Esoknya Seira kembali ke kampus dengan suasana hati yang baru, tentu saja dia harus. Sebagai mahasiswa tahun ketiga, ada banyak hal yang harus dia lakukan, sebentar lagi masanya menjadi seorang mahasiswa akan berakhir, dan Seira adalah tipe cewek yang selalu tepat waktu.
Mata Seira mengedar melihat sekeliling lapangan yang ramai mahasiswa yang hilir mudik. Tidak ingin kejadian kemarin terulang, Seira berjalan tergesa pergi dari sana. Sejak semalam, ah, tidak, lebih tepatnya sejak insiden rebutan itu Seira berusaha menahan diri untuk tidak membaca atau mengirimkan pesan pada dua cowok itu.
Bruk.
Upayanya untuk menghindari kejadian kemarin dan bertemu dengan dua cowok itu sepertinya gagal saat di tengah jalan tanpa sengaja menabrak seseorang, refleks Seira mengangkat kepalanya, menatap siapa yang dia tabrak. Sedetik kemudian tubuhnya terasa membeku saat matanya mengenali siapa cowok itu.
"Ikut aku!" katanya dingin dan tanpa mengatakan apapun lagi segera saja menarik tangan Seira untuk ikut dengannya.
Sebelum Seira sempat menolak, tangannya telah lebih dulu ditarik. Entah ke mana cowok itu membawanya.
"Ih, kita mau ke mana, sih, Ar? Aku ada kelas nih bentar lagi," protes Seira saat mereka mulai jauh dari kelasnya.
Bukannya menjawab Seira, cowok itu malah membawanya ke sebuah aula, untungnya masih di sekitar gedung fakultasnya. Cowok itu melepas tangan Seira.
"Ada apa, sih? Kenapa bawa ke sini?" tanya Seira setelah pandangannya menelisik ruangan yang penuh kursi itu.
Tidak ada jawaban, maka Seira menatap cowok itu yang tatapanya sejak tadi memperhatikan. Tatapan Seira terpaku pada sorot mata cowok itu. Perawakan tinggi dengan wajah tanpa senyuman. Tapi Seira bisa melihat dari sorot matanya tentang sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dalam sebuah kata. Perpaduan sorot kesepian dan luka. Tentu Seira tahu kenapa itu.
Hufs! Seira membuang napasnya gusar kala menyadari apa maksud cowok itu. "Jangan bilang terluka lagi?" tebaknya. Cowok itu diam. "Arsyid sialan! Kau repotin banget, sih," keluhnya.
"Kenapa marah? Biasanya juga kau obatin," katanya dingin.
Kening Seira mengernyit melihat raut muka cowok itu yang berubah, dan anehnya membuat hati Seira di hampiri perasaan aneh. Dia berdeham untuk menetralkan degup asing yang hadir itu. Dia melirik jam yang melingkar di tangannya.
"Di mana sakitnya? Aku ada kelas lima belas menit lagi, nih, jadi cepetan," katanya.
Tapi Arsyid, cowok itu hanya diam saja malah memilih duduk di tangan kursi besi ruangan itu membiarkan Seira berdiri menatapnya.
"Ar?" panggilnya.
"Aku gak kenapa-napa, kok, cuman mau ngomong aja sama kamu, jadi jangan pasang wajah khawatir kaya gitu," katanya, sekali lagi terkesan dingin. Arsyid adalah tipe cowok yang pelit senyuman.
Kening Seira mengerut. "Maksudnya?"
Asryid tak menjawab, dia malah menekuk wajahnya. Seira heran melihatnya. Tidak biasanya cowok itu kaya emosional begitu.
"Ar?" Seira memanggil pelan, rautnya tampak khawatir.
"Hm." Arsyid membalas.
"Kau baik?" tanya Seira yang mendapat gelengan kepala dari cowok itu. "Kenapa?" kini Seira mendekat satu langkah di depan Arsyid yang masih tetap diam. Entah kenapa cowok itu jadi berbeda.
Asryid bisa dibilang berandal, suka berantem, tapi melihatnya seperti ini, Seira merasa aneh, jangan-jangan terjadi sesuatu padanya, pikir Seira.
Seira mengembuskan napasnya, mengedarkan pandangan ke area aula saat menyadari apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Tangan Seira terangkat lalu menyentuh puncak kepala Arsyid yang masih tetap di posisinya.
