Bram dan sahabatnya langsung pergi dari rumah Mbah Maman. Ketiganya masih dalam mode diam. Tak ada ada yang bersuara. Mereka takut bila kembali ke sana maka mereka akan bertemu dengan Winarsih, karena tentunya itu desanya.
"Jadi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Deki.
"Aku tak tahu, aku belum berpikir ke sana, mau tak mau ambil tanah kuburan itu. Jadi aku harus apa sekarang?" tanya Bram yang mulai kesal.
"Ayo kita ke sana. kalian jangan takut, aku jamin kita bisa buat Narsih kalah dari kita. jika mbah maman mau bantu kita, kita juga harus bantu diri kita sendiri," kata Diman lagi.
Keduanya melihat kearah Diman. Benar kata Diman, untuk melindungi diri mereka harus pakai itu. Jika tidak maka mereka yang akan di bunuh sama wanita itu.
"Baik, ayo kita beli kain putih yang di bilang mbah itu. Setelah itu kita ke desa salak dan kita ambil tanah kuburan itu. Aku yakin tanah itu sudah mengering dan menyusut," kata Deki.
Ketiganya akhirnya pergi mencari kain putih atau kain kafan untuk pembungkus mayat. mereka mencari ke sana kemari tempat penjual kain putih itu.
"Nah, itu coba kita tanya, dia penjual bunga untuk kita ke kuburan, coba tanya di sana," tunjuk Diman lagi.
"Diman, kau yakin di sana ada?" tanya Bram.
Bram ragu kalau warung kecil itu ada menjual itu.
"Iya, aku yakin. Istriku pernah beli itu di tempat kayak gitu. Udah lah, jangan buat aku merasakan kebodohan karena tak tahu dimana membelinya," sungut Diman.
Deki terkekeh karena Bram meragukan dirinya. Deki menghentikan mobilnya di depan warung yang katanya diman menjual kain putih itu.
"Ayo turun, setelah ini kita langsung ke sana," kata Deki.
"Kan besok malam jumat kliwonnya, kenapa harus ke sana sekarang. Besok saja kita pergi ke sana, lagian kalau kita ke sana sekarang yang ada kita yang mati di sana tahu tidak," kata Diman.
"Lebih baik, kita perginya besok dan sampai sana langsung kita eksekusi. Jangan buat kita kelamaan di sana aku tak mau lama di sana, dia bukan manusia dia hantu," kata Diman lagi.
Deki dan Bram saling pandang satu sama lain. mereka pun berpikiran sama dengan Diman. kalau mereka terlaku cepat akan membuat mereka bertemu dengan warga dan juga bertemu dengan Winarsih.
"Aku ikut saja, lagian kalau terlalu cepat kita bisa ketahuan sama warga," kata Deki.
Akhirnya mereka sepakat untuk pergi esok hari. Ketiganya turun dan membeli kain putih itu. Setelah membeli, keduanya pulang ke kota dan menyusun rencana untuk besok.
Keesokan harinya, ketiganya pergi melihat sahabat mereka yang masih terbaring lemah. Luka bacokkan itu sangat besar dan membuat dia menerima jahitan lebih dari sepuluh.
"Kasihan sekali dia. Harusnya dia ikut kita tapi dia malah terbaring di sini," kata Deki lagi.
"Makanya kita tidak boleh menunggu lagi. Ayo kita pergi sekarang," kata Bram lagi.
"Kalau begitu ayo kita pergi sekarang, jarak tempuh kita lumayan cukup jauh, sampai sana kita bisa istirahat sampai menunggu malam jumat itu," kata Deki.
Bram dan Diman menganggukkan kepalanya. ketiganya berpamitan pada istri Deka. mereka pun pergi ke parkiran untuk langsung ke desa salak.
"Kita tak perlu lagi kerumah Mbah Maman Bram?" tanya Deki pada Bram.
"Tidak usah, kita ke sana saja langsung. Akan memakan waktu lama," ucap Diman.
Bram pun ikut sana, dia tak mau lagi protes ingin cepat selesai dan pulang kerumah juga mau mendekati Nona. Wanita yang dia incar itu.
Perjalanan menuju desa salak memakan waktu sangat panjang, dan lama. Akhirnya keduanya sampai di desa Salak, Bram membawa sahabarnya ke vila yang dulu dia tempati saat tiga puluh tahun yang lalu.
"Bram, kamu kenapa? Apa kamu masih mengingat kejadian itu?" tanya Deki.
