Saat memutuskan untuk mau menerima perjodohan ini dengan Seno, Winda sudah siap menerima segala resikonya. Segala resiko yang mungkin akan menyakiti dirinya sendiri suatu saat nanti.
Winda pun tidak mau lagi untuk menjadi gadis kaku yang selama ini Seno kenal, ia ingin menunjukkan bagaimana sifat dirinya yang asli kepada semua orang, yaitu sebagai Winda yang ceria dan tegas serta mempunyai banyak humor.
"Gue capek," lirih Seno sambil sedikit mengatur napasnya.
Terhitung sudah empat hari mereka berdua berada di Phuket, dan selama empat hari itu pula mereka tidak berhenti untuk pergi berjalan-jalan. Seno sangat malas, tapi Winda sangat bersemangat.
Seperti sekarang, Hari sudah malam dan besok pagi mereka harus pulang ke Jakarta. Tapi seakan tidak ada lelahnya, Winda terus berjalan menyusuri kota tersebut—sementara Seno? Entah sudah berapa kali ia terus mengeluh karena kelelahan.
Pria itu juga tidak habis pikir dengan Winda, kenapa gadis itu tidak ada lelahnya selama empat hari terus berjalan-jalan. Dan Seno bersumpah, jika bukan karena ayahnya, ia tidak akan mau untuk pergi menemani gadis itu.
"Kalau capek, Lo pulang aja ke Villa," Winda berucap sambil terus berjalan di depan Seno—seakan melupakan semua aturan, mereka bahkan tidak pernah berjalan saling berjauhan.
"He, denger ya, gue juga maunya gitu, kalau aja ayah gak—"
"Sen, yuk kesana," dengan spontan Winda langsung menarik paksa tangan Seno saat melihat sebuah lampu-lampu cantik yang bergelantungan di atas pohon-pohon yang berada di pinggir jalan.
"Apa lagi, sih?" Seno mendengus kesal saat Winda menariknya sambil terus berjalan.
Winda terus menggandeng tangan Seno untuk mendekat ke tempat lampu-lampu itu, ia sudah masa bodoh kalau nantinya Seno akan marah, yang terpenting dia bisa berfoto di lampu-lampu tersebut.
"Fotokin gue disini."
Winda langsung melepas tangan Seno dan bersiap-siap untuk berpose di bawah lampu tersebut. Senomemejamkan matanya sesaat lalu tangannya mengelus-elus dadanya yang bidang.
"Sabar Seno, sabar."
Setelah itu, Seno kembali berucap, "Win, asal Lo tau ya, foto Lo di hape gue udah banyak banget. Penuh memori hape gue jadinya."
"Sen, gue janji langsung beli hape canggih kayak punya Lo pas nanti gue sampe di Jakarta, tapi gur harus kerja dan nabung dulu. Cept fotokin gue."
Dengan perasaan terpaksa dan jengkel, Seno langsung mengarahkan kamera ponselnya untuk mengambil foto Winda—tanpa arahan dan intruksi.
Winda pun melakukan banyak pose yang menurut Seno itu sedikit kampungan.
"Udah," Seno kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
Winda yang melihat itu pun hanya menatap tak percaya, jelas-jelas ia masih ingin berpose lebih banyak.
"Gue masih ingin foto. Gue harus foto yang banyak."
"Gak! Gue mau pulang, gue capek ngikutin kemauan Lo."
Dan setelah itu, Seno pun langsung melangkahkan kakinya untuk pulang—pria itu sudah sangat lelah harus menemani Winda selama empat hari berturut-turut. Sementara Winda dengan perasaan kecewa juga langsung berjalan mengikuti Seno.
*****
📍Bandara Soekarno Hatta
Seno dengan langkah cepat terus berjalan menuju Lobby, Sementara Winda yang masih tertinggal di belakang terus berusaha mengimbangi langkah kaki Seno yang begitu cepat—mengingat kakinya tidak sepanjang kaki Seno.