"Baguslah kalo putus. Lagian, dia cewek yang gak sabaran," katanya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari Arsyid yang seolah membenarkan tebakan Seira. "Sejak kapan?" tanya Seira lagi. Dia mendominasi pembicaraan bila bersama Arsyid yang lebih banyak diam.
"Kemarin," jawab Arsyid singkat. Kening Seira mengerut.
"Kemarin?" ulangnya. Arsyid mengangguk. "Rebutan itu?" tebak Seira tiba-tiba. Lagi, kepala cowok itu bergerak. Astaga, apa maksudnya. "Katakan!" pinta Seira menuntut.
Terdiam beberapa saat, Arsyid akhirnya bercerita kalau dia putus dengan pacarnya hanya karena dia kembali berkelahi dan terluka lalu mendatangi Seira untuk mengobatinya. Cewek yang disebutkan pacar Arsyid ternyata tahu, tipe gadis pencemburu dan tak sabaran hingga akhirnya memutuskan untuk putus hubungan dengan Arsyid.
"Dia bilang, kalau aku gak bisa jauhin kamu, ya, putus," katanya tenang.
Seira mendengkus tak percaya, ditatapanya langit-langit aula. "Sulit dipercaya. Berapa kali harus dijelasin, sih? Dasar cewek baperan," ujar Seira mengatai gadis itu.
Diam-diam senyum Arsyid hadir dalam tekukkan wajahnya. Lucu sekali, Seira mengatakan itu tanpa ada emosi.
"Jadi kemarin itu …." Tangan Seira mengangkat wajah Arsyid agar cowok itu menatapnya. "Kalian benar-benar, ya! Kenapa pula di saat bersamaan, kan, kesannya jadi aneh, seolah kalian rebutin aku," cerocos Seira sambil menatap wajah Arsyid di bawahnya.
Rupanya aksi rebutan itu salah paham. Alvin yang mengaku hendak menyapa Seira dan mengejutkannya dengan pegangan tangan, justru malah ditarik Arsyid yang juga hendak mengatakan sesuatu pada Seira, cowok itu butuh teman buat hiburan karena baru saja putus dari pacarnya hanya karena kedekatannya dengan Seira.
Ditatapnya wajah Arsyid, telapak tangan Seira masih menangkup kedua sisi wajah cowok itu. Ibu jarinya bergerak pelan, mengusap pipinya. Senyum kecil menghiasi wajah gadis itu, cantik.
"Udahlah, mungkin belum jodoh, jadi biarkan saja," katanya menghibur.
Arsyid diam, dia selalu bisa merasakan perasaan damai saat menatap Seira seperti itu. Meskipun terkesan cerewet, Seira sebenarnya baik dan perhatian. Entah karena alasan apa, Arsyid selalu datang padanya kala dia terluka, dan Seira mengobatinya dengan baik meskipun sering mengomel. Namun, Arsyid mengubah omelannya menjadi melodi yang menenangkan. Bagimana bisa?
Tangan Arsyid meraih tangan Seira dari pipinya, tatapannya tertuju pada wajah gadis itu lalu berkata, "Aku udah baikan. Kamu masuk ke kelas sana."
Mata Seira mengerjap, dilihatnya jam di tangan lalu mengembuskan napasnya dan mengangguk. "Bener udah enggak apa?" tanyanya masih khawatir.
"Hemm." Arsyid menjawab dengan dehaman dan senyum samar di wajahnya. "Makasih ya," ucapnya kemudian.
"Untuk?" Seira mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan ucapan terima kasih Arsyid. Tidak biasanya cowok irit bicara dan senyum itu mengucapkan kata yang luar biasa. Biasanya singkat saja.
"Untuk selalu ada buat aku," katanya masih menatap Seira dalam. Sungguh, ada perasaan yang tidak bisa Arsyid ungkapkan saat itu juga, terlebih ingat dengan janjinya pada Alvin untuk tidak memberitahu Seira secepat itu.
"Kenapa sih, kok jadi aneh gini?" ujar Seira sambil melepas tangannya dari Arsyid. Sepertinya dia menydari ke-emosionalan cowok itu yang justru tersenyum jahil. "Udah ah. Aku mau ke kelas, sampai jumpa lagi nanti," katanya lalu segera beranjak dari hadapan Arsyid dan meninggalkannya di aula itu.
Masih di tempatnya, Arsyid menghilangkan senyuman itu, rautnya kembali berubah. Ada perasaan yang berkecamuk dalam dadanya ketika ingat dengan sebuah pesan yang dalam waktu dekat dia harus mengambil keputusan.