Jam menunjukkan pukul lima sore saat kelas terakhir Seira selesai. Gadis itu memasukkan bukunya ke tas.
"Sampai jumpa lagi, Sei," ucap teman satu kelasnya.
"Ya." Dia membalas.
Bangun dari duduknya, Seira mengambil ponsel dari dalam tasnya memeriksa notifikasi masuk. Ponselnya dalam mode silent makanya tidak terdengar panggilan masuk yang tertera tiga panggilan tak terjawab.
"Hai. Kelasku baru selesai, maaf gak jawab teleponnya," kata Seira begitu mengontak balik nomor yang menghubungi.
"Oh, tak apa. Kutunggu di depan halte," katanya memberitahu.
"Oke. Aku kesana sekarang," jawan Seira tersenyum cerah.
Dia mematikan sambungan dan bergegas menemui Arsyid yang telah menunggu. Sore ini dia ada kencan dengan Arsyid. Sebenarnya biasa saja, tapi perasaan Seira sedang baik makanya terlihat begitu bahagia.
Dalam sebuah hubungan sahabat itu kadang tidak ada rahasia yang tersimpan. Akan tetapi, tidak semua sahabat bisa mengetahui apa yang berusaha mereka sembunyikan. Tidak semua sahabat menyadari seberapa pelik masalah yang tengah dihadapi. Tapi selama kebersamaan itu bisa mengatasi, mungkin cukuplah itu meskipun hanya untuk sementara.
Terkadang rencana itu tak seindah jalanan penuh bunga. Selalu saja ada hambatan di tengah jalan.
Dari gedung fakultas Seira ke halte itu cukup memakan waktu sekitar lima belas menit. Seira sendiri bisa memaklumi mengapa Arsyid menunggu di sana. Dia sendiri sedang ada di lapangan parkir khusus sepeda motor. Langkahnya terhenti melihat kerumunan mahasiswa.
Bahagianya kita belum tentu bahagianya orang lain. Dia menyipitkan matanya demi mengetahui apa yang terjadi dan Seira melihat seseorang terluka yang membutuhkan bantuan segera. Dia berlari menghampiri orang yang sedang terluka itu. Tampak beberapa mahasiswa mengerubunginya.
"Dia kenapa?" tanya Seira.
"Jatuh dari motor pas mau pergi," jawan temannya.
Lukanya cukup besar di bagian lutut. Seorang gadis dengan mengenakan rok hijau itu tampak menahan sakit. Seira tahu kalau bukan dari fakultasnya. Dia mengedarkan pandangan, menghitung jarak tempat parkir motor ke UKS atau gedung kesehatan lalu kembali memeriksa luka gadis itu.
"Ini cukup parah lukanya," katanya bergumam dengan analisanya.
Memperhatikannya untuk kesekian, Seira sigap mengeluarkan kain dari tasnya untuk menghentikan pendarahan.
"Bisa bantu ke gedung kesehatan?" tanyanya pada yang melihat.
Ada seorang pria yang bersedia untuk membantu dengan membopong gadis itu yang menahan sakit sedangkan yang lain terdiam di sana. Seira bergegas mengikuti untuk mengobati. Dia tahu kondisi pastinya maka dari itu segera memberinya bantuan.
Begitu sampai di gedung kesehatan tapi tidak ada siapa pun di sana. Seira sigap mengambil peralatan. Dia memakai sarung tangan karet.
"Ada apa ini?" tanya seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata.
"Ah, Profesor Ilham," sapa Seira sekilas karena dia fokus pada pengobatan.
"Kenapa itu?" tanya Profesor Ilham mendekat, ikut melihat luka gadis itu.
"Dia jatuh dari motor, Pak. Sepertiya lututnya menghantam batu yang cukup runcing. Beruntung tulangnya tidak mengalami cedera parah, tapi sepertinya lukanya cukup besar jadi harus dijahit," jelas Seira. Dia berhenti sejenak untuk menghadap pria itu.
"Begitu. Syukurlah ada kamu di sana, Seira, jadi dia bisa cepat ditangani. Biar saya yang menjahitnya, kamu masih mahasiswa jadi bisa terjadi masalah bila kamu yang menjahit," tuturnya. Seira mengangguk lalu menggeser tubuhnya untuk berganti posisi.
Seira memperhatikan dengan serius prosesnya. Dia calon dokter yang belum leluasa untuk melakukan jahit menjahit dengan langsung. Selama ini dia hanya melakukannya pada benda mati untuk praktik.
Mereka akhirnya selesai mengobati gadis itu. Seira mengembuskan napas lega, tersenyum pada Professor Ilham.
"Terima kasih, Pak," ucapnya.
"Ya. kamu bisa belajar untuk itu, bukan? Kamu cukup bagus hari ini," ucap Prof. Ilham sambil mengusap pundak Seira dan mengajaknya untuk beranjak dari sana setelah mengobati gadis itu.
Menjelaskan sedikit hal yang terjadi pada korban seperti itu. Mereka bersyukur karena kejadiannya tidak jauh dari gedung kesehatan jadi bisa segera ditangani.