Saat sudah sampai di Lobby, Seno pun menoleh ke belakang dan berbicara pada Winda, "Lo pulang aja naik taxi."
"Terus Lo gimana?" Tanya Winda.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan mereka, dan orang tersebut membuka kaca mobilnya, terlihatlah seorang gadis cantik berambut coklat mengenakan pakaian seksi, dan menggunakan kaca mata hitam. Gadis itu ternyata adalah Mirna.
"Sayang, yuk masuk," Ajak Mirna yang sesekali melirik Winda dengan tatapan remeh.
Senyum bahagia terukir dari wajah tampan Seno saat melihat kekasihnya datang untuk menjemputnya.
Seno langsung membuka pintu dibagian kursi penumpang dan mengambil tempat duduk di samping Mirna.
Pintu kembali terutup, dan Mirna merendahkan kepalanya, tersenyum saat menatap Winda, "Kami pergi dulu ya," ucapnya.
Winda tidak tahu harus memberi respon apa, wajahnya pun langsung memerah karena malu. Saat mobil tersebut sudah melaju, Winda menatap koper dan belanjaan yang ia beli saat di Phuket. Lalu gadis itu melirik ke sana kemari, untuk mencari taxi.
Saat ini perasaan Winda sedikit menciut—melihat bagaimana cantiknya Mirna yang jelas sangatlah jauh berbeda di bandingkan dengan dirinya.
*****
"Kamu janji, 'kan? gak akan ninggalin aku demi Winda?" Tanya Mirna sambil memainkan jemari lentiknya pada dada bidang Seno.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, Seno pun semakin mempererat pelukannya. Dan Mirna sedikit menaikkan selimutnya untuk menutupi tubuh telanjang mereka.
Saat ini mereka sudah berada di apartemen Mirna, untuk saling melepas rindu, karena empat hari lamanya tidak saling bertemu.
"Kamu tahu, 'kan? aku cinta banget sama kamu?" Seno kembali bertanya sembari menciumi pucuk kepala gadis itu.
Mirna pun mendongak, lalu menjawab, "Kamu nanti sering jumpa sama perempuan itu, wajar aja aku dikit khawatir."
Seno pun tertawa kecil begitu mendengar ucapan Mirna, "Inget sayang, perempuan itu bukan tipeku. Tipe ideal aku itu kamu, Mirna cantik. Udah ah aku gak mau bahas itu lagi, rasanya muak banget karena aku terus liat dia selama empat hari."
Kali ini Mirna juga ikut tertawa kecil. Gadis itu pun kembali mengingat saat bertemu Winda di bandara tadi, memang benar gadis itu sangat kampungan—mana mungkin Seno akan jatuh hati pada gadis kampungan seperti Winda.
"Kamu benar, istri kamu itu bener-bener kampungan banget."
Seno pun tertawa geli, "Bener, 'kan? Aku gak pernah bohong sama kamu, sayang!"
Mirna mengecup bibir Seno, lalu memeluk pria itu dengan erat dan berkata, "Gucci baru aja ngeluarin tas model baru kemarin, kamu tau, 'kan? papaku udah memblokir semua kartu kredit ku," Gadis itu menggeliat dengan manja.
"Kamu langsung bisa pesen. Tenang aja, aku yang bakal bayarin semuanya," Ujar Seno.
Wanita mana yang tidak suka jika terus di manjakan dengan materi, begitu pun dengan Mirma. Setelah mendengar ucapan Seno, gadis itu langsung menindih tubuh Seno dan mungkin akan melanjutkan permainan mereka yang sempat terhenti sebentar.
*****
Di dalam rumah, Winda duduk sendirian di ruangan tamu, gadis itu sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu malam. Batinnya, kenapa sampai tengah malam Seno belum pulang juga.
Winda tahu ini salah, tapi saat ini ia sedikit khawatir dengan Seno. Beberapa kali ia mencoba untuk tidak perlu menunggu dan mengabaikannya tapi ia tetap tidak bisa melakukan itu.
