Suasana di mobil itu masih hening. Raut wajah si pengemudi masih sama. Dinginnya terlihat menusuk membuat Seira bungkam. Dia takut-takut melirik cowok itu, menatapnya lamat. Seketika hatinya berontak, berbisik bahwa harusnya dia yang kesal bukan si cowok itu.
"Hei!" Seira memanggil, sepertinya akan terjadi perang dingin dalam beberapa menit. "Kenapa diam?" tanyanya. Tapi tidak ada tanggapan dari cowok itu, pandangannya lurus ke depan.
Hufs!
Seira membuang napasnya kasar. Melirik ke luar jendela sekilas, dia mengambil ancang-ancang untuk meluapkan segala kesalnya pada cowok itu. Harusnya dia yang kesal, bukan cowok itu.
"Sialan!" Dia mengumpat tipis lalu mengalihkan padangannya pada cowok itu. "Kenapa kesal gitu? Harusnya aku yang marah, bukan kamu!" katanya menyemburkan kekesalan yang telah diujung lidah.
Tidak ada tanggapan. Astaga. Cowok ini benar-benar bisa membuat Seira mengeluarkan dirinya yang lain. Kalau lama-lama seperti itu, sepertinya Seira memang memiliki alter ego.
Merasa percuma meluapkan kekesalan pada cowok di sampingnya itu. Seira mengembuskan lagi napasnya, mencoba untuk bersabar kali ini. Teringat lagi saat siang, diamnya cowok itu yang membuat Seira mengajaknya untuk pulang bersama.
Ekhem!
Seira berdeham kecil, menetralkan suaranya agar tak terdengar kesal dan sekalian menarik perhatian cowok itu.
"Aku nunggu kamu tapi di apa Kak Hardy," aku Seira.
Hardy, senior yang dimaksud. Cowok itu menemani Seira tadi.
Tetap tidak ada tanggapan apa pun. Tatapan cowok di sampingnya itu masih tertuju ke depan, pada jalanan yang gelap, lampu dari kendaraan tampak berseliweran. Apa pula asyiknya itu.
"Makanya lain kali lebih baik standby sebelum aku keluar kelas biar enggak bikin aneh suasana," kata Seira.
Nadanya mulai berubah ssedikit kesal. Siapa yang tidak kesal lagi coba melihat raut dingin dan datar mirip talenan itu. Serasa ngobrol dengan tembok memang.
"Ish!" Seira mendesis, mengalah akan diamnya cowok itu. Padahal tadi pagi, cowok itu yang menariknya ke aula, lalu mendrama, seolah dialah yang tersakiti setelah putus dengan pacarnya. "Arsyid sialan." Ekor mata Seira melirik cowok itu, mengintip reaksinya kala Seira menyebut namanya sambil mengumpat.
Arsyid. Ya, si pengemudi itu adalah Arsyid. Entah kenapa cowok itu seperti kesal dengan Seira, apa salahnya coba? Kepalanya tertoleh, melirik Seira yang mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menperhatikan sesaat. Gadis itu jelas kesal.
"Kamu mau makan?" tanyanya begitu mengalihkan pandangan, kembali fokus ke jalanan.
Kepala Seira bergerak, menoleh pada Arsyid yang masih menampakan raut daratnya. Rasanya Seira selalu ingin mengumpati raut datar itu, mengesalkan sekali. Tapi kalau sudah mengenal sisi lain Arsyid, maka kesedihan akan menghampirimu. Itulah alasan kenapa Seira tidak bisa benar-benar mengumpat, bahkan sekalipun tangannya gatal untuk melayangkan pukulan, Seira selalu tidak bisa mendaratkannya pada Arsyid. Cowok itu seperti memiliki tembok tak kasat mata.
"Boleh. Kau yang bayar," sahut Seira kemudian. Arsyid tak mengiyakan, masih kesal begitu ingat dengan siapa Seira berbincang tadi.
"Baiklah. Kamu mau apa?" tanyanya kemudian setelah lama bungkam.
"Apa saja. Kau paham betul kalau aku lagi kesal," kata Seira.
"Ya." Singkat sekali cowok itu menanggapi.
"Baguslah." Seira kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Ada banyak yang menarik di jalanan itu daripada melihat raut sedarat talenan itu.
Suasana dingin yang di ciptakan Arsyid membuat Seira mau tak mau masuki kawasan kutub utara ala cowok itu. Seira tahu, paham betul kalau Arsyid sedang kesal. Namun, dia tidak tahu alasan cowok itu kesal. Bisa jadi sebelum menjemputnya, ada sesuatu yang mengganggunya.
Pikiran Seira sendiri sibuk, terus menerka ada apa dengan Arsyid? Cowok itu memang bersikap dingin dan pelit senyuman. Tapi bagi Seira, diamnya Asryid pasti ada yang disembunyikan cowok itu. Sesuatu yang lebih serius daripada di putuskan pacar. Entahlah, yang pasti itu cukup mengganggunya juga.
