Winda menatap datar tiga orang yang sedang berdebat di depannya. Kakinya sudah terasa sangat pegal, pasalnya selama hampir 30 menit ia terus berdiri memperhatikan mereka—padahal hari ini adalah hari ujian pertama kelulusan SMA dan ia tidak boleh terlambat.
"Aku gak mau pergi ke sekolah sama Winda." Ucap pemuda yang juga mengenakan seragam sekolah sama seperti Winda.
"Seno, apa salahnya pergi sekolah bareng Winda? Kalian sudah seperti anak kembar bagi ayah. Pergi dengan-nya atau kamu akan jalan kaki." Tegas pria tua itu yang sedang duduk di sofa.
Seno? Winda?
Winda sudah lima tahun tinggal di rumah keluarga Ramdan. Dulunya ayah Winda adalah supir pribadi keluarga Ramdan. Tetapi ayahnya meninggal karena penyakit jantung lima tahun yang lalu. Dimana sejak saat itu Ramdan memutuskan untuk bertanggung jawab atas Winda dengan membiayai seluruh hidup gadis itu.
Sebenarnya Ramdan sangat ingin mengangkat Winda menjadi anaknya. Tapi gadis itu menolak dengan keras, sebab ia tidak mau menggantikan sosok sang ayah dengan orang lain—padahal Ramdan sangat menginginkan Winda menjadi anaknya.
Lalu Seno? Dia merupakan anak tunggal Ramdan dan istirnya, Julia. Seno itu memiliki sifat sedikit kekanakan, dan sangat membenci Winda, sebab ayahnya selalu membuat-nya dan Winda seolah-olah menjadi anak kembar.
Seno sangat pintar dan menjadi idola satu sekolah—yang mana ia juga menjabat sebagai kapten basket, serta menjadi pemenang juara olimpiade matematika selama tiga tahun berturut-turut.
"Seno, udahlah nanti kamu bisa telat, loh. Hari ini ujian pertama kalian, kan?" Ucap Julia, ibu Seno.
Seno melihat jam di tangannya, lalu menatap Winda dengan sinis. Kemudian menghentakkan sebelah kakinya, setelah itu pergi meninggalkan ayah dan ibunya serta Winda di ruangan tamu tersebut.
"Winda, kamu bisa naik mobil bareng Seno, pak supir yang akan anter kalian berdua," Ucap pria tua itu.
Winda hanya mengangguk pelan dan segera menyusul Seno untuk pergi ke sekolah bersama-sama.
****
Di dalam mobil hanya ada keheningan di antara mereka berdua. Seno maupun Winda memang jarang berbicara satu sama lain. Saat ini Seno sedang sibuk dengan ponsel dan earphone yang terpasang di telinganya, sedangkan Winda sedang sibuk membaca buku pelajaran-nya.
"Pak, berhenti disini." Seno membuka suaranya, membuat Winda lantas menoleh ke samping, menatap Seno.
"Waduh. Tapi sebentar lagi mau sampai, kenapa berenti disini, Tuan?" Tanya pak Yanto, sang supir.
"Ya karena itu makanya aku minta pak Yanto berenti disini. Aku gak mau satu sekolah tau kalau aku pigi sama dia," Tutur Seno sambil melirik Winda.
Mendengar ucapan Seno, Winda memutar bola matanya dengan sangat malas—lalu menutup bukunya dan menaruhnya kembali ke dalam tas.
"Berenti aja. Sekolah gak jauh lagi kok aku bisa jalan kaki," Ucap Winda malas.
Winda memang selalu mengalah, dia tidak pernah memperdulikan Seno yang selalu seenaknya seperti ini. Menurutnya, menanggapi Seno sama saja seperti kau menanggapi seorang anak kecil.
"Tapi, Nona."
"Gak apa-apa kok, Pak. Jangan bilang sama Om Ramdan, ya."
Sang supir memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan Winda pun segera membuka pintu, lalu keluar dari dalam mobil. Kemudian menutup pintu tersebut dengan sangat kuat, membuat Seno yang berada di dalamnya mengecoh kesal.
"Dasar tidak tahu diri!" Umpat Seno penuh emosi.
****
Winda berjalan santai menelusuri koridor sekolah dan berniat untuk pergi ke kantin. Tidak disangka ia melihat Seno sedang menggoda beberapa siswi perempuan di taman sekolah tersebut. Winda hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia sudah tahu bahwa Seno memang terkenal bad boy, terbukti pacar Seno yang sering bertengkar satu sama lain di sekolah—hingga pria itu pernah kewalahan mengurus semua pacar-pacarnya.
Bahkan Seno beberapa kali pernah meminta bantuan Winda hanya sekedar untuk membalas semua pesan-pesan yang masuk dari para pacarnya yang saat itu berjumlah sepuluh orang.
"Seno Seno," Batin Winda geleng-geleng kepala.
