujuan hidupnya.
****
Seno memperhatikan wajah Winda yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Rasanya sangat damai dan tentram melihat istrinya tertidur seperti ini.
"Enghh.." Winda mengerang ketika Seno menyentuh lembut pipinya, "Seno."
"Tidur lagi, gih. Masih pagi banget ini." Ucap Seno pelan. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.
"Kamu cepet banget bangunnya. Tumben."
Sebenarnya Seno tidak bisa tidur semalaman karena terlalu rindu pada Winda. Alhasil dia hanya mengamati wajah Winda yang sedang tertidur pulas dan hal itu sukses membuat hati Seno tenang.
"Iya, soalnya semalem cepet tidurnya." Bohong Seno.
"Oh, iya ni aku masih ngantuk banget."
Seno memeluk tubuh Winda erat sambil mencium kening wanita itu, "Yaudah kamu tidur lagi, ya."
"Ehm." Winda memejamkan matanya. Rasanya nyaman sekali ketika Seno mengelus lembut rambut hitamnya.
Winda berharap. Inilah akhir dari hubungan mereka—kebahagiaan.
****
Hari ini Seno memutuskan untuk masuk ke kantor. Ia sudah bertekat untuk fokus pada perusahaan karena ingin menjalankan amanah ayahnya dan tidak mau menyia-nyiakan perusahaan yang sudah dibangun ayahnya susah payah.
Kegiatan Seno pun dimulai dengan sangat sibuk. Ia harus menghadiri beberapa rapat karena selama ini dia selalu menundanya.
Seno memperhatikan pegawai yang sedang mempresentasikan hasil karyanya pada semua orang termasuk Seno. Dan sesuatu yang menarik telah menarik perhatian Seno.
"Paris terkenal karena disebut sebagai kota paling romantis di dunia—" Ucap pegawai membuat Seno teringat akan kota itu.
Seno tiba-tiba kepikiran untuk membawa Winda bulan madu kesana. Mengingat saat bulan madu pertama kali, mereka belum akur dan dipenuhi pertengkaran sengit.
"Bisa kamu rekomendasikan tempat yang bagus di Paris?" Seno langsung bertanya pada sang pegawai.
"Tentu bisa, pak. Ada ring—"
"Stop." Ucap Seno, "Kamu kirim via email aja sama fotonya kalau bisa. Saya mau liat."
Semua orang disana saling melirik. Seno memang terkenal malas, tingkat hal sepele seperti itu saja dia meminta pegawainya untuk melakukannya padahal Seno hanya perlu mencarinya di google.
"Oke. Baik, Pak." Sang pegawai pun setuju.
Seno tersenyum kecil sambil membayangkan ia dan Winda pergi berdua ke Paris. Menikmati salju dan bercumbu mesra di cuaca yang dingin.
****
"Ke Paris?" Ucap Winda menaikkan satu alisnya.
"Iya ayang." Seno menjawab sambil mendusel-ndusel di dada Winda, "Mau ya, sayangku."
"Kok tiba-tiba banget?"
"Iya karna aku pengen liburan bareng kamu." Seno mencium bibir Winda sekilas, "Aku juga udah pesen tiketnya."
"Lah, kalau udah pesen tiketnya napa kek maksa aku gitu. Padahal mah aku yang gak akan bisa nolak."
"Ya kan biar basa-basi doang."
"Seno, nyebelin banget sih kamu." Winda mencubit gemas pipi suaminya.
"Tapi kamu cinta 'kan?" Seno menggoda membuat wajah Winda bersemu merah.
"Terus kalau tadi aku gak mau diajak ke Paris gimana?" Winda mengalihkan pembicaraan.
"Yaudah, aku kasih tiketnya ke pegawai aku sekali bayarin penginapan nya juga sama aku kasih uang jajan."
"Enak banget jadi pegawai kamu."
"Kamu kan lebih enak karna jadi istri aku."
"Tapi sering nyakitin." Celetuk Winda.
"Maaf," Seno menatap Winda dengan raut wajah seperti ingin dikasihani, "Maaf ya."
"Iya udah aku maafin."
"Oke. Sekarang keknya kita harus pergi belanja deh buat persiapan liburan ke Paris." Ucap Seno antusias.
"Ha? Emang apa yang mau dibeli Seno?"
"Kamu lupa ya sayang. Disana tu lagi musim dingin nah emangnya kamu punya jaket tebel? Dingin di Bandung tu gak sedingin di Paris." Ledek Seno.
"Iya juga sih. Tapi apa gak boros banget?" Winda bertanya.
"Mau kamu beli 1000 baju juga aku beliin. Udah ayok siap-siap."
Seno terlihat sangat semangat kali ini. Seketika hati Winda menghangat melihat sisi Seno yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Ya, Seno yang ceria juga banyak bicara.
