Seira bungkam. Senyum jahil yang sempat tersunging lebar di wajah Seira meredup perlahan ketika obsidiannya menangkap nama yang tertera di layar.
"Arsyid?" Dia bergumam nyaris tak bersuara. Sepertinya Seira cukup terkejut mengetahui kalau pria itu berhasil dihubungi. Padahal pagi ini saat dia menekan nomor Arsyid, ponselnya sedang tidak aktif. "Kenapa …."
"Aku akan jelaskan, Sei," kata Alvin menanggapi Seira. Dia mengambil alih ponselnya dari tangan Seira yang terlihat linglung. Sepertinya Seira merasa dibodohi. Alvin tahu, pasti tahu alasan Arsyid menghilang.
Pandangan Seira terarah pada Alvin yang mengambil langkah mundur. "Katakan, apa ini, Vin?" tanya Seira dengan suara yang parau. Tapi Alvin hanya diam. "Alvin!" desak Seira dengan nada suara yang naik.
Namun, entah kenapa, Alvin mendadak kebingungan. Dia bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Seira soal kepergian Arsyid kemarin dan meninggalkan gadis itu begitu saja di depan kampus.
Tiba-tiba Alvin panik ketika mendapati buliran bening di pelupuk mata Seira. Tanggul itu mulai terbentuk hanya menunggu beberapa saat saja untuk jebol. Alvin paling tidak bisa melihat Seira menangis.
"Oke, oke," katanya. Seira menatapnya. "Aku akan jelaskan, tapi jangan nangis dulu, Sei. Entar orang lain ngiranya aku yang nyakiti kamu," kata Alvin.
"Emang bener, 'kan? Kamu nyakitin aku dengan menyembunyikan sesuatu." Seira membalas.
"Ah. Baiklah. Kau dengar itu, Arsyid?" ujar Alvin sambil mengangkat ponselnya. Tatapan mereka bertemu, saling bicara, membela diri.
Tidak ada tanggapan dari Arsyid tapi Alvin tahu kalau Arsyid mendengarkannya dari sambungan telepon dan sudah pasti sedang terdiam di lorong rumah sakit.
"Cepat atau lambat Seira akan tahu, seperti yang kita duga, dia selalu cepat," kata Alvin tanpa mengalihkan sesenti pun pandangannya dari mata Seira seolah dia tidak ingin kehilangan gadis itu. "aku akan menjelaskannya di sini. Jadi, kau istirahatlah, aku yakin kau lelah, Syid. Kita bicara lagi nanti. Kabari kalo ada apa-apa," lanjutnya. Kali ini Alvin memutus kontak dengan Seira. "kututup teleponnya."
"Oke. Jagain dia," kata Arsyid sebelum Alvin menutup sambungan.
"Khawatirkan dirimu saja. jangan lupa istirahat, jangan khawatirkan Seira, aku akan menjaganya."
"Ya. Gue tahu."
"Dengar itu, jangan cuma bilang tahu, lakukan saja!" Seira memotong, menegaskan pada Arsyid untuk menurut saja. "Kamu juga harus jelasin ke aku nanti, jadi sekarang istirahatlah. Aku gak terima alasan. Awas saja kalo entar telepon terdengar suara lelah. Aku akan terbang ke situ!" tegas Seira.
Alvin tidak heran, tidak juga terkejut karena sudah biasa Seira mengancam begitu dan apa yang dikatakannya itu bukan hanya kata, dia akan melakukannya.
"Baiklah. Nanti kujelaskan. Sampai nanti."
"Baguslah. Sampai nanti."
Seira segera memutus sambungan setelahnya. Tatapannya kembali pada Alvin. Tanpa mengembalikan ponsel pada sang pemilik, Seira telah lebih dulu meraih tangan Alvin dan menariknya untuk pergi dari sana. pria itu hanya menurut, mengikuti langkah kaki entah ke mana Seira akan membawanya.
Mereka masih di kampus dan ada beberapa fakultas yang masih melangsungkan kelas jadi tidak begitu sepi.
Amila yang sejak tadi menonton dua insan itu dari kejauhan, mulai bergerak. Dia kembali ke belakang, pada keramaian mahasiswi berpura-pura tak melihat kejadian tadi. Padahal sesungguhnya dia amat penasaran ada apa antara Seira dan Alvin? Dia tidak bisa mendengarkan percakapan keduanya maka dari itu ada sedikit salah paham yang dari apa yang dilihatnya.
Dia berdeham untuk menormalkan suaranya, dan merapikan tampilannya agar terlihat natural bahwa dia sejak tadi berada di sana dan hendak mengajak Seira untuk makan. Bahkan ketika Seira mendekat dengan ekspresi wajah yang tak terbaca, Amila berharap bisa mendapat perhatian Seira lalu ikut.
"Hi, Sei, aku …."
"Sampai nanti Ami," balas Seira memotong Amila. Gadis itu berlalu dengan tangan yang masih menarik Alvin melewati kerumunan mahasiswi itu.
Amila terdiam. Tatapannya masih mengikuti kemana Seira pergi membawa Alvin.
"Tuh, 'kan? Gue juga bilang apa? Mereka sungguh ada hubungan," ujar mahasiswi yang berkerumun di sana.