Apa Winda mulai menyukai Seno? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Winda tidak boleh menyukai Seno. Atau sebenarnya Winda memang pernah menyukai pria itu?
Winda menghela napasnya dengan sangat panjang, senyuman manis terbentuk dari wajah cantiknya. Perasaannya sedikit menghangat saat mengingat ia bisa menghabiskan waktu bersama Seno selama empat hari. Mengingat sebelumnya mereka sama sekali tidak pernah bersama ataupun berbicara sebanyak itu.
Tapi di Phuket? Mereka benar-benar bisa menghabiskan waktu bersama—makan di satu meja, berjalan-jalan mengitari kota tersebut, bahkan berdebat kecil untuk hal yang sama sekali tidak penting. Winda suka itu!
Sesaat kemudian Winda tesadar dan memejamkan matanya, lalu menggelengkan kepalanya secepatnya.
"Gak, gak, apa sih yang Lo pikirkin, Win? Jangan ngadi-ngadi deh Lo."
Winda merasakan detak jantungnya berdegup sangat kencang, gadis itu menyentuh pipinya sendiri. "Oh, kenapa sih gue? Dah gila kali ya gue?"
Berusaha untuk tidak memikirkan hal yang aneh-aneh, Winda mencoba untuk mengingat semua kejelekan Seno. Lalu gadis itu bangkit dari tempat duduk, dan melakukan banyak peregangan pada tubuhnya—mungkin dengan cara ini dia bisa berhenti untuk memikirkan Seno.
*****
Seno memasuki rumahnya dengan perasaan sangat gembira, karena bisa menghabiskan waktu dengan Mirna selama semalaman. Baginya saat ini, Mirna adalah energi yang bisa membuat dirinya bersemangat kembali, setelah menghabiskan waktu dengan Winda yang menurutnya sangatlah membosankan.
Bahkan Seno terus membicarakan bagaimana tingkah Winda yang menurutnya sangat kampungan pada Mirna.
"Lo udah pulang?" Tanya Winda yang sudah berada di depan pria itu.
Seno hanya diam, pria itu justru fokus melihat Winda yang terlihat begitu berantakan—dengan memakai kaus oblong kebesaran dipadukan hotpants pendek, dan rambutnya yang masih acak-acakan, sambil memegang sebuah piring.
"Gue buatin pancake kesukaan Lo dulu, ini sebagai ucapan terimakasih karena Lo udah mau nemenin gue selama di phuket," Ucap Winda sambil menyodorkan sebuah piring berisi pancake yang masih hangat.
Melihat Winda saja sudah membuat Seno muak. Apalagi sekarang? Gadis itu bahkan tidak mementingkan penampilannya. Dan Senotidak suka itu!
Seno hanya menatap Winda dengan malas, lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk menaiki anak tangga tanpa membalas ucapan Winda.
"Apa semalaman Lo bareng sama Mirna?" Winda mendongak ke atas. Winda mengerti menanyakan hal ini pada Seno adalah hal yang salah, tapi entah kenapa ia memang harus menanyakan hal ini.
Seno yang sudah berada di pertengahan anak tangga kembali membalik tubuhnya, lalu sedikit menundukkan pandangannya untuk menatap Winda.
"Itu bukan urusan Lo!" Ucap Seno dengan dingin, kemudian melanjutkan langkahnya.
Winxa tersenyum kecut begitu mendengar jawaban Seno. Gadis itu menatap pancake yang sekarang ada ditangannya—padahal sejak subuh tadi ia sudah menyiapkan semuanya. Bukan hanya pancake, tapi berbagai macam hidangan yang sudah tersedia di meja makan.
Tapi bukan Winda namanya jika langsung sedih begitu saja, senyum indahnya pun kembali terukir di wajah cantiknya, "Gue bisa makan semuanya sama bibik."
Gadis itu pun kembali berjalan ke dapur dengan bersenandung kecil dan ceria.
.....
TBC