Ramdan tahu dan sadar betul kalau keputusannya untuk menikahkan Seno dengan Winda akan membuat Winda kesulitan dan sedikit menderita. Tapi Ramdan optimis dan yakin kalau semua itu tidak akan lama karena Ramdan yakin jika Winda mampu membuat Seno luluh padanya, apalagi kalau Winda bisa mengandung anak Seno. Sudah dipastikan Seno akan bertekuk lutut pada Winda, itulah yang Ramdan pikirkan.
"Gak. Aku gak bisa!"
Seno dengan tegas menolak permintaan ayahnya yang menyuruhnya untuk pergi bulan madu bersama Winda. Jelas ia akan menolak, ia tidak ingin membuat Mirna sakit hati untuk yang kesekian kalinya. Lagian, Seno juga tidak suka dengan Winda. Dan menganggap kalau pernikahan ini hanyalah penyelamat agar ia tetap menjadi pewaris ayahnya. Bukan untuk bersenang-senang dan justru malah pergi bulan madu.
"Ayah udah buat keputusan, kalian tetep harus pergi ke Phuket untuk bulan madu."
Winda mengerti, sepertinya saat ini Ramdan sudah benar-benar sangat marah. Terlihat dari nada bicara pria tua itu yang terkesan dingin dan memaksa.
"Ayahhh..." Rengek Seno dengan kedua tangannya yang masih memegang sendok dan garpu.
Mulut Winda langsung menganga sambil menatap tak percaya Seno yang saat ini sedang duduk di sampingnya. Pria itu benar-benar bertingkah seperti seorang anak kecil yang tidak dibelikan mainan.
Sesaat kemudian, Winda menggelengkan kepalanya pelan, lalu beralih menatap Ramdan yang saat ini juga sedang menatapnya, terlihat jelas bahwa pria tua itu sangat malu dengan sikap Seno yang benar-benar sangat kekanakan.
"Ekhmmm." Ramdan berdehem, lalu melanjutkan kata-katanya, "Winda, kamu setuju 'kan? Untuk pergi bulan madu sama Seno?"
Winda sedikit berpikir, namun saat ia ingin menjawab, tiba-tiba kakinya di pijak oleh Seno dengan sangat kuat, "Akhhhh sakitt...."
Teriakan Winda terdengar sangat kuat dan frustasi, membuat Seno panik bukan main karena takut ketahuan ayahnya kalau ia yang memijak kaki Winda. Sedangkan Ramdan terlihat begitu panik.
Bayangkan saja, kaki Seno jauh lebih besar dari kaki mungil Winda, apalagi Seno juga mengenakan sendal rumah. Pasti rasanya benar-benar sakit saat Seno memijak kaki Winda dengan sangat kuat.
Winda yang menyadari kakinya di pijak oleh Seno langsung melotot menatap pria itu, "Awas ya, Lo berani sama gue." ucap Winda dengan sedikit menggertakkan giginya.
"Mau apa memang, Lo?" Balas Seno sedikit mengangkat dagunya, seolah ia ingin menantang Winda.
Bisa dipastikan bahwa saat ini Winda sudah sangat geram dengan sikap Seno. Kesabarannya sudah habis menghadapi tingkah Seno yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
Dengan matanya yang masih menatap Seno, Winda langsung menjawab pertanyaan Ramdan tadi, "Aku setuju ayah, kalau bisa bulan madunya dipercepet jadi besok. Oke?"
Pria tua itu pun langsung tersenyum dengan senang. Walaupun sejujurnya Ramdan sangat bingung melihat kedua orang yang saat ini berada di depannya. Lebih terlihat seperti orang mau melakukan perang. Tapi Ramdan tidak peduli, yang terpenting Winda sudah setuju, dan Seno tidak akan pernah bisa menolak.
Seno langsung membuang muka dengan malas. Sejak kapan Winda mulai berani menantangnya?
"Ini gak bisa dibiarin gini aja. Winda, awas aja Lo, ya." Batin Seno dengan raut wajah yang sudah sangat kesal.
****
Seno mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedikit tinggi, Winda yang duduk di sampingnya sesekali melirik ke arah pria itu. Sepertinya saat ini Seno masih marah padanya, akibat kejadian saat makan malam tadi. Sebenarnya sedang tidak marah pun, Seno tetap akan bersikap acuh, 'kan?