"Awalnya gak percaya. Tapi saat liat sendiri, rasanya sulit dipercaya. Kalian liat gimana Seira pegang tangan Alvin? Wah. Mereka beneran punya hubungan lebih dari sekadar sahabat?" timpal yang lain.
"Gak heran, sih. Enggak ada yang namanya hubungan antara cewek ma cowok, pasti ada apa-apanya."
"Benar. Oh, astaga. Gue gak percaya, Alvin …."
Kedua tangan Amila terkepal mendengar celotehan para mahasiswi itu. Tatapannya tajam, lurus kemana Seira pergi bersama Alvin. Mulutnya terkatup rapat menahan amarah yang memuncak. Hatinya terbakar ketika orang-orang membicarakan mereka. Menyebalkan!
***
Sementara itu, Seira masih menarik tangan Alvin tak peduli berapa kerumunan mahasiswa yang dia lewati lalu berbisik ria. Yang Seira pedulikan sekarang hanyalah penjelasan dari Alvin mengenai apa yang terjadi, dan bagaimana Arsyid bisa menghilang dan sulit dihubungi.
Mereka tiba di taman belakang fakultas farmasi yang tidak terlalu ramai. Di sana ada sebuah gazebo. Seira menyuruh Alvin untuk duduk, dan dia mengikuti kemudian.
"Sekarang, katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tuntutnya tak sabar.
Namun, Alvin tampak tenang menanggapinya.
"Waktuku hanya tinggal satu jam lagi, Vin. Ada kelas setelah ini," kata Seira sambil melirik jam di tangannya.
"Oke. Apa yang ingin kamu dengar lebih dulu?" tanya Alvin menatap Seira yang duduk di depannya.
"Soal Arsyid. Kemana saja dia sejak kemarin? Kenapa kamu bisa menghubunginya sementara aku nggak?" ungkapnya.
Alvin tidak langsung menjawab. Ditatapnya Seira yang sangat ingin tahu perihal kemana Arsyid menghilang. Dia mengembuskan napasnya perlahan.
"Itu karena dia baru nyampe. Arsyid yang lebih dulu hubungi aku, bukan sebaliknya," akunya.
"Baru nyampe? Emangnya dia ke mana?"
"Inggris," jawab Alvin singkat dan santai.
"Apa?" Siapa yang tidak terkejut mendengar pernyataan konyol itu? "Kenapa ke sana?"
Alvin terdiam, kembali menatap Seira kemudian dia sibuk membuka tas ranselnya lalu mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya.
"Kamu tahu, 'kan, keluarga Arsyid ada di sana, Inggris," kata Alvin tanpa melihat Seira yang mengangguk.
Tentu saja Seira tahu, Arsyid pernah cerita tapi dia tidak tahu apa yang terjadi. Alvin sendiri sibuk membuka tutup botol itu lalu menyerahkannya pada Seira.
"Minumlah, aku akan menjelaskannya."
Tanpa kata protes karena Alvin tak langsung saja menjelaskan, Seira mengambil botol yang diberikan Alvin dan meminumnya perlahan membiarkan pria itu bercerita.
"Ayahnya sakit."
Uhuk!
Seira terbatuk mendengarnya. Alvin sigap memberikan sapu tangan pada gadis itu yang segera menerimanya.
"Sakit?"
Alvin mengangguk.
"Maksudmu, ayahnya Arsyid sakit?"
Lagi, Alvin mengangguk sambil menatap Seira.
"Bagaimana keadaannya sekarang?"
Alvin tahu bahwa Seira mudah sekali bersimpati tapi terkadang dia tidak nyaman bila Seira sudah seperti itu. Bagaimana mungkin gadis itu begitu peduli pada orang lain dan bukannya pada diri sendiri? Seira selalu punya cara untuk membuat orang lain takjub sekaligus terkejut.
"Arsyid bilang masa kritisnya sudah lewat tapi mereka masih harus memantaunya," jelas Alvin.
Seira mengembuskan napas lega. "Syukurlah."
Mereka terdiam beberapa saat. Setidaknya mengetahui alasan Arsyid ke Inggris, sudah cukup bagi Seira yang terkadang lupa bagaimana cerita dimulai. Dia hanya tertarik pada inti cerita dan akhirnya.
"Sebenarnya, Arsyid hendak memberitahumu sejak jauh hari. Tapi dia tidak bisa karena kamu pasti akan murung. Kamu tahu, dia selalu khawatir tentangmu sejak hari itu," kata Alvin. Seira diam. "Kemarin dia bilang kalau akan bicara sama kamu dan menyampaikan masalahnya."
"Bukankah hubungan dengan ayahnya kurang baik?"
"Ya. Kakaknya yang minta dia untuk datang, bahkan ibunya mendesak untuk datang tapi Arsyid keras kepala. Barulah kemarin dia harus terbang mendadak setelah mendapat kabar kalau kondisi ayahnya memburuk. Arsyid dijemput oleh seseorang. Rencananya dia akan terbang setelah memberitahumu, tapi tidak sempat," jelas Alvin.
Seira lega setelah mendengar penjelasan Alvin, tapi hatinya khawatir dengan keadaan Arsyid. Entah. Dengan perginya pria itu seolah ada yang hilang tapi entah apa. Dalam hati dia hanya berdoa untuk yang terbaik saja.