Terlalu asyik mendengar penjelasan Prof, Ilham membuat Seira lupa kalau Arsyid sedang menunggunya. Bila sudah menyangkut kesehatan dan medis, Seira selalu tidak bisa mengalihkan fokusnya sehingga dia melupakan banyak hal, termasuk janji. Itu
"Ya sudah, perkembanganmu semakin bagus. Pertahankan posisimu agar di masa depan nanti bisa menjadi dokter yang baik," ucap Profesor Ilham.
Seira mengangguk. "Terima kasih, Pak," balasnya senang.
"Ya sudah, sekarang kamu pulanglah. Bukankah kelas kedokteran sudah selesai sejak tadi?"
Seolah diingatkan, mata Seira membulat kala ingat dengan Arsyid. Buru-buru dia pamit pada pria paruh baya itu tanpa mengurangi rasa hormatnya pada sang guru.
Hari sudah mulai gelap ketika Seira keluar dari gedung kesehatan kampus. Dia merogoh ponselnya, ada lebih dari lima panggilan tak terjawab dari nama yang sama. Oh, God! Apa yang harus dia lakukan? Secepat mungkin dia berlari menuju halte sambil berusaha menghubungi nomor Arsyid. Sayangnya tidak diangkat.
"Ayolah angkat," ucap Seira panik. Dia masih berusaha sampai secepat mungkin sebelum Arsyid pergi. Dia tidak membaca pesan yang terdapat di notifikasi, sibuk menelepon balik nomor pria itu.
Berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Seira fokus pada layar ponsel tapi lagi-lagi mengabaikan pesannya dan melihat di layar benda itu. Sudah satu jam lebih sejak Seira keluar dari kelasnya dan hendak menemui pria itu, tapi karena ada insiden jadi tidak sempat memberitahunya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanyanya lirih lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk sampai di halte.
Namun sayangnya, begitu dia sampai justru tak mendapati sosok Arsyid di sana. tempat itu sepi, tidak ada siapa pun yang tinggal, bahkan kendaraan pun hanya ada dua mobil yang terparkir. Itu bukan mobil Arsyid, Seira hafal sekali.
Napasnya ngos-ngosan. Kecemasan mulai tampak di wajah cantik Seira yang berantakan. Pandangannya mengedar untuk memindai keberadaan pria itu. Namun nihil, tidak ada satupun ciri khas yang mengarah pada sosok Arsyid. Hanya ada gelap yang mulai menyapa, remangnya cahaya dari lampu jalanan dan kendaraan yang lewat.
Dia mengatur napasnya agar tenang. Matanya terpejam, menenangkan dirinya untuk tidak berpikir buruk. Tapi, "Oh, Tuhan, bagaimana ini?" gumamnya bertanya entah pada siapa.
Kembali mengedarkan pandangannya, Seira berharap Arsyid masih di sana, bersembunyi untuk menjahilinya. Akan tetapi, panggilan yang dia lakukan lagi tak tersambung, operator mengatakan kalau sedang di luar jangkauan.
Perasaan bersalah menghampirinya. Dia duduk di halte. "Apa yang harus kulakukan? Aku mengulanginya lagi," katanya lirih dengan kepala bersandar pada tiang halte.
Menarik napasnya dalam, Seira mencoba menghubungi nomor Arsyid sekali lagi tapi jawabannya tetap saja sama dari operator. Seketika dia cemas, apakah terjadi sesuatu? Pikirnya. Dia mulai ketakutan jika memang itu benar adanya. Dia celingukan mencari kendaraan umum yang lewat sayangnya tidak ada.
Kebingungan seorang diri, Seira mulai berjalan meninggalkan halte. Malam kian menyapa bumi, tempat itu sepi tidak ada siapapun lagi dan dia tidak seharusnya duduk sendiri di sana jadi memutuskan untuk mencari tempat aman dan menunggu Arsyid. Siapa tau pria itu hanya pergi sebentar.
Rencana manusia tidak selalu sama dengan rencana Tuhan, bukan? Apakah ada suatu pertanda dengan adanya insiden tadi sehingga dia melewatkan pertemuannya dengan Arsyid yang mengajaknya untuk berkencan. Namun meskipun begitu, setidaknya mungkin dia seharusnya memberi kabar, sayangnya Seira punya kebiasaan itu sejak dulu, sebelum dia menjadi mahasiswa kedokteran.
[Arsyid, sorry, tadi ada sedikit kecelakaan jadi aku harus bantu ngobatin. Aku tunggu di café depan kampus. Sorry banget, ya, Ar.]
Tulisnya dengan menyematkan emot. Dia menunggu di café dengan perasaan bersalah yang kian besar sekaligus cemas karena Arsyid tak kunjung mengangkat panggilannya. Berulang kali juga Seira mengecek ponselnya tapi tidak ada balasan apapun dari Arsyid.
Setelah menunggu beberapa waktu lamanya dengan pandangan yang mengawasi sana-sini, Seira harus menelan kecewanya karena berulang kali yang datang ke café dekat kampus itu bukanlah Arsyid.
"Sei," panggilan dari seseorang di belakangnya membuat Seira menoleh cepat tetapi dia harus kecewa begitu mendapati sosok yang datang bukanlah harapannya.