Ruangan sedikit temaram itu diterangi cahaya yang menerobos lewat jendela yang tertutup. Tidak ada siapa pun lagi di sana selain seorang yang tengah meninju sebuah samsak yang tergantung. Peluh bercucuran memenuhi wajahnya terlihat begitu mengkilap tapi dia tidak berhenti meninju, menendang dan menghajarnya habis-habisan seolah tengah melampiaskan perasaan yang dipendamnya.
Pria itu tidak seperti perempuan saat merasakan sebuah tumpukan emosi dalam diri. Mereka lebih melampiaskannya melakukan apapun yang menyalurkan energinya. Seperti yang dilakukan Arsyid. Sekarang dia tampak melampiaskan segala emosinya dalam kepalan tangan meninju samsak sekuat tenaga.
Dia akhirnya tumbang kelelahan dengan napas memburu. Telentang di atas sebuah matras. Matanya terpejam mencoba mengatur napas dan detak jantungnya yang berdegup. Sekeras apapun dia melakukannya tetap tidak menyeyahkan pikiran yang sejak kemarin hadir. Entahlah apa masalahnya sampai dia melakukan hal itu.
"Sudahlah, lo gila!" Suara seseorang menyapanya disusul kemunculannya begitu Arsyid menggerakkan pandangan ke arah bawah.
Alvin datang dengan menteng plastic putih dan duduk tak jauh dari Arsyid yang masih di posisinya. Dia kembali memejamkan matanya.
"Ini," kata Alvin sambil menyodorkan sebotol minuman pada Arsyid yang kembali membuka matanya.
Terdiam sesaat dia kemudian bangun dari posisinya itu dan menerima botol dari Alvin. Membuka tutupnya dan menegaknya hingga setengah. Ah, lega rasanya setelah tenggorokannya teraliri dengan air yang segar.
Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat, keduanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Seira baik-baik saja kan?" Alvin bertanya memecah hening. Arsyid meliriknya sekilas dan mengangguk. "Kulihat kalian kemarin bersama. Lo kasih tau dia?" lanjutnya.
Kali ini Arsyid diam, dia memeluk kedua lututnya dengan wajah tertekuk lalu menggeleng. "Belum," jawabnya singkat. Wajahnya terlihat begitu murung.
Terdengar embusan napas dari Alvin. "Enggak mudah, ya. padahal hal kecil, tapi kita seolah enggan dia terluka," katanya.
Arsyid membenarkan. Kedua pria itu memang tampak bermusuhan tetapi satu pemikiran tentang Seira. Sejak hal yang menimpanya dulu, mereka berjanji kalau akan menjaga gadis itu sebaik mungkin. Namun, ketika kebersamaan mereka harus diuji dengan kepergian dari salah satunya meskipun hanya sebentar, tetap saja itu sulit bagi mereka untuk menyampaikannya.
"Haruskan gue pergi tanpa pamit sama dia?" tanya Arsyid seraya mengangkat wajahnya menatap Alvin.
Tatapan mereka bertemu, Alvin menggeleng tidak yakin. Dia sadar, siapa Arsyid bagi Seira. "Gue gak yakin dia bakal baik saja. Tapi, ini menyangkut keluarga lo, jadi mungkin dia bakal ngerti," terang Alvin.
Entahlah, mereka tidak yakin juga apa pun alasannya. Tapi Arsyid tidak bisa lagi menunda permintaan ibunya untuk kembali.
"Kenapa harus begitu sulit hanya untuk pamit?" gumamnya.
Tidak ada yang dikatakan Alvin selain menepuk pundak Arsyid.
"Gue siap buat lakuin apapun selama itu bisa melindungi Seira," katanya.
Arsyid menatapnya. Dia tahu, Alvin bisa. Masalahnya adalah, dia berat untuk meninggalkan gadis itu tapi bukan berarti tidak percaya pada Alvin.
Pandangannya terarah ke depan, pada cahaya yang menerobos jendela. Tempat itu biasa mereka jadikan tempat latihan, sebuah studio judo. Arsyid termenung, memikirkan sebuah cara untuk menyampaikan masalahnya. Dia harus pergi tapi tidak bisa meninggalkan Seira begitu saja.
"Vin," panggilnya.
"Hem?" Alvin menanggapi, mengalihkan pandangan pada Arsyid.
"Lo janji bakal lakuin apa pun kan gak peduli apa yang terjadi?" tanyanya tiba-tiba. Alvin bahkan menatapnya heran.
"Gue usahakan. Selama ini kita memang menjaganya, kan. Tapi jika memang harus gue sendiri, kayaknya oke, gue siap," tutur Alvin.
Menarik napasnya dalam. Entah apa direncanakan Arsyid tapi dilihat dari raut wajahnya yang serius sepertinya dia telah memutuskan.
***
Kehidupan itu berjalan biasa-biasa saja, ya begitulah bagi Seira setidaknya. Gadis itu berjalan sambil membaca buku melintasi lapangan kampus tanpa khawatir tersandung. Oh, astaga untuk apa ada perpustakaan, tempat duduk atau taman? Itu sungguh kebiasaan buruk Seira.