"Win, kok melamun sih? Mau aku gendong lagi?" Seno bertanya karena dia melihat Winda yang hanya dia melamun.
"Eh egak. Ada bik Ijah. Malu tau."
Winda langsung beranjak dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam kamar mereka untuk mengganti pakaiannya.
****
Kevin termenung menatap Mirna yang terlihat sangat berantakan tidak karuan. Sejujurnya ia sangat geram pada Seno ketika mendengar semua penuturan Mirna.
"Seno udah kurang ajar banget sama Lo, Mir." Ucap Kevin pelan, "Perlu gue tegur?"
Mirna hanya diam yang menandakan kalau ia setuju jika Kevin menemui Seno untuk memperjelas hubungan kedua sahabatnya.
"Dan sebenernya—" Mirna berucap ragu. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya pada Kevin mengenai pernikahan Seno dan Winda, "Seno udah nikah."
"Ha?" Kevin langsung terkejut mendengar penuturan Mirna, "Mirna, gue tau Lo lagi sedih tapi jangan ngomong yang engga-engga. Mending sekarang Lo istirahat deh."
Mirna tersenyum miring, "Bahkan Lo juga gak percaya sama gue."
"Ya.. bukan gitu, Mirna. Tapi kan—"
"Tapi apa? Intinya Lo tetep gak akan percaya sama gue, Vin. Padahal Lo sahabat satu-satunya yang gue punya saat ini!"
Kevin terlihat bingung menatap Mirna, "Okay. Jadi maksud Lo Seno udah nikah? Nikah sama siapa, Mir?"
"Sama Winda!"
Kevin kembali dibuat tesesaat, namun hanya sesaat sebab ia langsung tertawa kecil, "Mir, udah deh mending sekarang Lo istirahat aja. Yuk—gue bantu Lo ke kamar!"
"Seno beneran nikah sama Winda. Udah 8 bulan!"
"Udah udah. Yuk gue bantu Lo."
"Gue punya buktinya," Mirna beranjak bangun lalu mengambil ponseknya di atas meja dan menunjukkan foto pernikahan Seno dan Winda yang entah bagaimana Mirna bisa mendapatkannya, "Lo sekarang percaya?"
Kevin langsung merampas ponsel Mirna. Dan benar—Seno sahabatnya dan Winda perempuan pujaannya ada di dalam foto itu. Foto pernikahan yang mungkin terjadi belum lama.
"M-mir? Ini editan 'kan?" Kevin tak sanggup mengetahui fakta tersebut. Hatinya sangat hancur melihat Winda berdampingan dengan pria lain.
"Kita udah dibohongin Vin sama Seno dan Winda. Mereka udah berkhianat sama kita." Ucap Mirna geram.
"Kenapa mereka gak jujur kalau udah nikah?"
"Karena emang mereka sengaja biar bisa buat gue sama Lo sengsara. Pasangan suami istri itu seneng liat kita kek orang bego."
Kevin kembali menatap Mirna, "Jadi ini alesan Lo sampe kek gini?"
"Iya. Seno sama Winda bener-bener buat hidup gue hancur!"
Kevin mengepalkan tangannya. Lalu segera berjalan keluar apartemen Mirna. Ia ingin meminta penjelasan dari kedua manusia itu.
****
Setelah puas berbelanja Seno dan Winda pun memutuskan pulang kerumah. Sesampainya di halaman rumah Seno langsung memakirkan mobilnya dan mengajak Winda turun.
Mereka tertawa cekikan setelah mendengar lelucon dari Winda yang konyol dan aneh.
"Belanjaannya turunin dulu, Sen." Suruh Winda.
"Suruh Pak Udin aja ya. Aku capek banget." Seno langsung menggandeng pinggul Winda dan ia segera mencium Winda.
"Ih, Seno. Entar ketauan bik Ijah sama pak Udin baru tau."
"Biarin aja," Seno kembali mencium bibir Winda.
"Di dalem aja." Ucap Winda di sela-sela ciuman mereka.
"Yaudah kan sambil jalan."
"Ish nyebelin."
Mereka kembali berciuman mesra, sampai tak menyadari jika di teras rumah sudah ada Kevin yang menatap mereka dengan perasaan hancur. Kevin memang sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari rumah Seno.
"Seno—" Winda tertawa pelan.
"Yaudah di kamar aja. Kasian banget istri aku!" Ucap Seno sambil mengecup kening Winda.
"Oh. Jadi kalian suami istri?" Suara berat Kevin sontak membuat dua manusia itu terkejut. Mereke menoleh ke arah suara tersebut dan ya, semua sesuai dugaan. Seno dan Winda membulatkan kedua mata mereka menatap Kevin disana.
"K-kevin?" Ucap Winda pelan.