Chereads / Goddes Of Marriage / Chapter 2 - 02 - Impian Yang Gagal

Chapter 2 - 02 - Impian Yang Gagal

Suara alunan musik jazz dengan irama yang di padukan dengan instrumen violin menggema di sebuah ruangan yang cukup besar. Semua orang tampak sedang menikmati pesta yang digelar oleh keluarga Ramdan—khusus untuk merayakan hari ulang tahun anak semata wayang mereka yaitu, Seno.

Para tamu undangan sesekali berbicara dan tertawa kecil di sela-sela pembicaraan mereka, yang mungkin isi pembicaraannya hanya memamerkan kekayaan yang mereka miliki. Sungguh tidak penting!

"Seno Susilo Admaja, selamat ulang tahun."

Kata-kata itulah yang sejak tadi terus didengar oleh Seno. Dan pria itu tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa saat ini ia sangat bahagia karena sebentar lagi akan lulus, lalu bisa pergi melanjutkan kuliah ke luar negeri—mimpinya yang kini sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

Seno memang sangat suka kebebasan, ia tidak suka jika hidupnya harus di atur-atur. Mungkin itulah alasan ia ingin kuliah ke luar negeri, karena selama ini ayahnya terus mengatur hidupnya.

"Seno, sini nak," Panggil ayahnya dari meja yang tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Seno yang masih berbincang-bincang dengan temannya pun menoleh dan berjalan ke tempat ayah dan ibunya berdiri. Seno dapat melihat jika disitu terdapat lima orang; ayah dan ibunya, lalu dua orang  yang sepertinya adalah sepasang suami istri yang umurnya mungkin sama dengan kedua orang tuanya. Dan satu lagi, seorang gadis cantik yang sepertinya seumuran dengannya.

"Jadi, kamu yang namanya Seno?" Tanya pria tua yang seumuran dengan ayahnya. Seno menyambutnya dengan tersenyum dan mengulurkan tangannya. Kemudian pria tua itu menepuk-nepuk punggung Seno sambil tertawa senang.

"Seno ganteng 'kan?" Ibu Seno—Julia mencoba menggoda mereka dengan sebuah pertanyaan yang membuat anaknya sedikit malu.

"Benar. Seno ganteng dan juga sangat tinggi," Ucap pria itu dengan menaikan sedikit dagunya. Mereka semua kemudian tertawa melihat pria tua itu memuji Seno dengan sangat bangga.

Seno yang mendapat pujian seperti itu pun hanya tersenyum tipis, sejujurnya, ia sudah bosan mendengar orang memujinya dengan kata 'ganteng'.

Kali ini Ramdan yang membuka suara, "Seno, kenalin Om ini rekan bisnis ayah, Om Jenaka dan istrinya Tante sera, mereka ini pemilik TBC media."

Seno yang mendengar ucapan ayahnya hanya bisa mengangguk kecil, sambil terus tersenyum. Lalu pandangannya kini beralih pada gadis cantik yang berada di sebelah Sera.

Ramdan menghela napas sebentar, lalu tersenyum dan mencoba mendekat ke sebelah gadis cantik itu, lalu menyentuh pundak gadis tersebut, "Nah, gadis cantik ini anaknya Om Jenaka, namanya Mirna."

Gadis bernama Mirna hanya tersenyum malu-malu saat Ramdan memperkenalkannya pada Seno sambil memuji kecantikannya.

"Aku Seno," orang tua yang berada disana pun sedikit terkejut saat Seno tiba-tiba langsung mengulurkan tangannya untuk memberi salam pada Mirna.

Mirna yang mendapat uluran tangan dari Seno pun tersenyum kikuk, lalu menoleh ke Sera sebentar—sebelum akhirnya Sera mengangguk dan pandangan Mirna kembali pada Seno.

"Aku Mirna," Mirna dengan raut wajah senang langsung membalas uluran tangan Seno.

Tidak bisa dipungkiri, orang tua mereka sangat bahagia saat ini begitu melihat anak mereka yang sepertinya akan akrab dengan lebih cepat.

Dan Seno? Tentu saja pemuda itu sangat senang bisa berkenalan dengan gadis yang sangat cantik seperti Mirna.

****

Sementara Winda yang saat ini sedang berada di dalam kamar masih setia dengan posisinya yang terlentang memenuhi tempat tidurnya. Dengan kaca mata bulat dan kaus kebesaran yang di padukan dengan celana training favoritnya. Terdengar sangat jelas di telinga Winda suara alunan musik yang berasal dari ruangan tamu rumah ini.

Di dalam isi kepalanya ia terus memikirkan kemana ia harus pergi setelah lulus. Winda tidak mau jika terus-menerus harus menjadi beban dan menumpang hidup dengan keluarga ini. Mengingat bagaimana selama lima tahun ia selalu mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Seno, pemuda itu selalu saja bersikap seenaknya, contohnya seperti tadi.

