Chereads / BROTHERHOOD : Pengorbanan seorang Kakak / Chapter 11 - Tugas pertama

Chapter 11 - Tugas pertama

Mereka berenam telah sampai di ruangan yang akan menjadi ruangan kerja mereka, dengan bangku yang berjejer 3 dan di seberangnya dua. Adit, Haris, dan Ramon duduk di seberang kiri berjejer tiga. Sedangkan Reni dan Andrew duduk di seberang kanan berjejer dua, untuk komandan mereka Victor ada di depan mereka menjadi pusat perhatian.

Victor menarik papan tulis putih yang berdiri di sampingnya. "Perhatikan semuanya!" ucap Victor pria berusia 35 tahun dengan tegas.

Melihat wajahnya yang serius di depan, membuat mereka lebih tenang dan memperhatikan sebuah pengumuman yang akan dibuat oleh Victor.

"Tersangka utama kita untuk saat ini adalah Charles," Victor menempelkan foto Charles di papan tulis. "Tapi mencari sosoknya begitu sulit sekali, dia memiliki anak buahnya 10 agen dalam mengatur pengantaran obat terlarang," lanjut Viktor menempelkan 10 foto anak buah Charles. "Ini namanya Bobi, dia punya bewok dan kumis, badannya agak berisi. Ini namanya Santoso dia kurus, dan memiliki tindikan ditelinganya. Ini Maman, dia yang termuda dibandingkan yang lainnya. Ini Alex, dia memiliki bekas luka di wajahnya. Ini Ardi dia yang memiliki kelima anak buah yang sebagai kurir pengantar obat terlarang yang bernama Asep, Bayu, Juwita, Nino, Bambang. Ini semua yang menjadi target untuk menemukan keberadaan Charles.

"Jadi kita harus menangkap siapa dulu komandan?" tanya Adit mengangkat tangannya.

"Kita harus menemukan kelima kurir yang menjadi bawahannya Ardi," jawab Viktor sambil melangkah satu kali maju ke depan. "Reni lacak identitas kelima anak buah Ardi, sekarang!" Perintah Viktor kepada Reni.

"Siap komandan!" tegas Reni sambil membuka laptopnya.

"Sambil menunggu hasilnya, aku juga punya sebuah pilihan untuk menamakan tim ini. Aku punya dua pilihan kalong hitam dan kelelawar malam, silakan pilih dan pilihan yang paling banyak itu yang akan terpilih. Bagaimana?" tanya Viktor kepada kelima anak buahnya.

"Saya pilih Kalong hitam," ucap Andrew sambil mengangkat tangannya.

Reni melirik Andrew yang duduk di sampingnya. "Saya juga kalong hitam," sahut Reni sambil mengetik di laptopnya.

"Saya kelelawar malam," Adit tersenyum sambil mengangkat tangannya.

"Saya juga Dan," sahut Haris sambil mengangkat tangannya.

"Saya lebih suka kalong hitam," jawab Ramon sambil tersenyum melihat kedua rekannya yang duduk di sampingnya.

"Berarti 3 kalong hitam dan dua kelelawar malam, pilihan terakhir ada di saya dan saya memilih," ucap Viktor membuat pilihan.

Mereka semua melihat Viktor yang tiba-tiba berhenti, membuat penasaran dengan pilihan yang dibuatnya.

"Saya pilih kalong hitam," lanjut Viktor sambil tersenyum melihat kelima anak buahnya.

Adit dan Haris kecewa karena pilihannya tidak menjadi yang terpilih, membuat Viktor tersenyum melihat mereka.

"Sori ya Adit dan Haris, saya lebih suka kalong hitam dibanding kelelawar malam," ucap Viktor sambil tersenyum melihat mereka.

"Iya tidak apa-apa komandan, nama mah apa saja yang terpenting tujuan kita sama," jawab Adit sambil menunjukkan jempolnya.

"Iya betul saya setuju dengan Adit," sahut Haris sambil merangkul rekannya itu.

Mereka bertiga sudah sangat kompak, membuat Viktor menganggukkan kepalanya. Sedangkan saat melihat kedua orang yang terlihat begitu serius.

"Begitulah perbedaan, semoga saja tim ini akan berhasil sampai akhir," gumam Viktor sambil menyingkirkan papan tulis ke samping dan duduk di kursinya.

