Langkah kakiku begitu semangat turun dari kereta api, tanganku menenteng tas berisi pakaian dan satu kardus berisi entah apa, aku tidak tahu yang pasti bukan bom! Mungkin ibu membawakan oleh-oleh berupa keripik pisang, keripik ubi, lanting, dan lainnya.
Aku menarik napas panjang lalu berteriak dengan keras, "Welcome to Jakarta Aryna!"
"Kamu senang, ya? Semoga kamu disini merajut kisah asmara yang indah, dasar gadis desa lugu, siapa tahu bertemu dengan pangeran pujaan yang seperti khayalanmu."
Aku menggaruk kepala, "Mbak Syakila tahu saja isi kepala adiknya ini, namanya juga usaha gitu. Menyelam sambil minum air, cari kerja sekalian cari jodoh apa salahnya."
Mbak Syakila anak yatim piatu yang tinggal bersama neneknya, sejak neneknya meninggal ia hidup sebatang kara. Namun Mbak Syakila sering tidur di rumahku bahkan sudah dianggap seperti anak oleh kedua orang tuaku, sedang aku menganggap dia seperti kakak kandung sendiri, orangnya baik hati.
Beruntung setelah lulus sekolah menengah pertama Mbak Syakila diajak kerja di Jakarta, setahun sekali dia pulang kampung ketika hari raya idul Fitri, ia pulang ke rumahku dan rumah almarhum neneknya.
Untuk menghemat ongkos, Mbak Syakila mengajakku naik kendaraan umum, meskipun kepalaku pusing, perut mual baiklah tetap ku tahan penderitaan ini sebentar lagi usai, katanya hanya butuh waktu tiga puluh menit lagi sudah sampai kontrakan, yes!
"Sabar, Ryn sebentar lagi sampai. Jangan muntah ya, bau! Mana habis makan jengkol lagi," kata Mbak Syakila mengejekku.
Aku nyengir malu, habis jengkol enak.
Sebenarnya aku tahu jika makan jengkol makruh, dimakan boleh, tidak dimakan dapat pahala, tapi sejauh ini masih tergoda dengan makanan yang namanya jengkol.
Mau di semur, balado, dicocol sambel, semuanya terasa nikmat.
Setelah pengalaman pertama naik kereta api, kini aku sudah ada di Jakarta, tapi bukan Jakarta pusat, sebenarnya aku tahu sih, Jakarta ada beberapa bagian.
Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan aku berada di Utara.
Rasanya tubuhku sudah lelah, ingin berbaring melepas lelah, sabar Aryna sebentar lagi sampai, ingat perjuanganmu masih panjang!
"Sudah sampai!" pekik Mbak Syakila mengejutkan hampir saja mataku merem.
"Yang benar? Alhamdulillah."
"Ayo, turun jangan sampai ada yang ketinggalan!"
"Mbak kalau Jakarta Utara tidak sekeren Jakarta Selatan, ya?" tanyaku polos.
"Memangnya kenapa?"
"Di Jakarta Selatan kan banyak orang kaya, artis-artis banyak di sana, di sini ada artis memangnya?"
Mbak Syakila ketawa, dia mengira aku ingin bertemu dengan artis.
Padahal tidak juga, apa hebatnya bertemu dengan artis, toh mereka orang biasa seperti kita, sama-sama makan nasi bukan batu.
"Kok, malah ketawa Mbak? Aryana kan tanya, jawab lah, jika di Jakarta Utara ada artis tidak?" tanyaku, kali ini bibirku maju ke depan berarti sedikit kesal.
"Mbak Syakila ketemu artis juga tidak peduli, tidak ada urusan tidak ada hubungannya, bodo amat! Dulu pernah ketemu beberapa artis waktu konser di Ancol. Tidak penting artis itu, kadang mereka tersenyum di hadapan kamera tapi menangis di belakang kamera, kasihan hidupnya penuh drama tidak bisa jadi diri sendiri, meskipun tidak semua seperti itu."
"Resiko jadi artis begitu, siap akting di depan kamera, meskipun adegannya berlawanan dengan kehidupan aslinya, tapi semua itu demi kerja profesional dan uang."
"Iya, semua demi uang!"
"Tapi mereka juga hebat, rela kerja keras siang malam untuk menghibur orang-orang dari layar televisi, padahal kan lelah."
Kami berjalan lumayan lama, karena kontrakan Mbak Syakila masuk ke dalam.
Kakiku terasa pegal, ternyata jalan ke gang sempit, yang aku bayangkan Mbak Syakila tinggal di lingkungan elit, nyatanya begini mirip jalan tikus, tapi bukan masalah toh, namanya tetap Jakarta.