Sebenarnya bukan hanya Seno yang berlaku sedemikian, tapi Julia juga sering kali berbuat tidak menyenangkan kepada Winda. Hanya saja wanita itu tidak menunjukkannya secara terang-terangan.

Winda menghela napasnya dengan sangat panjang, lalu matanya kembali menatap gaun yang sudah ia siapkan beberapa minggu lalu. Gaun yang sebenarnya akan ia gunakan untuk menghadiri acara pesta ulang tahun Seno.

"Gak ada gunanya!" Winda berucap kemudian melepas kaca matanya.

Lalu gadis itu meletakkan punggung pergelangan tangannya untuk menutupi kedua matanya yang sudah tertutup. Tidak terasa air matanya jatuh begitu saja.

Selalu seperti ini, Winda selalu menangis walau ia tidak pernah memperlihatkan kesedihannya pada siapapun. Ditambah rasanya malam ini dadanya terasa begitu sesak saat Seno kembali berbuat jahat padanya. Ya, sepertinya kehidupan yang baik belum berpihak pada gadis mungil itu.

Winda mengangkat kepalanya saat ia mendengar pintu kamarnya terbuka. Matanya melihat Seno sudah berdiri di depan pintu. Inilah kebiasaan yang sering Winda lakukan, lupa mengunci pintu kamarnya. Tapi, untuk apa Seno datang lagi ke ke kamarnya?

"Lo udah tidur?" Tanya Seno.

Winda bangkit untuk duduk, dan mengambil kaca matanya yang tadi ia letakkan di ranjang, lalu kembali memakainya.

Pertanyaan Seno sangat aneh, bukan? Bagaimana Winda bisa tidur jika suara alunan musik masih terdengar jelas di ruangan tamu.

"Belom." Jawab Winda singkat.

Seno berjalan ke arah kursi yang terletak di dekat jendela, lalu ia mendudukkan dirinya disana.

"Ehm, gini." Seno menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dengan menggunakan jari telunjuknya, seolah-olah ia sedikit ragu untuk mengatakan sesuatu pada Winda.

"Lo mau ngomong apa, sih?" Tanya Winda dengan nada dingin.

Seno mengerang rendah, "Lo udah tau, kan? kalau ayah bakal ngirim kita kuliah ke luar negeri sama-sama?"

Winda berpikir sejenak. Memang iya Ramdan ingin mereka sama-sama kuliah di luar negeri. Tapi sampai detik ini Winda belum memberikan keputusan final—walaupun dia sudah di terima di Universitas Ivy League bersama Seno.

"Hm." Balas Winda singkat.

"Jangan kuliah bareng gue," Seno berucap dengan nada rendah andalannya. Seno sangat ingin kuliah di luar negeri, tapi ia tidak suka jika harus pergi bersama dengan Winda.

Winda menghela napasnya, matanya menatap lantai dengan tangannya yang mencengkram kuat sprei tempat tidurnya. Ia sudah sangat yakin jika Seno pasti akan melarangnya untuk ikut dengannya. Dan sepertinya malam ini Winda akan memberikan keputusan final.

"Gue emang gak rniat untuk kuliah di sana."

"Yesss!!!!!!" Senk berucap senang sambil mengacungkan kedua jempolnya untuk Winda.

Tidak bisa di pungkiri bahwa Seno benar-benar sangat bahagia saat mendengar Winda tidak akan ikut dengannya.

Sedangkan Winda? Wajah gadis itu masih menunjukkan ekspresi datar yang sulit di jelaskan.

Kemudian Seno mendekat ke arah Winda dan mengacak-acak rambut gadis itu sambil berucap, "Makasih, Win," dengan wajah yang sudah sangat berbinar.

Setelah itu. Dengan santai Seno melangkahkan kakinya untuk merapikan pakaiannya di depan cermin besar yang terdapat di kamar tersebut. Winda yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya. Kenapa Seno sangat membencinya?

Setelah memastikan pakaiannya sudah rapi, Seno berjalan ke arah pintu, tapi sebelum itu Seno berkata, "Jangan ngadu sama ayah. Awas Lo kalau berani ngadu."

Setelah itu Seno kembali melanjutkan langkahnya, ia melambaikan tangannya pada Winda sambil tersenyum penuh kemenangan—dan menutup pintu kamar tersebut.

****

"Nak, apa maksud kamu? Kamu mau tinggal di Bandung sama bibik yang mana?"

Pagi ini Ramdan sangat terkejut begitu mendengar penuturan Winda yang ingin tinggal di Bandung bersama dengan kerabat jauh almarhum ayahnya.

Ramdan sangat menyayangi Winda, pria tua itu pun lantas dibuat bingung dengan sikap gadis itu. Karena menurutnya Winda tidak pernah bersikap santai saat berada di rumah ini—sikap Winda selalu terlihat kaku.

