Untuk pertama kalinya Winda menginjakkan kakinya di Paris. Disana sangat dingin karena sedang musim dingin, membuat Winda langsung flu dan itu sukses membuat Seno khawatir bukan main.
"Kita di hotel aja dulu ya. Besok aja kita perginya." Ucap Seno sambil memeluk Winda yang flu berat. Ditambah tubuh Winda mulai menghangat.
"Keknya kamu mulai demam deh." Ucap Seno lagi.
"Enggak kok. Ini keknya badan aku kaget karna baru pertama kali ngerasain musim dingin." Jawab Winda sembari terus bersin-bersin.
"Yaudah. Nanti kalau sampe sore kamu makin demam aku bakal langsung bawa kamu kerumah sakit."
"Ih gak mau."
"Kamu tu bisa gak sih kalau ngomong ilangin kata 'ih' kek jamet tau gak."
"Jadi maksud kamu aku tu jamet?"
"Hm."
"Seno, kamu malesin banget sih. Udah ah aku mau tidur!" Winda yang kesal di panggil jamet langsung memunggungi Seno dan memejamkan matanya.
Sedangkan Seno hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa pelan. Akhir-akhir ini Winda sering sekali marah padanya, tingkat hal kecil Winda akan langsung merajuk. Tapi tidak salah jika Winda marah, karena menang Seno sangat menyebalkan.
"Ish jangan peluk-peluk aku. Masih sebel sama kamu." Ucap Winda dengan suara khas orang flu.
"Kamu nanti kalau marah-marah lagi aku tinggal aja. Biar aku jalan-jalan sendirian."
"Yaudah sana. Kan kamu sukanya emang gitu. Ketemu sama cewe-cewe bule terus ons!"
"Ons?" Seno menaikkan satu alisnya.
"Iya. One night stand."
"Windaaaaaa..."
****
Mirna kembali melihat pintu apartemennya dimana ia sudah menunggu Seno selama beberapa hari ini—berharap pria itu datang setelah Kevin menemuinya. Mirna gusar serta bingung kenapa sampai detik ini Seno tidak menghubunginya atau datang menemuinya.
"Seno kemana sih?" Ucap Mirna kesal. Ia lalu memutar otak, memikirkan bagaimana caranya agar bisa mengetahui sedang apa Seno saat ini. Karena ya—Seno sudah memblokir nomor Mirna.
Mirna menelfon telfon rumah Seno yang beberapa waktu lalu ia simpan.
"Hallo. Selamat siang." Jawab suara perempuan paru baya di seberang sana. Yang jelas Mirna tahu kalau itu bukan suara Winda.
"Hallo. Bisa bicara dengan Seno."
"Oh maaf, Bu. Den Seno lagi pergi bulan madu sama non Winda ke Paris."
"Bulan madu?"
"Iya, Bu."
Wajah Mirna langsung terlihat kesal. Ia segera mematikan sambungan telfonnya dan membanting ponselnya sendiri.
"Kurang ajar. Bisa-bisanya Seno malah bulan madu bareng cewe sialan itu!" Mirna mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
Mirna kembali mengambil ponselnya laku menelfon Kevin, "Vin, Lo tu gimana sih? Kok Seno malah bulan madu sama Winda? Lo beneran datengin Kevin gak sih?"
"Ha? Kok lu marah-marah ma gue Mir?"
"Ya pasti karna Lo gek becus!" Mirna yang emosi langsung mematikan ponselnya dan membanting semua barang-barang yang ada disana.
"Awas aja Lo Win. Habis Lo sama gue!"
****
Kevin melonggarkan dasinya sembari menghela napas berat. Ia yang masih dalam keadaan patah hati semakin merasa sakit ketika mendengar ucapan Mirna—kalau Winda sedang bulan madu bersama Seno ke Paris.
Rasanya hati Kevin remuk redam. Disatu sisi ia merasa bersalah pada Winda karena ucapannya malam itu.
"Kenapa gue bisa cinta banget sama Winda. Padahal dia juga udah bohongin gue."
****
Winda meregangkan tubuhnya di balkon sembari menatap indahnya kota Paris pagi ini. Salju turun semakin lebat dan Winda sangat suka melihat itu.
Seno yang baru bangun terkejut melihat Winda sudah berdiri di balkon. Ia khawatir karena semalam wanita itu masih sakit.
"Kamu kok udah keluar sih yank?" Tanya Seno kemudian memeluk Winda dari belakang, "Masih dingin banget ini."
"Aku bosen tidur terus."
Seno menyentuh dahi Winda dan ternyata panasnya sudah turun, "Obatnya manjur banget ya."
"Iya. Beda ma di indo. Pas semalem aku minum tu perasaannya kek di iklan tau gak. Langsung bugar badan aku." Ucap Winda.