"Iya, sudah cukup lama aku tak di sini. Dulu aku ke sini hanya mau liburan saja. tapi malah kejadian itu ...," Bram tak bisa mengatakannya. dia terlalu sadis saat melakukan itu. menyesal tidak ada gunanya toh Winarsih dan suaminya sudah tiada.
"Sudah ayo masuk. Siapa yang jaga villa ini Bram?" tanya Diman.
"Biasa orang sini yang jaga, kalau sore gini dia akan pulang. Aku tidak katakan pada dia kalau mau ke sini. Nanti jadi ribut warga sini," kata Bram lagi.
Mereka berdua pun menganggukkan kepalanya. Ketiganya masuk dan duduk di dalam vila sambil menunggu malam hari. Tak terasa malam pun tiba, ketiganya melihat kearah vila yang kelihatan seram.
"Kita pergi sekarang?" tanya Deki.
"Pas jam dua belas malam saja, semua orang sudah pada tidur. Nanti yang ada kita ketahuan sama warga," kata Diman.
Jam dinding berbunyi dengan kencang. mereka langsung menuju keluar dan masuk dalam mobil.
"Kalin yakin naik ini ke sana?" tanya Bram.
"Jadi naik apa? Ini kan bisa cepat dan kita biaa langsung balik ke kota," kata Diman.
"Kau sudah gila? Ini tengah malam, mana mungkin kita balik langsung, ini saja sudah jam sebelas malam, mana mungkin kita pulang, aku tak mau, tunggu pagi saja," kata Deki.
Bram masih diam dan dia masih tak mau bersuara apapun. "Bram, kau kenapa diam saja dari tadi. Apa kau berubah bisu ya?" tanya Diman dengan kesal.
"Kita harus balik juga hari ini juga. Jika kita tidak pulang hari ini juga kita akan dibunuh sama narsih kau mau?" tanya Bram lagi dengan kesal.
Deki dan Diman akhirnya diam. Mereka tak mungkin bantah apa kata Bram. Ketiganya terdiam dan tak ada yang bicara sama sekali.
"Ayo kita pergi sekarang, jika tidak kita akan kemalaman di sana," kata Bram.
Deki dan Diman pun menganggukkan kepalanya. Ketiganya sudah bersiap untuk mengambil tanah kuburan itu. Dia juga sudah membuat topi kupluk untuk menutupi wajahnya.
"Ayo kita pergi sekarang," kata Bram lagi.
Ketiganya langsung pergi dari vila dan menuju kuburan tempat narsih di makamkan. Ketiganya merasakan ada sesuatu namun, mereka tak mau memperdulikannya.
"Bram kita sudah sampai, dimana kita letak mobil kita?" tanya Deki.
"Di bawah pohon itu saja, kita harus bisa menjauhkan pandangan masyarakat," kata Bram.
Mereka menganggukkan kepalanya. Setelah sampai ketiganya langsung keluar dan berjalan dari pintu belakang. Ketiganya perlahan masuk ke dalam pemakaman. Dengan menggunakan senter, ketiganya mencari makam Winarsih. Untung saja makan tak di jaga sama penjaga makam, jadi mereka bebas masuk ke sana.
"Bram, cepat sedikit, aku takut ini. Tempatnya gelap sekali," kata Deki.
Bram masih menyorotin lampu senter ke segala arah, dia tak tahu di mana letak makam Narsih. Diman mencolek tangan Bram dan menunjukkan kearah Bram makam atas nama Narsih, makam itu masih seperti baru entah kenapa makam itu masih terlihat baru.
"Bram, apa itu tidak salah? Kenapa masih kelihatan baru? Apa ada Narsih yang lain kah di sini?" tanya Deki.
"Jangan banyak bicara, ayo cepar ambil dan masing-masing taruh di kain tadi," kata Bram.
Ketiganya langsung mengambil sejemput tanah, ada empat bungkus tanah mereka ambil. Setelah selesai, tanah kuburan Narsih tadi seketika anjlok ke bawah dan memperlihatkan mayatnya.
Bram dan lainnya mundur selangkah. Suara tangis bergema di sekitar makam.
"Ayo kita pergi sekarang, kondisi sudah tak aman," kata Bram.
Ketiganya kabur dan langsung tancap gas menuju kota. Tapi sebelum ke kota ketiganya ke tempat Mbah Maman dulu untuk membawa tanah itu kuburan itu.