Dan sekarang? Winda bahkan menolak untuk dikuliahkan di luar negeri.

"Winda cuma mau hidup di Bandung sama bibik, Om," Ucap Winda sambil menundukkan kepalanya.

Seno dan Julia yang mendengar hal itu pun tampak tidak terlalu peduli. Senk hanya sibuk dengan ponselnya dan Julia yang sibuk dengan majalah yang ada di tangannya. Mungkin inilah alasan Winda selalu terlihat kaku saat berada di dalam rumah ini. Yang peduli padanya disini hanya Ramdan. Sementara yang lain terus menjaga jarak dengannya.

"Win, kamu tahu 'kan? kalau Om lagi mengidap penyakit kanker stadium dua?"

Mendengar pertanyaan Ramdan, Julia maupun Seno langsung fokus menatap pria tua itu. Mereka meletakkan barang yang sedari tadi mereka pegang ke atas meja. Tidak terkecuali Winda.

"Ayah," Ucap Seno pelan.

"Yah, pasti sembuh, kok," Julia langsung menggenggam tangan suaminya.

Ramdan menggelengkan kepalanya, ia tidak setuju dengan ucapan istrinya, "Saya gak akan bisa sembuh dan jujur, saya sangat ingin memiliki anak perempuan seperti Winda."

Julia memutar bola matanya dengan sangat malas, ia sudah muak mendengar ucapan suaminya yang selalu menyebut nama Winda, Winda dan Winda.

Kemudian pandangan Julia teralihkan untuk melihat gadis mungil yang sedang duduk di hadapannya dengan wajah menunduk, terlihat air mata gadis itu sudah membasahi pipinya yang bulat.

"Jadi apa mau kamu, Winda? Kamu gak mau pergi sama Seno? Coba bilang dimana kamu mau kuliah, Jepang? China? Inggris? Atau tetap di Indonesia? Universitas apa yang kamu mau, ha?"

Sepertinya saat ini Julia tidak bisa menahan amarahnya, sebenarnya Winda tidak salah apapun. Tapi entah kenapa ia sangat tidak suka dengan kehadiran gadis itu.

"Julia!" Suara rendah Ramdan terdengar—mencoba mengingatkan Julia agar tidak terlalu keras pada Winda.

Mata Ramdan kembali menatap Winda dengan tatapan penuh kasih sayang seperti seorang ayah, "Jawab aja, Winda kamu mau kuliah dimana, nak?"

Winda mengusap air matanya, lalu tatapannya menatap satu-satu mereka yang ada disana.

"Aku gak mau kuliah, aku cuma mau tinggal di Bandung sama bibik Roro."

Seno tersenyum sinis mendengar penuturan Winda. Menurutnya saat ini, Winda bisa pergi dari keluarganya adalah keinginan yang sangat ingin ia capai sedari dulu. Dan sepertinya ini akan menjadi kenyataan.

"Kamu yakin? Kamu gak kasihan sama saya, Win? Giimana kalau saya sebentar lagi meninggal? Saya mau anak perempuan saya selalu jagain disaat saya lagi sakit seperti ini." Ucap Ramdan.

Seno mulai malas dengan drama yang dibuat oleh Winda, kemudian ia membuka suara.

"Ayah, nanti aku kan bakal punya istri. Ada istri aku yang bakal jagain ayah. Udah deh ayah tenang aja gak perlu khawatir. Ayah kan juga mau jodohin aku sama Mirna, jadi nanti otomatis Mirna yang bakal jagain ayah. Aku janji pas pulang dari Amerika langsung nikah sama Mirna." Ucap Seno kesal sambil melirik Winda.

Entah kenapa perasaan Winda sangat sakit saat ia mendengar ucapan Seno. Winda tidak menyangka bahwa Seno memang benar-benar sangat membencinya.

Bahkan di saat ia ingin pergi sekalipun rasa iba sedikit saja tidak ada yang mereka tunjukkan untuknya. Hanya Ramdan yang peduli padanya.

"Winda," Panggil Ramdan, seolah ia memang benar-benar tidak ingin gadis itu pergi.

"Maaf, Om aku bakal tetap pergi ke Bandung," Inilah keputusan final yang sudah dibuat oleh Winda. Ia ingin hidup tenang di Bandung—menurutnya menanam padi dan sayuran jauh ebih baik dari pada belajar dengan perasaan tidak tenang.

Mendengar ucapan Winda, Ramdan lantas bangkit dari tempat duduknya—kemudian ia berdiri sebentar, "Saya akan menyuruh pak Yanto untuk mengantar kamu ke Bandung."

Terlihat dari wajah pria tua itu, bahwa ia sangatlah kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Winda.

.....

TBC