Hujan masih turun mengguyur kota membuat kegelapan terasa mencekam di luar sana. kilat dan petir seolah saling menyahut bagai gemuruh yang tersembunyi dalam dada Seira ketika kecewa itu melingkupinya. Namun, dia sadar kalau tidak seharusnya memikirkan dirinya.
"Aku pengen makan banyak, bisa bayarkan sisa, kan?" pintanya sedikit merajuk pada Alvin setelah tangisnya mereka.
Alvin yang melihat itu hanya terdiam, menatap Seira lalu tertawa. "Tentu saja, bahkan aku berniat bayar semuanya. Silakan, pesan saja apa yang kamu mau, Sei," katanya.
Mata Seira berbinar meskipun tampak merah, dia harus bisa menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Ya, dia baik-baik saja.
"Sungguh?" Seira memastikan.
"Ya. Pesan saja," kata Alvin.
Anggukkan antusias dari Seira membuat Alvin menggeleng takjub. Dia masih duduk di samping gadis itu, mengintip buku menu yang dipegang Seira sambil mengucapkan satu demi satu makanan yang tergambar di sana.
Tangan Alvin menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. Mengerjapkan matanya berulang. Astaga! Dia lupa kalau Seira bagai bom waktu bila sedang badmood. Terlebih lagi sempat menangis. Oh, God! Alvin lupa kalau harus siaga kapanpun. Namun, dia begitu panik ketika Arsyid memberinya pesan singkat.
"Kau mau pesan apa, Al?" Seira melirik Alvin yang melamun di sampingnya.
"Ah, apa aja bolehlah. Tapi aku minta mie satu sama jus alpukat satu," katanya kepada pelayan yang mencatat.
"Baik. Mohon tunggu sebentar," kata pelayan itu kemudian pamit setelah mereka menyebutkan pesanan.
Mereka diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh. Butuh satu jam paling singkat saat Seira berusaha untuk menenangkan dirinya. Syukurlah Alvin datang.
"Al, aku ke toilet dulu. Kalau makanan datang, jangan kau sentuh milikku," pesannya sedikit mengancam.
Alvin tertawa. "Iya, iya. Aku gak bakal sentuh asal kau jangan lama di toiletnya," balas pria itu.
"Oke. Awas ya!"
"Iya. Udah sana, pergi aja dulu. Aku tunggu di sini."
"Oke. Wait ya."
Seira bangun dari duduknya, mengambil tas kecil dari dalam tas ranselnya lalu kemudian pergi ke toilet meninggalkan Alvin yang masih sibuk dengan setiap tugasnya.
Setelah kepergian Seira, Alvin justru termenung memikirkan banyak hal. Tapi dia telah berjanji untuk tidak menjaga Seira. Alvin mengambil ponselnya sambil beralih tempat duduk menjadi berhadapan dengan tas ransel Seira berada. Dengan posisi itu dia bisa melihat kedatangan Seira.
Ponsel di tangannya tampak menampilkan nama Arsyid untuk dihubunginya. Akan tetapi tidak tersambung.
"Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya bergumam.
Hampir tiga kali mencoba menelponnya tetapi sama sekali tidak ada jawaban yang terdengar hanya suara operator yang memberitahukan langkah selanjutnya.
Dia menaruh ponselnya di samping sambil menunggu Seira kembali. Namun, tak bisa dipungkiri gelisah itu tak hentinya menghampiri. Alvin berulang kali mengalihkan perhatiannya ke depan dan ponselnya.
"Dia pasti di pesawat," gumamnya ketika kembali memperhatikan ponselnya yang tertera nama Arsyid. "Belum lama take out kayanya," lanjutnya bermonolog. "Perjalanan dari Indo ke sana memakan waktu sekitar tujuh belas jam bahkan bisa seharian." Alvin kembali bergumam sambil menatap layar yang menampilkan chat terakhir dari Arsyid.
Hufs!
Dia membuang napasnya, berharap gelisahnya terembuskan tetapi sepertinya tidak malah semakin menumpuk di dadanya. "Lo sialan banget, sih, Ar!" gerutunya. "Lian aja, gue pasti hajar lo begitu kembali. Awas aja kalo dah sampe gak hubungi sama sekali." Ancaman yang terucap karena kesal itu wajar, tetapi Alvin tidak yakin bisakah Arsyid menghubunginya ketika sampai di tujuannya.