"Berarti hari ini kita bisa jalan-jalan dong sayang."
"Ehm." Winda mengangguk antusias, "Aku pengen banget jalan-jalan, Seno."
Winda mengecup bibir Seno, lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher sang suami, "Kita mau kemana hari ini?"
"Kemana ya? Menara Eiffel?"
"Mauuuuu.." Winda menjawab manja, "Aku penasaran banget. Selama ini cuma bisa lihat di foto doang."
"Yaudah yuk siap-siap." Seno mengecup kening Winda mesra.
"Yuk." Jawab Winda penuh semangat.
****
Winda tidak henti-hentinya tertawa bahagia ketika Seno mengajaknya ber jalan-jalan mengelilingi Paris. Mereka mengunjungi tempat-tempat indah dimana Winda selalu dibuat takjub akan keindahan Paris. Untuk sesaat—Winda bisa melupakan rasa gundah karena ucapan Kevin. Kini ia bisa fokus liburan bersama sang suami.
"Kamu suka?" Tanya Seno saat melihat Winda dengan lahap memakan hotdognya.
"Banget. Rasanya beda sama yang di jakarta."
"Jelas dong, ayang. Mau nambah?"
"Mauuu. Tapi daging sapi ya jangan ayam lagi."
"Siap, Tuan putri."
Seno kembali memesan hotdog untuk Winda. Seperti yang kita tahu—Winda sangat suka makan dan memang porsi makannya sangat besar melebihi Seno. Seno justru sangat senang ketika melihat Winda makan dengan lahap. Ia juga ikut semangat.
"Ayok, semangat makannya." Ucap Seno tertawa.
"Ah, kamu nih." Winda berucap dengan mulut penuh makanan.
"Gemes banget." Seno mencubit pipi Winda kemudian menyeka noda di bibir Winda menggunakan tisue.
"Makasih."
"Sama-sama, sayang."
****
Bik Ijah membuka pintu rumah ketika seorang wanita datang kerumah Seno.
"Cari siapa ya mbak?" Tanya Bik Ijah.
"Cari Seno." Wanita itu adalah Mirna.
"Oh, Den Seno lagi pergi ke Paris bareng sama istrinya."
"Oh gitu?" Mirna memberikan kotak bingkisan pada bik Ijah, "Kalau gitu tolong kasih ini sama Winda ya."
"Apa ni ya mbak?" Tanya bik Ijah takut. Soalnya beberapa waktu lalu ia melihat berita jika banyak orang asing sengaja memberikan kotak bingkisan yang berisi bom.
"Udah. Kamu gak perlu tau. Kasih aja sama Winda."
"Aduh, tapi ini bukan sesuatu yang aneh kan, mbak?"
"Ya bukanlah." Mirna mulai terlihat kesal, "Lo tu kalau dikasih amanah gak usah banyak nanyak. Tinggal kasih aja sama Winda."
"Terus nanti saya bilang ini dari siapa?"
"Gak perlu bilang Winda udah tau kok."
"Oh gitu. Tapi katanya den Seno mereka bakal dua bulan di Paris. Soalnya lagi promil." Ucap bik Ijah sambil tertawa cekikikan.
"Promil?" Mirna semakin kesal. Hatinya semakin berapi-api, "Winda mau punya anak?"
"Iya. Cuma kalau disini tu kata den Seno ntar non Winda stres. Jadi den Seno sengaja bawa ke Paris biar cepet katanya. Dan non Winda gak tau maksud tujuan itu karna emang den Seno gak bilang-bilang." Jelas bik Ijah panjang lebar yang kemudian teringat kalau dia sudah terlalu banyak berbicara, "Astaga. Napa penyakit bocor saya kambuh lagi sih?"
Mirna tersenyum miring—tidak habis pikir jika kekasihnya itu bisa sangat romantis pada istri gadungan nya.
Tapi Mirna tak mau ambil pusing. Ia sangat yakin kalau pun mereka pulang ke Jakarta dan Winda melihat bingkisan itu. Sudah pasti Winda akan stres atau bahkan—marah pada Seno. Lalu rumah tangga mereka akan hancur.
Mirna tersenyum puas, "Yaudah deh. Gue balik dulu ya. Jangan lupa Lo kasih bingkisan ini ke Winda. Inget ya—harus ke tangan Winda duluan!"
"I-iya mbak." Bik Ijah merasa aneh pada Mirna.
Mirna kembali mengenakan kaca matanya. Lalu berjalan ke mobilnya sembari tersenyum sangat puas.
"Mampus Lo Winda. Sekarang Lo bisa seneng-seneng. Tapi—begitu Lo tau semuanya bakal hancur hidup Lo!"