Arsyid melirik jam di tangannya. Senyumnya hilang perlahan berganti dengan kecemasan ketika Seira tak kunjung datang. Dia mengambil ponselnya untuk menghubungi gadis itu tetapi tidak diangkat, bahkan untuk yang ketiga kalinya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanyanya khawatir. "Apakah terjadi sesuatu?" pikirnya dan terus mencoba menghubungi ponsel Seira tetapi tetap tidak diangkat. Dia bahkan mengetikan beberapa pesan.
[Sei, baik aja? Aku telepon gak diangkat.]
Namun tak kunjung ada balasan dari gadis itu, bahkan dibawa pun tidak dan malah semakin membuat Arsyid khawatir.
[Aku jemput ke situ, ya. Tunggu di depan parkiran fakultas saja.]
Katanya dalam pesan berikutnya.
Dia bergegas untuk menghampiri Seira. Namun, entah takdir apa yang tergaris untuk mereka. Sebuah panggilan masuk ke ponsel Arsyid menghentikan jalannya yang baru setengah menuju tempat Seira berada.
"Kak Ardi?" gumamnya begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel. "Ya, Kak. Ada apa?" tanyanya begitu menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.
Entah apa yang dikatakan kakaknya tetapi wajah Arsyid mendadak pucat pasi. Dia mencoba bertahan dalam kukuhnya pijakan tetapi apa yang didengarnya seolah bagai petir di siang bolong.
"Aku akan kesana!" putusnya kemudian berbalik tanpa menutup sambungan.
Begitu sampai di dekat mobilnya, Arsyid teringat akan janjinya dengan Seira. Langkahnya terhenti, hatinya dihampiri bimbang. Dia menatap jalanan, berharap gadis itu segera datang.
"Bagimana ini. Apa yang harus kulakukan?" tanyanya pada diri sendiri. Tangannya mengusap kepala. Dia kebingungan bahkan ketika satu sisi hatinya memberi saran untuk mengambil langkah pergi, satu sisi hatinya meminta untuk menunggu karena hari ini Arsyid berencana untuk memberitahukan Seira.
Namun, panggilan masuk dari nomor yang sama membuatnya ingin segera berlari menjauh dari tempat itu. Tapi, Arsyid memutuskan untuk menunggu, "sampai sepuluh menit," katanya menghitung dengan perasaan gelisah.
Namun, ketika detik berganti menjadi menit lagi. Pandangan Arsyid bahkan bergantian ke jalanan dan ponselnya tetapi tak kunjung ada juga penampakan Seira. Bahkan ketika menit ke sepuluh terlewat panggilan masuk justru bukan dari yang ditunggunya.
"Ya?" Arsyid menjawab panggilan itu.
"Semua barangmu sudah di bandara, Arsyid. Kamu tinggal cek in saja bersama Pak Aliman, nanti Kakak jemput bila sudah sampai. Waktumu tidak banyak, Ar. Jadi bergegaslah atau kamu ketinggalan pesawat."
Penjelasan dari Ardy, kakak Arsyid itu tidak terdengar dengan jelas. Pandangannya masih terfokus pada arah di mana Seira akan muncul. Hatinya berharap gadis itu datang supaya bisa sempat untuk pamitan. Akan tetapi, bila waktu tak mengizinkan untuk bertemu saat ini.
"Kamu harus datang, Arsyid. Ini mungkin kesempatan terakhirmu. Jadi, tolong, bergegaslah. Waktumu dua lima menit lagi."
Peringatan Ardy bahkan menegaskan. Sebuah kata terakhir kali menyentak Arsyid yang masih enggan untuk beranjak sebelum melihat Seira. Namun, waktu yang terus berjalan tidak bisa dihentikan jadi mau tak mau dia harus segera mengambil keputusan dan keputusannya adalah.
"Aku akan pergi." Putusnya lalu berbalik setelah menutup sambungan. Kepalanya kembali menoleh kala kakinya berhenti melangkah, dia masih berharap Seira datang tetapi sayangnya tidak ada.
Dia bergegas masuk ke mobilnya, terburu menyalakan mesin lalu meluncur membelah jalanan, meninggalkan kampusnya untuk memburu waktu terakhir kalinya bertemu. Entah Seira atau seseorang yang penting dalam hidupnya meskipun kerap kali Arsyid seolah tidak peduli dengan itu tapi tetap saja, dia adalah bagian penting dalam keluarganya.
"Al, gue …."
Arsyid menghubungi Alvin untuk mengabarinya.
Senja bahkan seolah berpamitan pada Arsyid tetapi seseorang yang ditunggunya justru tak menampakkan batang hidungnya. Dia berpesan pada Alvin sambil menyetir, kian menjauhi tempat itu.