Duk.
Akhirnya dia menabrak seseorang. Kepalanya mendongak untuk melihat siapakah gerangan yang menghadang jalannya.
"Kalau jalan itu diliat bukan ditutupi buku," katanya mengingatkan sambil menarik buku di tangan gadis itu.
"Ah," keluh Seira tanpa bisa protes melihat siapa yang mengambil bukunya. Seira memperhatikan gerakan tangan pria itu yang melipat lembaran halaman untuk menandai.
"Gini baru benar," katanya sambil menyimpan buku itu pada tas Seira yang cemberut. "Jelek," katanya lagi sambil menjitak jidat Seira. Gadis itu mengaduh.
"Arsyid!" keluh Seira menyebut namanya.
"Hm?" Arsyid menanggapi dengan gumam pelan.
Tapi Seira hanya diam saja dengan tatapan tertuju pada wajah pria itu. Bibirnya masih manyun, kesal dengan ulah Arsyid yang menghadang jalannya dan mengganggu aktivitas bacanya yang aneh.
"Kapan kelasmu mulai?" tanya Arsyid kemudian setelah lama diam menatap Seira.
Gadis itu melihat jam di tangannya. "Sepuluh menit lagi. Kenapa?" Dia balik bertanya.
"Selesainya kapan?"
"Eum. Sekitar sore. Kenapa, sih, Ar?" Seira penasaran, dia menatap mata elang Arsyid penuh selidik tapi pria itu malah tersenyum.
"Enggak ada. Cuma mau ngajak kencan aja," katanya jahil dengan senyum di wajah tampannya.
Mata Seira mengerjam, dia menggerakkan kepalanya untuk memindai sekitar. Syukurlah tidak sedang ramai tapi tetap saja kedekatannya bisa menjadi perhatian. Astaga, Seira baru sadar.
Mengambil langkah mundur dan itu membuat Arsyid mengernyitkan dahinya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Seira tidak langsung menjawab. Dia menggerakkan bola matanya memberi isyarat pada Arsyid yang ditanggapi tawa kecil oleh pria itu.
"Enggak apa-apa. enggak bakal ada yang berani selama itu aku," katanya dengan nada bangga. Seira mendesis sambil memalingkan mukanya. "Jadi, mau gak?"
"Mau apa?"
Entah ada apa dengan mereka hari ini. Padahal semalam jelas Seira kesal akan Arsyid. Tapi kini, dia tampak mengulum senyumnya seolah sedang menggoda pria itu
Arsyid tertawa. Mereka persis seperti pasangan baru yang jadian. Saling mesam-mesem aneh.
"Kujemput usai kelasmu nanti. Jangan kemana-mana, tunggu di depan kampus," kata Arsyid.
Tidak ada tanggapan dari Seira. Dia malah memutar bola matanya kesana-kemari membuat Arsyid menggeleng. Bukan tidak mengerti Seira, hanya saja tingkahnya selalu tak terduga.
"Ya sudah. Aku harus ke kelas. Aku Kabari nanti." Arsyid bersiap untuk pergi meninggalkan Seira yang kembali mengubah ekspresi wajahnya menjadi cemberut.
Lapangan itu luas jadi bila ada apa-apa mudah sekali menarik perhatian dan Arsyid tidak mau itu terjadi. Dia ingin melindungi gadis itu, maka harus ada jarak antara mereka. Dia bukan Alvin yang bisa menyapa Seira dengan leluasa untuk berinteraksi dengan gadis itu lebih lama lagi.
"Sampai nanti," ucap Arsyid kemudian dengan pelan karena ekor matanya menangkap pergerakan yang mendekat, dia menduga pasti teman Seira.
Bergegas pergi dari sana meskipun Seira sempat ingin menahannya tapi kedatangan teman Seira menghentikan niatnya itu pada akhirnya dia hanya mengembuskan napas.
"Ngapain, sih, Sei?" tanya Mery yang mendekat lebih dulu. Tatapan gadis itu mengarah pada Arsyid yang menjauh. "Arsyid ngapain sama lo?"
Melirik mereka bergantian, Seira membalas senyum Marina yang menyapanya.
"Enggak ada," jawabnya kemudian.
Tapi Mery tampak tidak percaya. Dia masih menatap Seira penuh selidik.
"Udah. Aku duluan ya. Ada kelas bentar lagi. Sampai ketemu nanti," kata Seira bergegas pergi ke kelasnya meninggalkan para temannya yang keheranan melihat tingkah tak biasa gadis itu.
"Kalian sadar gak, sih, ada yang aneh sama Seira sejak insiden rebutan itu?" tanya Ria yang membuka suaranya usai Seira menghilang di antara kerumunan mahasiswa.
"Aneh apaan?" tanya Merry.
"Ya, jadi sering berahaisaan. Dia juga keliatan diem banget dari biasanya," ungkap Ria.
Mery dan Marina saling tatapan. Entahlah mereka tidak terlalu memperhatikan meskipun sempat heran apa yang dilakukan Arsyid pada Seira tadi. Tapi mereka menepis hal buruknya.