Sepanjang sisa perjalanan menuju rumah Seira, dalam mobil itu hanya terdengar music. Seira tahu kata paling dilarang adalah Tuan Muda bagi Alvin atau akibatnya seperti inilah, di diamkan sampai pria itu sendiri merasa lebih baik.
Alvin tidak pernah terbiasa dengan sebutan Tuan Muda sebab sejak kecil dia mulai bisa hidup mandiri. Rumah mansion dengan bayak pelayanpun dilarangnya untuk memanggil Tuan Muda. Dia lebih sering dipanggil nama saja ketimpang tuan. Bila ada yang memanggilnya begitu, jangan salahkan Alvin karena bersikap dingin.
Membiarkan Alvin dengan suasana hatinya yang masih tdak baik akibat Seira sendiri, gadis itu memilik untuk memainkan ponselnya, mengintip kembali chat yang dikirimkan pada Arsyid, belum juga di baca. Ke manakah pria itu sebenarnya? Seira sungguh bertanya-tanya dalam hatinya.
Seira membuang napas dan pandangannya keluar jendela mobil yang sedikit terbuka. Dia sungguh ingin tahu apakah Arsyid baik saja? terdiam. Berpikir beberapa saat, Seira melitik Alvin yang masih fokus menyetir, sepertinya pria itu kini mulai membaik. Jadi, Seira membenarkan duduknya, bersiap untuk bertanya pada pria itu.
"Al," panggilnya sesaat.
"Hm?" hanya itu tanggapan Alvin tanpa melirik Seira.
"Arsiyd, ke mana?" tanya Seira hat-hati.
Mendengar pertanyaan Seira, Alvin nyaris saja menginjak pedal dan mengerem secara mendadak tapi untunglah dia bisa mengendalikannya dengan baik. Sungguh, pertanyaan Seira itu mengejutkannya.
"Kenapa tanya Arsyid?" tanya Alvin.
"Ya, siapa tau kamu tahu di mana dia. Kalian kan deket," kata Seira.
Alvin meliriknya sekilas. "Deket juga enggak selalu tahu masing-masing, 'kan? Lagi pula, yang paling deket 'kan kamu," balik Alvin.
Seira terdiam. Alvin menatapnya, memperhatikan beberapa saat wajah murung itu. Haruskan dia memberitahu Seira saja ada apa dan kemana Arsyid pergi?
"Sebenarnya hari ini Arsyid ngajak ketemu," aku Seira sambil menundukan wajahnya menatap pangkuannya. Alvin diam menunggu cerita selanjutnya. "Dia udah nunggu di depan kampus, tapi pas hendak pulang tadi, ada kejadian di parkiran makanya aku balik lagi buat kasih pertolongan pertama. Untung masih ada professor jadi ditangani beliau. Tapi kamu tau sendiri, 'kan, aku kalo udah nyangkut sama medis suka lupa sama yang lainnya. Begitu penanganan selesai, aku baru ingat sama Arsyid yang lagi nunggu. Tapi begitu sampai, dia udah gak ada. gak ngasih tau juga kemana perginya," cerita Seira.
Entah. Ada yang aneh dengan perasaan Alvin melihat Seira yang seperti itu. Cemburu? Bukan. Alvin tahu betul hubungan Seira dan Arsyid sama seperti hubungannya dengan Seira.
"Aku telepon dia, kirimi pesan juga tapi enggak satu pesanku dibaca, telepon juga gak diangkat karena hapenya mati," lanjut Seira kali ini dia mengangkat wajahnya dan melirik Alvin. "Enggak biasanya, 'kan, dia begini?" tanyanya.
Diam-diam Alvin menelan ludahnya. Dia gugup, tentu saja. secara dia tahu kemana Arsyid pergi dan alasannya bertemu Seira lalu membatalkannya. Dia tahu tapi tidak bisa memberitahu Seira.
Desahan berat terdengar dari Seira membuat Alvin salah tingkah. Sungguh, dalam hati dia mengumpati kepergian Arsyid yang mendadak sebelum memberitahukan masalahnya kepada Seira. Oh, ayolah, Alvin tidak ingin terlibat dengan masalah tapi kini, sepertinya hanya tinggal menunggu waktu saja Seira mengetahuinya bahwa dia menyimpan rahasia.
"Al, kenapa diem?" tanya Seira melihat Alvin yang terfokus pada jalanan.
Pria itu melirik sekilas lalu menggeleng. "Aku lagi nyetir, Sei," katanya.
"Benar juga," timpal Seira. "Tapi kamu denger aku, kan?"
Anggukan kepala dari Alvin menjawabnya. Tentu dia dengar hanya saja tidak menanggapi sebab dia kebingungan sendiri.
"Dah nyampe, Sei," ujar Alvin tak lama kemudian membuat perhatian Seira yang masih ke layar ponsel teralihkan.
"Oh ya."
Alvin membuka pintu lebih dulu dan turun kemudian membantu Seira membuka pintu. Dia memang seperhatian itu terhadap Seira bahkan dengan manisnya mengulurkan tangan untuk menjadi pegangan gadis itu. Ah, Alvin memang selalu sempurna entah dalam berpikir atau bersikap selalu bisa hati-hati.
"Kamu gak pegel?" tanyanya perhatian ketika Seira berjalan tertatih.
