Di ruangan rapat para atasan jajaran kepolisian dengan bintang tiga sedang mengadakan rapat dadakan membahas soal jaringan narkoba. Dengan dipimpin oleh Pak Gunandar seorang jendral komisaris kepolisian dengan empat bintang.
"Negara kita sedang genting dalam menangani kasus narkoba, baru-baru ini kami mendapatkan laporan bahwa penjualan narkotika sudah sampai di sekolah menengah atas. Bagaimana nasib masa depan negara, jika remaja seperti itu sudah mengenal barang haram itu," ucap Pak Gunandar kepada para bawahannya. "Saya adakan rapat seperti ini untuk membahas secara bersama dalam menangani kasus narkoba di negara kita, ada yang punya ide?" tanya Pak Gunandar sambil melihat ke semua anak buahnya.
"Bagaimana kalau kita lebih ketat dalam menerima warga asing," jawab seorang petugas dengan jenggot di dagunya.
"Kita harus bentuk tim rahasia pemberantas narkoba," jawab Pak Toni sambil berdiri melihat Pak Gunandar. "Percuma kalau kita diam-diam saja seperti ini, tanpa melakukan pergerakan, untuk itu kita harus punya tim sendiri untuk menangani kasus ini, bagaimana?" tanya Pak Toni kepada Pak Gunandar.
Mendengar pendapat dari Pak Toni, dia langsung tersenyum menyetujuinya, tapi sebelum itu dia menanyakan kepada anak buahnya yang lain.
"Bagaimana menurut kalian tentang pendapat dari Pak Toni?" tanya Pak Gunandar kepada yang lainnya.
Sebagian mengangkat tangan tanda setuju dengan saran dari Pak Toni, tapi sebagian lagi hanya terdiam tampak tidak setuju dengan saran dari Pak Toni.
"Yang diam apa kalian memiliki ide?" tanya Pak Gunandar kepada anak buahnya yang lain.
Andrew sedang ada di depan rumah Sonia, dia tanpa ragu mengetuk pintu rumahnya untuk menjenguk nenek Sonia yang sedang sakit.
Tok...Tok...Tok...
Mendengar suara ketukan pintu, Nenek Iyah beranjak dari ranjangnya dengan pelan dia berjalan untuk membukakan pintunya. Tak lama Andrew tersenyum saat Nenek Iyah membukakan pintu untuknya.
"Andrew belum berangkat bekerja," sapa Nenek Iyah dengan suara yang pelan lalu berbalik untuk masuk dan duduk di sofa diikuti Andrew yang duduk di hadapannya.
"Nenek sakit apa?" tanya Andrew berpura-pura tidak tahu melihat Nenek Iyah.
"Sakit tualah biasa. Kamu mau minum apa Dre?" tanya Nenek Iyah menawarkannya minum.
"Tidak usah Nek, aku sudah habis minum kok di rumah," jawab Andrew menolak tawaran Nenek Iyah. "Nek ke rumah sakit yuk, Andrew anter," bujuk Andrew tersenyum meyakinkan Nenek Iyah.
"Aku ini sudah tua, jika waktunya aku mati ya mati saja, jangan buang-buang uang hanya untuk mengobati penyakitku yang sudah tua," ucap Nenek Iyah tersenyum sambil melihat Andrew.
"Jangan seperti itu Nek, siapa tahu nenek akan sembuh setelah dirawat di rumah sakit. Lagi pula itu bukan membuang-buang uang, tapi untuk kesehatan Nenek. Mau ya Nek," bujuk Andrew kepada Nenek Iyah.
Nenek Iyah memegang tangan Andrew, lalu tersenyum dengan ceria. "Jika suatu saat aku tiada, aku ingin kamu menjaga Sonia. Dia memang gadis gila, tapi aslinya dia itu sangat penakut, jadi jagalah dia ya," pesan Nenek Iyah kepada Andrew dengan tatapan sedih.
"Tenang saja Nek, aku akan menjaga Sonia. Selama ini juga aku yang menjaganya," ucap Andrew dengan meyakinkan Nenek Iyah.
"Sudah 20 tahun dia menghilang, bagaimana ya kabarnya? Apa kamu sampai sekarang tidak pernah bertemu dengannya?" tanya Nenek Iyah melihat Andrew.
Tiba-tiba wajahnya menjadi sangat sedih, mengingat seseorang yang telah meninggalkannya sewaktu dia masih kecil.