Entah kenapa tiba-tiba Winda menjadi merasa tidak enak pada Seno.
Tapi tadi kakinya memang sangat sakit saat Seno menginjaknya. Sehingga dengan perasaan kesal, gadis itu spontan langsung menyetujui permintaan Ramdan, yanh mana membuat Seno menjadi semakin emosi.
Sementara Seno dengan perasaan kesalnya langsung memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Turun!" Pinta Seno dengan ketus.
"Lah, kenapa Lo nurunin gue disini?" Tanya Winda dengan bingung dan sesekali melihat sekelilingnya yang cukup ramai.
Seno memutar bola matanya dengan malas, lalu memukul stir mobilnya dengan sangat kuat, membuat gadis itu sedikit terkejut, "Gue bilang turun, ya turun. Susah banget dikasih tau."
"Tapi gue gak tau dimana rumah kita, gue udah 7 tahun gak tinggal di Jakarta jadi lupa."
"Lo emang beneran bodoh, ya? Lo kan bisa pulang naik taxi."
Winda terdiam. Terlihat dari raut wajah Seno, bahwa pria itu sudah sangat marah sekarang.Seno kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Winda.
"Keluar cepet!" Perintah Seno. Lalu ia kembali melanjutkan kalimatnya tanpa melihat gadis itu, "Perumahan Pondok Indah. Gak perlu gue jelasin lagi. Kalau Lo gak pikun pasti Lo masih inget dimana lokasi rumahnya."
Winda menatap uang tersebut dan Seno secara bergantian. Kemudian gadis itu menghela nafas sebentar, lalu mengambil uang tersebut dari tangan Seno. Segera gadis mungil itu melepas sealtbelt yang masih melingkari tubuh kecilnya.
"Gue minta maap atas kejadian tadi." Ucapnya, dan akhirnya keluar dari dalam mobil Seno.
Setelah Winda turun, Seno langsung pergi meninggalkan gadis itu sendirian disana.
Dengan perasaan yang sulit di jelaskan, Winda melihat area di sekelilingnya. Sepertinya saat ini ia sedang berada di pusat kota yang cukup ramai.
****
Siapapun orang pendatang pasti akan sangat takut jika harus ditinggal sendirian di tengah pusat kota besar seperti Jakarta. Tapi tidak dengan Winda, dengan sifat pemberaninya gadis itu tidak malu untuk bertanya, hingga akhirnya gadis itu sekarang sudah sampai di rumah Senodengan selamat. _an membawa banyak kantong plastik sambil bersenandung ceria.
Sementara Seno yang sudah berada di dalam kamarnya kini merasa sangat puas saat ia meninggalkan Winda sendirian di tengah kota yang cukup ramai. Dalam pikirannya pasti Winda akan tersesat dan mungkin tidak akan pulang atau akan dinyatakan hilang sekalian.
"Lo rasain deh akibatnya," Ucap Seno penuh kemenangan dan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Seno berharap Winda tidak usah kembali agar besok mereka tidak perlu pergi bulan madu ke Phuket. Dengan perasaan senang hati, Seno langsung bercermin di depan kaca dengan pakaian yang sekarang lebih santai. Pria itu memang berniat untuk pergi ke klub malam guna menghilangkan stres bersama teman-temannya.
Dirasa sudah sempurna, pria itu langsung keluar dari kamarnya dan segera menuruni anak tangga. Begitu sampai di lantai dasar, Seno justru melihat Winda yang baru pulang dengan membawa banyak kantong plastik. Dan terlihat sangat gembira. Oh tidak, bukan ini yang diharapkan oleh Seno!
"Lo?" Seno melengkungkan kedua alisnya, tampak sedikit mencerna dengan situasi yang tidak dia harapkan.
"Makasih ya, udah kasih gue uang. Jadi gue bisa beli cemilan ini." Tutur Winda dengan tersenyum sumringah. Setelah mengucapkan kalimat tersebut Winda segera menuju dapur dan meninggalkan Seno yang masih diam mematung.
"Ha? Kok bisa, sih? Winda pulang bukan nangis tapi malah keliatan bahagia banget." Gumam Seno sendirian, "Bener-bener gak bisa ditebak nih si Winda."
Sepertinya kali ini rencana Seno untuk pergi ke klub malam akan gagal total. Karena besok ia harus pergi ke Phuket.
....
TBC