"Yakin gak mau dianterin?" tanya Alvin memastikan tiga gadis itu.
"Iya, enggak apa-apa. Boby mau jemput katanya. Kerjaannya udah kelar," jawab Marina.
"Udah? Ah, ya, dia udah magang. Besok weekend jadi libur," timpal Seira.
"Ya. Tadi ngasih tau kalo sekalian jemput."
"Kalo gitu, besok bisa weekend-an, 'kan, Na?" Meri memotong.
"Mungkin. Tapi gak tau juga."
"Ayolah, Na, kapan lagi kita bisa main pas weekend coba? Cukup Seira aja yang susahnya ampun tiap kali diajak keluar pas weekend," ujar Mari sambil mengeluh.
"Baiklah. Kuusahakan besok bisa out sama kalian." Seira mengalah.
"Nah lho, 'kan? Dia bilang kuusahakan, artinya masih kemungkinan batal," tuding Meri. Seira tertawa.
"Oke, oke. Aku ngalah," katanya lantas beralih pada Alvin. "senggang, 'kan? Males sendiri," bujuknya manja yang membuat ketiga temannya kembali melongo.
Belakangan ini Seira cukup lengket dengan Alvin. Pikir mereka pasti ada apa-apa.
"Baiklah. Demi Tuan Putri, apa yang enggak?" balas Alvin. Bagi Seira dan Alvin sendiri itu adalah candaan tapi bagi orang lain, ketiga gadis itu misalnya, itu adalah hal yang luar biasa.
"Terima kasih," ucapnya dengan senyum lebar menghiasi wajah bak kekasih yang tengah kasmaran.
"Jadi, deal, 'kan?" tuntut Meri.
"Yeah. Deal, Mer. Aku sama Alvin besok. Kita ketemuan dimana?" tanya Seira.
"Nanti kukirimi alamatnya. Kita kumpul di situ."
"Emangnya mau ke mana?"
"Rahasia." Meri tertawa ekspresinya terlihat penuh rencana membuat ketiga gadis itu saling lirik lalu mengedikan bahu.
Senja sudah hadir menyapa bumi, melunturkan segara rindu setiap makhluk yang mengharapkan hadirnya hanya untuk sekadar mengagumi betapa hangatnya senja. Romansa yang dirasakan pun membuat orang lain rindu akan setiap momen ketika mentari tiba di penghujung hari, bersiap menarik tirai malam yang menyimpan beribu misteri.
Tidak ada seorang pun yang berharap menghadirkan kenangan buruk kala senja tiba. Daun kuning keemasan yang berguguran tampak indah lalu berserakan di bawah pohon. Angin yang bertiup menjadi pelengkap suasana, bahkan melodi alam pun tidak ingin tertinggal menjadi orkes kesunyian alami yang sering kali dirindukan seseorang yang mengagumi senja.
Jika diibaratkan, Seira adalah senja yang senyumnya dirindukan mereka yang mengenal sisi baik sosoknya. Bagi Alvin sendiri, Seira adalah pelita yang bisa menuntun seseorang yang tersesat walaupun dia sendiri terjebak dalam dimensi gelap hidupnya. Meski begitu Seira tetap tersenyum, menyembunyikan segalanya di wajah riang.
Sebuah mobil menghampiri mereka tak lama kemudian memotong percakayapan mereka. Semua pandang terpusat pada siapa yang datang.
"Cepat sekali padahal baru ingin kutanyakan apakah perlu ditemani?" kata Seira begitu sang empunya turun dari mobilnya.
"Kan udah bilang kalo dia dekat sini," jawab Marina tanpa menoleh pada Seira. Pandangannya lurus ke sosok itu yang turun dari mobil. Dia tampak begitu gagah seperti yang selama ini dikenal Seira.
"Wuidih. Siapa yang datang, nih?" sapa Seira dengan godaan kala pria itu menghampirinya, lebih tepatnya menghampiri Marina.
Boby tersenyum melihat Seira. "Apa kabarnya, Sei?" tanyanya.
"Baik. Ya, seperti yang terlihat," balas Seira sambil membalas uluran bogem Boby sebagai salam pertemuan ala mereka.
"Syukurlah."
Seira tersenyum, senang melihat temannya itu. Pandangannya menelisik Boby dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu berkata, "kamu gak banyak berubah, By. Bahkan dari ujung rambut di kepalamu," komentarnya.
Boby tertawa. "Ayolah. Jangan bikin aku jadi pengen berubah dan buat dia gak suka," balasnya melirik Mirina yang tertawa kecil.
"Ah, ya. kamu beruntung bertemu dengannya yang tak banyak menuntut, menerima dirimu apa adanya dan selalu mendukung meski aku yakin ada kalanya kamu nyebelin pasti."