"Tidak usah diingat-ingat lagi Nek, mungkin dia sudah bahagia di sana. Sehingga dia tega meninggalkan aku sendirian, jika tidak ada Nenek mungkin aku akan mati kelaparan," jawab Andrew dengan wajah sedih.
"Aku yakin dia akan kembali suatu saat nanti, manusia itu sama punya rasa di hatinya. Aku yakin dia akan kembali karena sangat merindukanmu," ucap Nenek Iyah tersenyum meyakinkan Andrew. "Sekarang lebih baik kamu berangkat patroli, periksa keamanan dan menjadi polisi yang baik," pinta Nenek Iyah kepada Andrew.
"AH...Nenek ayolah ke rumah sakit," ajak Andrew mendesak Nenek Iyah.
"Pergilah sana aku ingin istirahat," ucap Nenek Iyah berdiri lalu pergi ke kamarnya.
"Nenek..." panggil Andrew terkejut dengan Nenek Iyah yang menutup pintunya.
Andrew akhirnya menyerah untuk membujuk Nenek Iyah, lalu dia pergi meninggalkan rumahnya Sonia.
"Nenek aku pergi dulu ya, jika ada sesuatu yang buruk jangan lupa hubungi aku," teriak Andrew memberitahu Nenek Iyah lalu berangkat pergi.
Di minimarket Sonia memulai pekerjaannya dengan berpura-pura semangat, padahal dalam benaknya dia terus mencemaskan neneknya yang sedang sakit. Dia menjaga kasir sendirian, sambil menata barang yang ada di rak dekatnya.
"Semoga nenek baik-baik saja, aku sangat mencemaskannya," ucap Sonia sambil menghela nafasnya.
Pengunjung datang tiga orang siswi yang masuk ke dalam minimarket, Sonia berdiri untuk bersiap melayani pelanggannya. Ketiga siswi itu berdiri, lalu menyerahkan tiga kondom kepada Sonia.
"Berapa?" tanya siswi yang ada di tengah dengan wajah songong.
Sonia dengan cepat menghitung kondom, lalu memasukkannya ke dalam plastik.
"68000," ucap Sonia memberitahu harga kepada siswi itu.
Siswi yang di tengah itu lalu membayarnya dengan uang selembar seratus ribu rupiah, lalu meminta Sonia cepat memberikan kembaliannya.
"Cepat," perintah siswi itu dengan menatapnya sinis.
"Kalau aku boleh saran, jagalah kesucian kalian dari laki-laki yang hanya menginginkan tubuh kalian saja. Jangan sampai kalian menyesal nantinya," ucap Sonia menasihati sambil memberikan uang kembalian.
"Tahu apa sih lu!" bentak siswi lalu mereka menatap tajam Sonia lalu pergi meninggalkannya.
Sonia mengelus dadanya, merasa terkejut dan terheran-heran dengan tingkah laku anak remaja jaman sekarang yang sudah biasa melakukan seks bebas.
"Semakin lama perubahan jaman semakin menakutkan, bagaimana bisa anak remaja masih memakai seragamnya membeli kondom...Auh! Bahkan aku saja belum pernah memegangnya," gumam Sonia sambil menggelengkan kepalanya kesal melihat ketiga siswi itu.
Baru saja tiba di kantor, Andrew diminta Darwis untuk pergi ke ruangan komandan Agung. Membuatnya merasa kesal, karena komandannya itu sangat menyebalkan dan dia tidak menyukainya.
"Untuk apa sih dia memanggilku?" tanya Andrew dengan kesal sambil mengepalkan tangannya lalu tidak bisa diam menggerakkan tubuhnya.
"Hadapi saja, kemungkinan masalah siswa kemarin. Dia kan yang menyuruhku untuk melepaskannya," jawab Darwis sambil menepuk-nepuk bahu Andrew.
"Salahku dimana? Aku hanya ingin memberikan pelajaran, jadi kenapa aku yang di salahkan," protes Andrew melihat dengan mata yang tertutup setengah.
"Aku hanya menduganya saja, sekarang lebih baik kamu menghadapinya, dari pada kau hanya kesal kepadaku. Tidak enak dilihat yang lainnya," perintah Darwis sambil melihat ke arah petugas yang sudah mulai bekerja, lalu dia juga kembali duduk di kursinya dan meminta Andrew untuk pergi dari penglihatannya.