Mereka tiba di depan sebuah restoran. Arsyid dan Seira melepas sabuk pengaman tanpa bicara, sama-sama diam, bungkam dengan pikiran yang melayang di kepala masing-masing. Sudah terbiasa bukan berarti bisa mengatasi apa yang terjadi.
Kebiasaan Seira adalah memilih tempat duduk di dekat jendela. Dia sering mengatakan kalau tidak duduk dekat jendela itu, rasanya tidak enak. Makanya, mereka selalu berusaha untuk mencari tempat makan yang dekat jendela, di mana menyuguhkan pemandangan yang beragam.
"Aku pesan spagethi dan beef, juga udang goreng," kata Seira memesan begitu pelayan datang untuk mencatat.
Arsyid juga menyebutkan pesanannya, sedikit berbeda dari Seira. Gadis itu sendiri memilih diam setelahnya, fokus pada ponsel di tangannya, masih sedikit kesal dengan Arsyid. Dan raut cemberutnya itu menarik perhatian Arsyid.
"Marah?" tanya Arsyid, basa-basi meskipun dia tahu jelas kalau Seira memang sedang marah.
Meskipun tahu pertanyaannya akan membangunkan singa dalam diri Seira, cowok itu tetap melakukannya, bahkan sekalipun tak mendapat tanggapan dari gadis itu.
"Tadi itu ada sedikit masalah di jalan, makanya telat, sorry," ucap Arsyid kemudian menjelaskan alasan keterlambatannya. "Di jalan ada kecelakaan, untungnya tidak apa-apa," lanjutnya.
Mendengar kata kecelakaan, Seira dengan cepat mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke wajah tampan Arsyid di depannya.
"Kecelakaan apa? Kau enggak apa, kan?" tanyanya khawatir. Senyum tipis Arsyid hadir, tahu kalau Seira pasti akan begitu. Lihatlah raut wajahnya yang begitu khawatir dan terkejut.
"Aku enggak apa karena hanya membantu. Syukurlah, luka korbannya enggak terlalu parah," jelas Arsyid.
Seira mengembuskan napas lega tapi kemudian menatap Arsyid tajam, "Kenapa baru bilang sekarang. Kan aku jadi salah paham." Seira protes.
Bukannya menenangkan, Arsyid hanya tersenyum membuat Seira semakin kesal.
"Jangan senyum! Menyebalkan," ujarnya.
"Kau lucu kalau marah," goda Arsyid.
Mata Seira melotot, "Kau memang ingin kupukul ya?" ancamnya.
"Lakukan saja kalau bisa. Sini." Arsyid justru menantang.
"Ish!" Pada akhirnya Seira mengalah, mendesis tajam dan mengalihhakan perhatiannya dari Arsyid.
Kekehan mengejek dari pria itu tak dihiraukan Seira, cowok itu tahu kalau Seira tidak akan pernah bisa membalasnya. Sekalipun.
Entah kenapa, Seira yang begitu ringan tangan saat kesal pasti mendaratkan tangannya pada siapa pun yang telah mengusiknya, tapi kepada Arsyid, entah kenapa dia sama sekali tidak bisa mendaratkannya, lebih ke menahan kekesalannya. Entah. Mungkin karena apa yang pernah dialami Arsyid membuat Seira segan untuk melukainya. Meskipun Arsyid selalu datang saat dia terluka membuat Seira mau tak mau memendam kesalnya seorang diri, memang luar biasa sekali cowok satu ini.
Pelayan datang tak lama kemudian bersama pesanan mereka, membuat Seira yang hendak bertanya tertahan.
"Terima kasih," ucap Seira pada pelayan itu.
Melihat makanan yang tertata rapi di atas meja yang mengepulkan asap tipis yang menggoda indra penciuman membuat Seira lupa akan pertanyaan yang hendak terlontar sebelum pelayan datang menghantarkan sajian.
"Mari makan," katanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari makanan di atas meja. Dia berdoa sebelum menyantap membuat Arsyid terkekeh geli, dan mengikuti cara Seira berdoa.
Gadis itu segera menyantap spagethi setelah membasahi kerongkongannya dengan air. Kesukaannya adalah mie, keju, dan telur. Seira suka pedas tapi levelnya masih di bawah juga, tidak terlalu suka manis dan lebih menyukai gurih dan dingin. Itulah kenapa dia suka sekali dengan es krim yang bisa meredakan badmoodnya.
Melihat Seira yang fokus pada makanan membuat Arsyid mau tak mau tak bisa menahan tawanya. Tapi bukan tawa setan yang sering kali dia tampilkan di kampus, membuat siapa saja pasti bergidik mendengar tawanya yang menyebalkan. Sebuah tawa yang penuh dengan ejekan. Tapi dia tak melakukannya sendirian, bersama teman kampusnya dan senior. Tapi meski begitu, tak pelak dia membuat banyak gadis terpesona juga.
Hanya pada Seira, Arsyid menunjukkan sisi lain dirinya. Hebat memang.