Sampai di kontrakan, aku dikenalkan sama yang punya kontrakan.
Ibu Hadijah namanya, beliau ternyata orang Jawa juga, ramah dan hangat menyambutku.
Mbak Syakila memberinya beberapa oleh-oleh, setelah beberapa menit aku dan Mbak Syakila pamit untuk istirahat.
Aku izin mandi terlebih dulu, rasanya sudah sangat gerah sekali.
Selesai mandi aku pandangi isi kontrakan, hanya ada kipas, kasur lantai, mejikom dan air galon, beberapa gelas dan piring.
Di kamar mandi yang sempit ada dua ember dan peralatan mandi, ternyata Mbak Syakila orangnya semangat dan sabar.
Di kira orang-orang di desa hidup di kota enak, padahal prihatin begini.
"Mbak Syakila selalu masak nasi setiap hari?"
"Iya, masak biar hemat. Setiap kerja juga bawa nasi, di kantin tinggal beli lauknya, lumayan hemat Rp 3000,00 kalau kamu mau bawa bekal nasi juga, nanti masaknya dibanyakin, insya Allah besok kamu langsung kerja, soalnya Hari Abimanyu orangnya baik dan bisa dipercaya, kebetulan banyak lowongan pekerjaan sebagai Helper."
"Siap Mbak!"
Kami berdua makan malam seadanya, ibu membawakan bekal dua bungkus nasi, lauk tahu cabe ijo, mie goreng, dan semur jengkol, makan begitu saja sudah sangat nikmat, perut kenyang, tidur nyenyak.
"Good night, Mbak Syakila."
"Baca doa, Aryna!"
"Iya, Mbak."
Bismillahirrahmanirrahim.
Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut, Aamiin ya robbal alamin.
Kami berdua berdoa bersama lalu menutup kedua mata bersiap untuk berjuang hari esok, semoga kota Jakarta ini membuat catatan indah untuk kisah hidupku.
****
Aku menggeliat, suara alarm di ponsel jadulku berbunyi sudah pukul empat tiga puluh menit.
"Mbak Syakila, di sini masjid jauh, ya? Suara adzan tidak kedengaran sama sekali."
Aku berusaha menggoncang-goncangkan tubuhnya tapi ia masih terlelap mungkin terlalu lelah.
Bergegas aku mengambil air wudhu menunaikan kewajiban ibadah salat subuh.
Beberapa menit kemudian Mbak Syakila bangun, ia langsung mandi kemudian masak nasi, baru lah salat subuh.
Aku jadi malu, ketika bangun langsung buru-buru salat subuh lebih dulu, bukan masak nasi, pikirku ibadah itu jangan ditunda-tunda, bahkan sebaiknya tepat waktu.
Mbak Syakila mengajakku ke warung membeli lauk untuk sarapan, aku berjalan berdampingan membeli lauk sesuai isi kantong dan selera lidah.
Aku hanya membeli sup, dan telur balado.
"Kalau sudah kerja terus gajian Aryna mau beli apa?" tanya Mbak Syakila.
"Kirim uang untuk orang tua dulu, biar mereka bisa beli televisi baru, kasian TV di rumah sudah lama rusak, mungkin karena sudah tua dari aku kecil sampai sekarang, sudah bolak balik masuk UGD itu."
"Di servis maksudnya, sekarang benar-benar sudah mati total berarti? Kamu baik banget deh, kalau aku cowok udah jatuh cinta," ujar Mbak Syakila membuatku jadi kesedek.
"Mbak, masih waras? Jangan bercanda ngomong begitu. Aryna tidak suka. Nanti kalau ada yang dengar mikir macam-macam bisa bahaya," gumamku.
"Si jomblo ketakutan banget! Gadis kecil yang lucu!" Mbak Syakila mencubit kedua pipiku.
"Sakit Mbak!" pekikku.
"Habis kamu menggemaskan, sih."
Ponsel Mbak Syakila berdering panggilan dari seseorang yang diberi nama Abi masuk.
Mbak Syakila langsung mengangkat telepon itu, mungkin penting.
"Hallo, assalamualaikum ada apa, Abi? Sebentar lagi aku berangkat kerja, tunggu ya."
"Waalaikumsalam, Killa. Kamu jadi bawa orang hari ini? Enak ya, habis mudik libur tiga hari, ternyata jemput adik, toh."
"Iya, aku bawa adik, nanti tolong dibantu, dia soalnya anaknya penakut, kasian."
"Ok, baik! Sampai nanti, Killa."
"Sampai nanti, Abi." Telepon pun dimatikan oleh Mbak Syakila.