***
Malam yang menyapa bumi tak lagi peduli akan kehidupan yang masih dijalani manusia. Alam seolah ikut berkompromi dengan gelapnya malam, mendung bergelantung manja di langit. Angin bahkan berembus sedikit kencang seolah mengabarkan pada penduduk bumi kalau hujan akan turun beberapa menit lagi, setidaknya.
Seira menarik napasnya dalam-dalam, duduk seorang diri di café tak jauh dari kampusnya. Menunggu, berharap Arsyid membalas pesannya atau lebih baik menghubunginya. Namun, bahkan ketika langit tak lagi bisa bertahan dengan air di dalamnya memilih untuk menurunkannya dalam ribuan titik-titik air hujan, membasahi bumi yang terselimut gelap.
Perasaan kalut Seira bertambah gelisah melihat butiran air mengenai kaca dinding tempat Seira berada. Oh, Tuhan. Apa yang terjadi?
"Sei!" seruan tertahan dari belakangnya membuat gadis itu menoleh. Senyumnya yang sempat tercetak harus lenyap begitu melihat siapa yang datang.
Langkahnya lebar mendekati Seira yang terdiam di tempatnya. Raut kecewa muncul di wajah cantiknya. laksana awan mendung di langit malam.
"Alvin …." Panggilnya serak.
Pria itu bukanlah yang ditunggunya, tapi Alvin yang datang menghampirinya. Dia duduk di samping Seira yang seketika membenamkan wajahnya di dada bidang Alvin.
Apa yang terjadi? Entahlah. Tapi Alvin datang atas permintaan Arsyid.
"Tak apa, tenanglah." Alvin berucap menenangkan Seira yang tak lagi bisa bertahan atas gelisahnya yang mengungkung.
Ini berlebihan, bukan? Seira tahu Arsyid hanya sebatas sahabat, tetapi kenapa rasanya begitu sesak ketika tak bisa menepati janji yang hanya tinggal menghitung langkah. Bahagia itu memang tak selalu tercapai meskipun cukup sederhana.
Tangan Alvin mengusap lembut kepala dan punggung Seira, mencoba memberikan ketenangan kepadanya. Dia pasti paham apa yang dirasakan Seira. Pikiran Alvin melayang pada saat Arsyid menghubunginya.
Matanya terpejam, mencoba untuk bertahan ketika tangis kecil Seira lolos menyapa telinganya.
Suasana café itu tidak terlalu ramai jadi tidak banyak yang melihat ke arah mereka. Alvin tahu kalau Seira sangat lemah bila menyangkut Arsyid ataupun dirinya. Dia tahu gadis itu masih merasa bersalah atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Bisakah dia bertahan lagi bila salah satu dari mereka harus pergi?
Beberapa saat menangis, Seira mulai merasa tenang. Dia menegakkan tubuhnya tapi membiarkan rambutnya menutupi wajah. Alvin tak berkata apa-apa, diam dengan tatapan yang masih memperhatikan Seira.
Tangannya mengusap wajah. Alvin memberikan tisu pada Seira untuk membersihkan wajahnya. Sepertinya Alvin sudah tahu kebiasaan Seira, dia bahkan memberikan kacamata pada gadis itu yang segera memakainya untuk menutupi matanya yang memerah.
"Udah lebih baik?" tanya Alvin sambil menyodorkan gelas berisi air putih pada gadis itu. "Minumlah."
Seira menuruti Alvin. Dia merasa lebih baik sekarang meskipun hatinya masih terasa begitu sakit.
"Mau makan dulu atau cerita?" Alvin bertanya dengan menghadapkan dirinya pada Seira.
Menarik napasnya dalam. Seira tampak menganggukkan kepalanya menanggapi Alvin yang terkekeh kecil melihat tingkahnya.
"Baiklah aku pesankan. Ini, lap wajahmu dengan tisu basah, jejak ingusnya jelek," katanya mengomentari. "Aw. Sakit!" Dia mengeluh saat jari Seira mencubit pinggangnya.
Alvin tertawa. Tapi Seira tampak memberengut. "Menyebalkan," katanya.
Entahlah bagaimana perasaan mereka yang sesungguhnya. Seira selalu lemah ketika bersama Alvin atau Arsyid. Tidak sungkan untuk mengeluarkan segala perasaannya sekalipun harus menangis. Alvin yang diam di tempatnya tersenyum kecil. Lega melihat senyum Seira yang tampak di wajahnya walaupun dia tahu pasti gadis itu merasa bersalah lagi.
"Alvin, gue tak sempat kasih tau Seira. Kak Ardy hubungi kalau kondisinya memburuk. Gue terbang mala mini juga sama Pak Aliman. Tolong, jaga, Seira," katanya di telepon.
Alvin terdiam ketika ingat itu. Apa yang terjadi pada Arsyid?