"Stt. Kau tetap saja sama, Sei. Kalo muji gak usah selipin aib, malu," timpal Boby tapi Seira tertawa karena dia tahu Boby juga bercanda.
Mereka tertawa bersama. Adalah yang biasa bagi tiga teman Seira melihat interaksi antara Boby yang Seira. Marina pun tidak keberatan sebab tahu sejarah kebersamaan mereka. Meski begitu, dia tetap seorang gadis yang memiliki perasaan emosional, bukan? Hanya saja, Mirina bisa menyikapinya dengan baik. Perhatiannya justru tertuju pada Alvin yang menatap Seira intens.
"Sei, kami duluan, ya," Meri menyela percakapan antara Seira dan Boby.
"Gak bareng mereka?" Seira melirik Marina dan Boby bergantian.
"Enggak. Kami naik taxi aja. Gue ada urusan," kata Meri.
"Oh. Ya udah, hati-hati di jalannya."
Tidak lama kemudian Meri dan Ria pamit meninggalkan empat insan itu di sana, masih sekitaran rumah makan tempat mereka menyantap soto tadi. Saat ini tempat itu mulai ramai. Hari perlahan merangkak menggapai malam.
Ponsel Alvin kembali berbunyi, dia sibuk sekali. Dan lagi-lagi mengangkatnya sedikit jauh dari Seira yang masih berinteraksi bersama Boby entah membahas apa. Marina hanya diam memperhatikan bergantian. Entah apa yang sedang dipikirakn dan dirasakannya.
"Sei, bisa pergi sekarang? Aku ada urusan sebentar lagi," kata Alvin setelah menerima telepon itu.
Seira menoleh. "Oh, oke."
Anggukan dari Alvin mengiyakannya. "Sampai jumpa lagi, By," pamitnya pada Boby lantas pergi lebih dulu untuk mengambil mobilnya. Entah kenapa, pandangan Marina lagi-lagi tertuju pada Alvin yang berlari kecil ke tempat parkir yang sedikit jauh.
"Sampai jumpa besok, Na. Jadi datang, kan?" tanyanya.
"Enggak pasti, sih. Tapi sampai jumpa besok. Kita ketemu lagi, Sei."
"Oke. Sampai jumpa. Hati-hati kalian di jalannya."
"Tentu."
Seira lantas berbalik, membawa langkahnya menuju mobil Alvin yang sudah tiba menunggu di sisi jalan. Seira berlari kecil lalu masuk ke mobil, melambaikan tangannya pada pasangan itu.
Pandangan gadis itu tertuju pada kaca spion yang masih menampilkan keduanya. Lamat Seira memperhatikan, Boby tampak memperlakukan Marina dengan baik dan itu membuat senyuman di wajah Seira terbit. Ada rasa lega menyusupi hatinya meski tak dipungkiri terdapat rasa bersalah tapi dia yakin bisa mengatasinya dengan baik.
"Kenapa?" Alvin membuyarkan lamunan Seira akan kenangannya.
Dia menoleh dan tersenyum. "Gak ada. Hanya teringat kenangan saja, betapa banyaknya orang baik di sekitarku," akunya sambil tersenyum.
Alvin menoleh dan mengangguk.
Beberapa saat dalam mobil itu hanya ada hening. Alvin fokus mengemudi sedangkan Seira kembali larut dalam pikirannya. Meski sempat teralihkan, pada akhirnya dia kembali memikirkan keadaan Arsyid. Jam menunjukan pukul empat lima puluh, kenapa waktu tak terasa berjalan? Cuaca di luar sana terang pantas saja tak menyadari bila waktu telah perlahan beranjak petang.
"Masih mikirin dia?" Alvin menebak apa yang dipikirkan Seira. Gadis itu menoleh tersenyum kecil. "Katanya nanti dihubungi, sekarang masih ada sedikit urusan," kata Alvin.
Perhatian Seira sepenuhnya pada pria itu, menatap lama seolah bertanya.
"Beberapa saat lalu dia hubungi aku. Sempat nanyain kamu tapi bilang nanti di telepon," jelasnya kemudian.
Embusan napas dari Seira menarik perhatian Alvin. Dia tak mengatakan apapun dan kembali fokus.
"Kemungkinan malam pasti," gumam Seira dengan pandangan tertuju ke bawah.
Kepala Alvin menoleh sekilas. "Kalo keberatan, bisa minta dia buat hubungi lagi besok," sarannya.
"Enggak. Biar saja nanti."
"Baiklah. Kabari kalo ada apa-apa."
"Tentu."
Senja itu mengantarkan keduanya menuju tempat tinggal masing-masing menutup hariannya dengan kenangan lain yang mungkin menjadi yang terlupakan. Seira masih menunggu penjelasan apa yang akan disampaikan Arsyid.