Pandangan pria itu teralihkan ke jendela yang masih menampilkan jutaan butir air berjatuhan dari langit. Kilatan petir tampak sekilas menerangi kegelapan, gemuruh menyusul kemudian. Dari jendela itu ada bayangan dirinya, Alvin terdiam, berusaha mencari sesuatu dari wajahnya sendiri.
"Bisa. Gue pasti bisa jagain dia tanpa Arsyid," hatinya berbisik dengan pandangan yang masih tertuju pada pantulan dirinya di kaca.
Selama ini, sejak mereka saling kenal dan melalui berbagai kejadian selama perjalanan hidup itu, Arsyid tidak pernah absen menjaga Seira, terlebih sejak kejadian pengkhianatan yang dilakukan mantan pacar Seira, serta kehilangan satu dari mereka saat itu membuat mereka berjanji dalam hati kalau akan selalu saling menjaga satu sama lain. Namun kini, Arsyid justru pergi lebih dulu tanpa sempat menjelaskan apapun.
Tangan Alvin menangkup wajahnya yang berusaha terlihat biasa saja tapi dia sungguh tidak bisa bertahan lebih lama sebab Seira pasti akan peka terhadap keanehan wajahnya.
"Kenapa kau? Ada masalah?" Suara Seira membuyarkan lamunan Alvin.
"Ah, tidak. Hanya sedikit pusing aja," kilah Alvin, sebisa mungkin menutupinya.
Seira menganggukkan kepalanya, kembali duduk di kursinya berhadapan dengan Alvin dan tetap saat itu juga pelayan datang sambil membawa pesanan. Seira sungguh terlihat baik-baik saja, tapi entah dengan apa yang disembunyikannya dalam hati.
Pandangannya berbinar ketika makanan baru tertata rapi di atas meja. "Aku akan makan ini," katanya mengingatkan Alvin untuk tidak macam-macam dengan makanannya.
"Makan saja, enggak bakal ada yang ambil punyamu, jadi tenang aja dan makan perlahan." Alvin mengingatkan. Seira menatapnya dan mengangguk.
Rasanya menyenangkan bukan melihat seseorang menyantap makanan dengan kebahagiaan membuat siapapun yang melihat pasti akan merasakan kehangatan. Itulah yang dilakukan Alvin ketika Seira menyantap makanan nya. Tangannya mendorong piring demi piring mendekat pada gadis itu yang tampak meluapkan segala kesalnya pada sajian makanan.
"Apa yang membuatmu datang kesini, Al? Kukira kelasmu sampai malam?" Seira bertanya dengan mulut sibuk mengunyah.
Alvin menatap Seira. "Kebetulan aja lagi di dekat sini sehabis diskusi. Aku juga lapar makanya mampir tadi tapi ketemu sama kau," jelas Alvin.
Dia memang sedang ada kelas, tapi Syukurlah ketika Arsyid menghubunginya kelas Alvin telah usai. Dia jadi leluasa mendengarkan. Tapi bak petir siang bolong ketika Arsyid meneleponnya mengabarkan kalau ayahnya tak sadarkan diri.
"Vin, Alvin!" Seira memanggil sekaligus menyadarkan pria itu yang terdiam, larut dalam lamunannya.
"Ya?"
"Enggak makan?" tanya Seira melihat Alvin tampak tak selera.
"Aku baik saja kok," akunya sambil menyeruput jus alpukat yang dipesannya.
Terdiam sesaat, Seira menatap Alvin penuh selidik. "Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku bukan, Al?" tebaknya.
Mata Alvin mengerjap. "Ya, sedikit," akunya membuat Seira menatapnya.
"Serius? Apa itu?"
"Aku akan cerita nanti. Lebih baik habiskan dulu makannya entar malah gak ke makan dan mubazir."
Apa yang dikatakan Alvin sering kali dipatuhi oleh Seira. Lihatlah gadis itu seketika fokus pada makanan di meja, menyantapnya sambil bergumam.
Seira memang sedikit aneh. Dia calon dokter tetapi suka makan besar, anehnya tubuh tidak pernah gemuk sama sekali dan tetap ramping membuat orang lain kerap iri terhadapnya sampai tidak sedikit yang meminta tips padanya. Itulah kelebihan Seira, tetapi ada banyak hal yang tidak diketahui orang lain.