Mereka duduk bersama di satu kursi. Kali ini Seira tidak memilih café atau restoran. Jika sedang lelah atau lapar Seira pasti suka-suka, apa yang terpikirkan olehnya, itulah sasarannya dan harus dapat, bila tidak, dia akan berusaha untuk mendapatkannya.
"Enak, 'kan?" tanya Seira melihat temannya makan dengan lahap.
"Yup. Mantep," sahut Ria berhenti sejenak menyuapkan soto ke mulutnya.
Seira tersenyum puas dengan respons temannya itu. Dia sudah lebih dulu menghabiskan makanannya maka dari itulah kini leluasa memperhatikan sekitar. Perhatiannya kemudian tertuju pada Alvin.
"Makanmu lambat amat, sih, Vin, kek cewek," komentarnya sambil melipat tangan di meja.
Meja di tempat itu duduk lesehan. Hanya ada meja berbahan kayu.
Alvin meliriknya, membalas tatapan Seira sambil mulutnya sibuk mengunyah. "Makanmu cepet sekali, Sei, kek cowok," katanya membalik komentar Seira. Gadis itu tergelak. Beruntung rumah makan itu sepi jadi dia tidak menjadi tontonan gratis pengunjung.
"Itu karena Alvin menghabiskan setengah waktu makannya memperhatikanmu, Sei," timpal Ria yang sibuk dengan makannnya.
Semua perhatian tertuju padanya membuat Ria berhentu menguyah. Sepertinya dia peka akan tatapan yang menghujaninya.
"Yeah, itu yang kuperhatikan," belanya setelah bergidik ngeri melihat tatapan mereka satu persatu.
"Seharusnya kamu enggak bilang gitu, Ria. Aku, 'kan jadi ketahuan," balas Alvin sambil terkekeh. Dia baik-baik saja, tentu karena bagaimanapun dia pernah dikomentari hal yang sama oleh Arsyid, bahkan meledeknya habis.
"Hufs. Syukurlah. Aku selamat, kan?" Ria bertanya menatap Alvin.
"Ya. Itu bukan masalah," katanya.
Ria mengembuskan napasnya lega lalu menatap Seira yang terbengong di tempatnya.
"Santai aja, kali, Sei. Arga juga sering merhariin gue kalo makan," kata Meri santai.
"Arga?"
Baik Seira, Ria dan Marina sama-sama memusatkan perhatiannya pada Meri yang sepertinya keceplosan. Gadis itu yang tengah makan, terpaksa menghentikan suapan sendoknya di udara.
"Arga siapa? Perasaan, gak ada nama itu di circle kita, Mer," ungkap Ria tanpa tahu kalau Meri tengah mencari cara untuk mengelak. Tapi tanggung.
"Siapa itu, Mer?" tanya Marina mulai penasaran.
"Kata, Mer atau kurecoki sampe bilang siapa Arga itu?" tuntut Seira mengikuti jejak kedua temannya menginterogasi Meri. Sepertinya dia salah ucap yang berujung pada jebakan dirinya.
Hanya Alvin yang diam, menjadi penonton satu-satunya di sana.
"Itu …."
"Pacar baru lo?" teebak Ria yang tidak sabar dengan klarifikasi Meri soal siapa Arga.
Meri melirik Ria. "Sial! Padahal gue gak niat ngasih tau, tapi lo emang sobat gue, Ri," katanya. Ria tertawa, rupanya tebakannya benar.
Mata Seira membulat, plus dengan mulutnya. Dia melirik Marina, tak percaya dengan pengakuannya.
"Seriusan Mer?" Marina meminta ketegasan. Meri tampak malu-malu mengangguk kecil.
"Ya."
"Wah! Sejak kapan?" tanya Seira heboh yang sempat membuat Alvin berjengit kaget mendengar teriakan Seira. Dia memindai sekitar, aman.
"Pelanin, Sei, malu," tegur Alvin berbisik. Pria itu duduk di sampingnya.
Tapi Meri masih tetap malu untuk mengakuinya. "Besok gue kenalin sama kalian, deh," katanya.
"Yah. Payah." Seira mengeluh kecewa tapi Meri tak peduli tetap tersenyum malu-malu kucing yang justru makin jadi sasaran godaan Ria.
Bunyi ponsel yang tergeletak di atas meja mencuri perhatian para penghuni, otomatis godaan pada Meri terhenti.
Benda pipih dengan case berwarna ungu itu kini menjadi korban tatapan intimidasi para gadis, minus Alvin karena dia sendiri sibuk memeriksa ponselnya. Namun, bagi para gadis, ponsel yang berkedit di atas meja itu lebih menarik dari sekadar bunyi ponsel Alvin.
"Maaf," ucap Marina sambil meraih benda itu dan menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan setelah melihat nama yang terteta di layarnya.
"Cieeeee. Jangan bikin ngirilah," keluh Ria.
"Kasihan. Makanya nyari cowok tuh jangan yang sok sibuk." Meri menimpali.
"Ish. Kalo dah cinta, taik pun tak terlihat," katanya sengit yang membuat Meri tertawa.