****
Besok adalah ujian terakhir. Tentu, Winda sangat bersemangat untuk belajar malam ini. Tapi tiba-tiba saja ia mendengar Tante Julia memanggilnya. Winda langsung menutup bukunya dan melepas kaca matanya, gadis itu segera menuruni tangga dan melihat Julia yang tampak kesusahan membawa banyak paperbag.
"Tante, biar aku bantu," Winda langsung mengambil Paperbag tersebut dari tangan Julia.
"Win, tolong kamu rapiin semua itu ke dalam lemari yang ada di ruangan koleksi ya. Tante capek banget. Oh ya, sekalian kamu rapiin beberapa baju yang berserakan juga," Perintah Julia.
Setelah mengatakan hal tersebut, Wanita paruh baya itu langsung menaiki tangga meninggalkan Seungwan.
"Padahal aku harus belajar," ucap Winda sendirian dengan suara lesuh tidak semangat.
Winda menatap sendu paperbag tersebut. Sepertinya isi di dalamnya merupakan beberapa pakaian mahal. Padahal di rumah ini ada pembantu, tapi entah kenapa Julia selalu menyuruh Winda untuk melakukan hal-hal seperti ini.
****
Di hari terakhir Ujian—Seno tampak membagikan sebuah undangan kepada teman-teman satu sekolah yang menurutnya populer. Pemuda itu berniat mengadakan pesta perpisahan, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya yang ke sembilan belas tahun.
"Datang ya," Ujar Seno sambil tersenyum manis kepada beberapa gadis.
Ternyata ada dua pasang mata yang saat ini melihat Seno sedang membagikan undangan.
"Jadi Lo bakal ikut Seno kuliah di Amerika?" Tanya Egi, sahabat dekat Winda.
Winda menggelengkan kepalanya, membuat Egi langsung melotot menatapnya.
"Kenapa? Kan kalian udah diterima disana? ayah Seno juga kan yang minta kalian berdua kuliah bareng-bareng?" Tanya Egi bingung.
"Aku gak mau, Gi. Aku gak mau kuliah. Rencananya nanti malem aku mau ngomong sama Om Ramdan."
Egi langsung menyandarkan punggungnya ke tembok. Ia melihat Winda yang sedang menghela napas berat, seperti banyak beban.
"Orang lain berlomba-lomba untuk bisa kuliah di Luar Negeri. Sedangkan Lo malah nolak. Sumpah aneh banget Lo, Win."
Winda hanya menunduk lesuh dan kembali menghela napasnya dalam-dalam.
****
Di pesta perayaan ulang tahun Seno malam ini Winda bukannya bersiap tapi justru masih berada di kamarnya, ia bahkan masih memakai baju kaus dan celana training. Entah kenapa ia merasa gugup, sepertinya gangguan kecemasan yang Winda miliki mulai bereaksi; tidak bisa berada ditempat keramaian.
Suara pintu kamar Winda terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu tersebut.Disana, menampilkan Seno ang sudah sangat tampan menggunakan pakaian semi formal.
"Ada apa? Kenapa Lo kemari?" Tanya Winda sedikit terkejut.
Seno langsung melangkah masuk dan bersandar di meja rias milik Winda. Pemuda itu terlihat sangat santai dengan melipat kedua tangan-nya.
"Jangan keluar," Ucap Seno singkat seperti sedang memerintah.
Winda menaikan satu alisnya "Maksud Lo?"
Sehun kemudian menghela nafas, "Gue gak mau mereka lihat Lo ada di pesta gue malem ini. Jadi, Lo jangan sampe keluar," suara Seno terdengar tertekan di akhir kalimat.
Winda menatap Seno kesal. Ia ngin membalas kata-kata Seno. Tapi gagal karena tiba-tiba saja ia mendengar suara Ramdan yang memanggil mereka. Ternyata pria tua itu sudah berdiri di depan pintu, tadi Seno memang tidak menutup pintu kamar Winda.
"Nak, kenapa belum keluar, pestanya akan dimulai. Dan Winda, kenapa kamu masih pakai baju itu?"
"Aku mau siap—"
"Begini ayah, Winda bilang dia sakit. Makanya aku kemari." potong Seno tiba-tiba.
Winda langsung melihat Seno, begitupun juga Seno. Mata mereka terkunci untuk beberapa saat.
"Sakit apa, Win? Kenapa gak bilang dari tadi?" Ramdan terlihat khawatir dan mendekat ke arah Winda namun kembali dicegah oleh Seno yang langsung menggandeng tangan sang ayah.
"Ayah, udahlah, aku udah kasih obat untuk Winda. Pesta sebentar lagi dimulai, Yah," Ucap Seno berusaha meyakinkan ayahnya.
"Tapi—"
"Udah, udah, Ayah."
Lalu saat itu juga Seno terlihat tersenyum miring melihat Winda. Dengan menggandeng sang ayah Seno langsung menutup pintu kamar gadis itu.
...
TBC