Siang hari Sonia sedang membereskan rak makanan sambil menaruh stok pada rak yang kosong. Seorang wanita dengan masih memakai pakaian sekolah menengah atas, datang dan memanggilnya.

"Mbak..." panggilnya dengan datar.

"Iya," sahut Sonia lalu berlari ke arah kasir.

"Rokok Mbak satu bungkus ya," ucapnya sambil menunjuk ke arah rokok yang terpajang di rak.

Sonia dengan melihat anak yang masih berpakaian sekolah itu, membuatnya tak segan-segan menasihatinya.

"Kamu kan masih sekolah, memangnya sudah boleh merokok?" tanya Sonia yang tak langsung melayaninya.

Mendengar pertanyaan dari kasir minimarket itu, membuatnya kesal dan menyentaknya.

"Terserah gua dong! Gua beli juga pakai duit gua sendiri, jadi kenapa lu yang repot sih," bentak wanita itu dengan sangat marah.

"Bukannya seperti itu, sayangilah dirimu sendiri dari jahatnya pergaulan. Jadi saya tidak akan memberikan kamu rokok," jawab Sonia yang balik menasihatinya dengan baik-baik.

"Eh repot ya lu! Lihat saja lu ya!" ucap wanita itu lalu menyingkirkan makanan yang dipajang di atas meja kasir lalu pergi.

Sonia menggelengkan kepalanya lalu berjalan untuk keluar dari tempatnya dan membereskan makanan yang jatuh berserakan di lantai. Saat sedang membereskan makanan yang jatuh, seseorang kakek pemilik dari minimarket itu datang dan menegur Sonia.

"Ada apa ini? Kenapa berantakan sekali?" tanya Pak Wiranto kepada Sonia yang sedang membereskan barangnya dan meletakkannya di atas meja.

"Tadi ada anak sekolah menengah ke atas ingin membeli rokok, tapi saya tidak kasih," jelas Sonia yang baru selesai membenahi makanannya.

"Anak sekolah yang tadi, kenapa kamu tolak dan tidak memberikannya?" tanya Pak Wiranto kepada Sonia yang berdiri di hadapannya.

"Tentu saja tidak boleh Pak, bukannya sudah ada aturannya jika anak yang masih memakai seragam sekolah tidak diperbolehkan membeli rokok," jawab Sonia dengan tegas sambil melihat Pak Wiranto.

"Heh kasih saja, apa salahnya yang penting itu menghasilkan uang. Jadi mulai sekarang layani saja ya," pinta Pak Wiranto kepada Sonia.

Sonia kesal dengan pemilik minimarket yang melanggar sebuah aturan yang sudah ditetapkan. Lalu dia juga tidak mau menyerah untuk tetap menaati sebuah peraturan itu.

"Pak boleh saya tanya sesuatu?" tanya Sonia sambil melihat Pak Wiranto yang akan pergi ke ruangannya.

"Apa tanya saja," jawab Pak Wiranto yang serius melihat Sonia.

"Bagaimana jika anak sekolah tadi itu putri atau keluarga Anda. Apa Anda akan mengizinkannya merokok?" tanya Sonia dengan menatap tajam Pak Wiranto.

Pak Wiranto merasa tersinggung dengan ucapan Sonia, lalu dia memasang wajah yang kesal, tapi tak dapat di ungkapkan.

"Terserah kamu saja!" jawab Pak Wiranto lalu melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya yang ada di dalam gudang.

Sonia kembali mengerjakan pekerjaannya, membereskan rak yang belum terisi barang. Sambil menggelengkan kepalanya, masih bingung dengan pola pikir kakek yang sudah tua itu.

"Apa yang ada di otaknya itu hanya uang, tanpa memikirkan bagaimana masa depan negeri ini. Kalau orang-orangnya berpikir sepertinya. Bisa hancur negeri ini, dasar kakek tua," batinya sambil tersenyum lalu memasukkan makanan ke dalam rak yang kosong itu.

Pak Wiranto juga menggerutu kesal sambil duduk di kursinya. "Dasar anak menyebalkan, kenapa juga aku harus memiliki karyawan sepertinya yang sangat taat sekali pada aturan," gumamnya sambil melepaskan kacamatanya dan topi yang digunakannya di atas meja.