"Enggak, cuma kesemutan aja," jawabnya.
"Mau kugendong?" tawar Alvin menghentikan langkahnya.
"Enggak usah." Seira tertawa sambil meraih lengan pria itu. "Entar dilihat orang, malu. Kenapa pula kamu parkir mobil di luar pagar, gak masukin?" cercanya ketika sadar bahwa mobil Alvin tidak dibawa masuk ke halaman rumah Seira.
"Gak mau repotin orang rumah. Lagian gak bakal lama juga, anterin kamu, terus pulang," katanya.
Seira menganggukan kepalanya. "Gak masuk dulu?"
"Masuk. Ketemu Mami dulu, kayanya belum tidur ya?"
"Belum. Bentar lagi mungkin. Tau, 'kan, jam segini Mami di ruang tamu, nunggu anaknya pulang sambil ngerjain sisa pekerjaannya."
Alvin mengangguk, paham betul wanita cantik yang telah melahirkan sahabatnya itu.
"Makanya mau nyapa biar gak khawatir anaknya yang pulang larut malam seorang diri."
Lagi-lagi Seira tertawa. "Mami gak khawatir karena bisa nunggu di ruang tamu, dan tentunya aku punya dua malaikat yang jagain sepenuh hati."
"Malaikat pikirmu doang. Aku juga sibuk, gak selalu ada buatmu, Sei. Jadi lain kali jangan terlalu larut pulang," omel Alvin, mulai lagi kebiasaannya mengomeli Seira bak seorang kakak yang mengomeli adiknya.
"Iya, iya. Bukan inginku jugalah pulang larut. Dasar bawel."
Keduanya tertawa kecil menyadari kekonyolan sikap masing-masing. Jalan Seira lambat karena kakinya masih sedikit kesemutan. Dia memegang lengan Alvin juga erat sekali seolah enggan untuk ditinggalkan lagi. Meski tidak mengatakannya, Alvin paham dari setiap sentuhan yang dilakukan Seira.
"Bisa naik gak?" tanya Alvin sambil melirik kaki Seira dan bergantian dengan tangga menuju pintu utama.
"Bisa."
"Mau kugendong?"
"Enggak usah. Aku bisa sendi –"
Belum sempat Seira menyelesaikan perkataannya Alvin telah lebih dulu membopong tubuh mungilnya dan membawanya ke depan pintu yang seketika terbuka.
"Ya ampun. Kamu kenapa, Sei?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah ibunya Seira. Nada suaranya terdengar panik.
"Enggak apa, Tan. Dia hanya kesemutan aja," jawab Alvin sambil menurunkan Seira di sofa.
Wanita itu mengembuskan napasnya lega kemudian berlalu dari ruang tamu meninggalkan keduanya. Kaki Seira selonjor di sofa panjang dengan Alvin di sampingnya memperhatikan kaki jenjang itu.
"Aw! Alvin!" seru SEira ketika tangan jahil Alvin menyentuh kakinya yang kesemutan. Alamat dia sendiri mengaduh karena tangan Seira melayang memukul lengannya.
"Jadi cewek kok galak amat, sih, Sei. Sakit." Alvin mengeluh sambil mengusap lengannya yang menjadi sasaran Seira.
"Makanya, jangan pegang-pegang. Sakit tau."
"Ya, mana aku tau sakit," bela Alvin tak mau kalah. "Kamu calon dokter tapi kok malah sakit."
"Ye, kan, dokter juga manusia yang bisa sakit meski hanya hal kecil." Seira menimpali sambil berdecak.
Alvin membenarkan duduknya menghadap depan. Jam menunjukan pukul Sembilan malam. Tepat sebelum Alvin berkata untuk pamit, ibunya Seira kembali sambil membawa nampan.
"Minum dulu, Vin," katanya setelah menaruh nampan itu meja, sedikit jauh dari laptop miliknya yang berserakan dengan berbagai kertas di meja satunya.
"Terima kasih, Tan," ucap Alvin.
"Ya. Terima kasih udah anterin Seira pulang. Entah kenapa pula dia suka sekali pulang malam." Wanita itu mendesah sambil melirik Seira yang malah nyengir kuda di tempatnya.
"Tadi kebetulan aku pulang malam dari kampus dan ketemu dia di depan, makanya kami makan dulu. Lupa mau ngabarin," jelas Alvin sambil mengusap tengkuknya.
"Ya, tidak apa kalau sedang bersamamu, Tante tenang. Tapi kalau dia lagi enggak sama kamu atau Arsyid dan susah dihubungi, rasanya Tante mau cari polisi aja buat cariin dia soalnya susah banget kalau udah gak bisa dihubungi, bikin khawatirnya nambah."
Alvin hanya mampu tertawa. Selalu salut dengan perhatian Karina, ibunya Seira terhadap anak semata wayangnya itu. Seira sendiri hanya memberengut di tempatnya. Sadar kalau waktu terus berjalan Alvin akhirnya pamit karena besok dia harus datang pagi ke kampus. Setelah pamit, Alvin pergi dari rumah itu dan berjanji akan menjaga Seira lagi.
"Lihat aja, gue bakal cerca lo pas kembali, Ar!" janjinya begitu keluar dari rumah Seira dan berjalan menuju mobilnya berada.