"Lo tau aja, Ri. Makanya, so, nikmati aja. Toh entar juga di call in you, kan, yes?" ujar Meri percaya diri sekali.
"Iyalah, ahli cinta," timpalnya menanggapi.
Lagi-lagi mereka tertawa. Tapi tawa kecil yang terdengar miris dari Seira. Tentu saja, dia yang kini menjomlo.
"Sei, aku keluar dulu bentar," bisik Alvin meminta izin. Seira mengangguk tanpa selera dia meraih gelas dan meminumnya sampai habis.
Apa yang dilakukan Seira itu bukan tak luput dari perhatian Meri atau Ria karena Marina masih sibuk dengan teleponnya.
"Jangan sedihlah, Sei," ujar Meri menenangkan. Mereka seketika merasa bersalah. Marina sudah bercerita tentang trauma yang diamali Seira.
"Ya. Sejujurnya, gue iri sama lo," ungkap Ria sambil merapikan sendok dan garpu di piring bekas makannya.
Seira menatapnya tak paham, juga Meri ingin tahu apa yang dimaksud Ria.
"Lo beruntung ada dua cowok keren di sisi lo yang selalu paham keadaan tanpa diminta," kata Ria. Seira terdiam. "Punya pacar itu ada suka dukanya, kan? Yeah. Gue gak bakal ngelak kalo emang sayang sama dia, hanya saja, terkadang sebel juga kerika dibutuhkan malah gak ada," lanjutnya. Kedua gadis itu menyimak. Ria tersenyum kecil. "Beda sama sahabat yang akan selalu ada saat dibutuhkan, bukan? Mereka selalu siap kapun kita butuh."
Entah kenapa mendengar pernyataan Ria membuat Seira merasa lebih baik. Memang, Alvin dan Arsyid selalu ada untuknya, tetapi bukan berarti selalu paham apa yang dinginkan. Bagi Seira, kehadiran salah satu dari mereka kala dibutuhkan sudah lebih dari cukup, dan teramat bersyukur bila saat dia butuh keduanya ada untuk menemani. Namun kenyataannya, tak selalu seindah bayangan.
"Benar. Dari pengalaman gue dalam jalin hubungan, banyak tipe cowok dengan cara mereka sendiri dalam bersikap. Ada yang sama, ada juga yang berbeda. Intinya adalah, siapa yang membuat kita nyaman, damai, dan membawa pada suatu kebaikan, itulah cowok idaman." Meri ikut menambahkan.
"Aku mungkin beruntung, tapi tak seberuntung itu juga. Orang lain mungkin berpikir enaknya dikelilingi cowok keren. Tapi kenyataannya, tak begitu juga. Kita tahu, tak semua cowok itu sama. Kuakui nyaman berada dekat Alvin, Arsyid, dan juga Armin. Mereka yang selama ini temani aku, bukan berarti paham apa yang aku butuhkan, atau mungkin, mereka lebih menjada privasiku." Seira menjelaskan.
Ria dan Meri mengangguk. Mereka tentu paham.
"Yeah. Intinya adalah, kita sama-sama punya harapan yang terbaik buat kita, semoga Tuhan kabulkan harapan kita ini."
"Aamiin."
Mereka mengaminkannya serempak.
"Apa yang kalian aamiin-kan?" tanya Marian yang baru kembali dari menerima teleponnya diikuti Alvin kemudian.
"Enggak apa-apa," elak Meri.
"Ye. Kalian aneh. Suasananya jadi melankolis gini," kata Marina yang malah membuat ketiga gadis itu tertawa. "Malah ketawa."
"Bukan apa-apa, Na. Cuma tadi lagi kebawa suasana aja bahas cowok idaman, ya, 'kan, Sei?" Ria meminta dukungan Seira.
"Ya. Bukan hal yang serius." Seira membenarkan.
"Cowok idaman? Aku masuk salah satu kriterianya gak?" tanya Alvin ikut mimbrung obrolan mereka.
Bukannya menjawab, Meri, Ria, dan Seira justru tertawa membuat Alvin dan Marina saling tatap heran. Tidak ada yang lucu.
"Tenang aja, Al. Lo bakal selalu jadi tipe idaman kaum hawa, ya, gak? Secara lo tuh dah perfect banget," sahut Meri.
Alvin tertawa kecil, tak percaya mendengar penuturan Meri. "Jangan terlalu menyanjung, entar malah tersandung," katanya.
Keempat gadis itu tertawa.
"Bisa aja lo, Al."
"Udah, kita pulang, yuk. Keburu petang. Aku harus anterin Tuan Putri ini sebelum sibuk lagi sama urusan," kata Alvin.
Seira berdecak tak percaya. Dia mengangkat tangannya. "Tolong bantu, Pangeran," katanya menimpali candaan Alvin. Kali ini Alvin yang berdecak tapi meraih tangannya juga bak pangeran yang meraih tangan putri, terlihat begitu romantis bahkan membuat Marina, Meri, dan Ria terpana.
Namun, benarkah hanya sekadar sahabat?