Setelah bel istirahat berbunyi, Mbak Syakila langsung datang menghampiri aku untuk makan siang bersama di kantin. kita berdua membawa bekal nasi dari kontrakan namun lauk dan minum tetap membeli di kantin agar diperbolehkan duduk di sana.
"Aryna kita makan siang bareng ya, sama Abi juga." Mbak Syakila sudah membawa bekal nasi di tangannya.
"Iya, Mbak. Sini, aku saja yang membawa nasinya," ujarku menawarkan bantuan.
"Sudah Mbak saja, gimana betah tidak kerja di sini?" tanya Mbak Syakila.
"Betah Insya Allah, Oya, Mbak Pak Cakra itu duda, ya?" tanyaku.
"Kenapa tanya begitu? Kamu tidak naksir duda genit itu kan?" Mbak Syakila balik bertanya membuat aku tertawa geli.
"Mana mungkin aku suka sama duda itu, dia lebih cocok jadi ayahku Mbak, tapi ada loh yang tergila-gila sama beliau," gumamku mengingat Kelara yang marah tidak jelas tadi pagi.
"Maksud kamu Kelara perempuan yang batal nikah berkali-kali itu?" hardik Mbak Syakila.
"Mbak jangan bilang begitu kasian Kak Kelara," ucapku.
Sebetulnya Kelara sudah dikenal dan dicap buruk oleh orang-orang di pabrik Hansai. Kelara dicap perawan tua, galak, dan tidak punya malu. Namun aku tidak tega jika dia dihina di belakang orangnya tapi juga tidak suka jika ada yang terang-terangan menghina Kak Kelara semua sama-sama tidak baik.
"Tapi semua orang tidak suka dengan si Kelara," sahut Mbak Syakila.
Tiba-tiba Hari Abimanyu datang.
"Hai, Abi kita makan siang bertiga, ya?" kata Mbak Syakila. Jantungku ser-ser tapi aku harus berusaha agar tidak kelihatan grogi. Tadi pagi dia menyebalkan mengajak menikah.
"Kenapa Aryna diam begitu? Kamu tidak suka aku ikut gabung dengan kalian? Ngomong saja," gumam Hari Abimanyu mendekatkan wajahnya ke mukaku. Aduh sekitar sekujur tubuhku memanas kenapa ini? Rasanya sampai gerah, terpaksa aku mendorong tubuhnya.
"Jangan dekat-dekat! Menjauh sana! Perempuan dan laki-laki tidak baik berdekatan!" pekikku.
"Aryna kamu masih aja galak sama Abi, awas nanti jatuh cinta loh, dia ini laki-laki yang sangat baik," puji Mbak Syakila.
"Mbak memuji dia karena dia teman Mbak Syakila, coba kalau musuh pasti sudah menghina dia," ujarku.
Mbak Syakila membuka nasi yang dibungkus kertas minyak lalu menyodorkan kepadaku.
"Makasih Mbak," kataku.
"Kamu lauk dan sayurnya pilih sendiri, sana!" Mbak Syakila menunjuk menu makanan yang sudah matang, semua terlihat menggoda tapi aku memilih yang sederhana saja.
"Kamu makan sama perkedel kentang dan cah kangkung aja?" tanya Hari Abimanyu heran.
"Kenapa? Ini enak dan aku suka kok," sahutku yang menghemat biaya hidup.
"Aku makannya hemat, kamu lebih hemat Aryna," ucap Mbak Syakila yang mengambil tumis pepaya dan ikan lele goreng.
Sedangkan Hari Abimanyu mengambil daging rendang dan sayuran.
"Makan apa aja tidak apa-apa terpenting perut kenyang," timpalku.
"Tapi kerjakan capek jadi wajar kita memanjakan perut," sahut Hari Abimanyu memang benar apa yang dia katakan tapi setiap kondisi keuangan seseorang tidak bisa disamaratakan.
"Kamu benar Bayu, tapi jangan samakan setiap orang dengan kamu karena pasti berbeda," jawabku.
"Tapi anak-anak yang lain pada makan enak kok, kita juga sama-sama kuli di sini jadi apa bedanya?" tanyanya.
Mbak Syakila tersenyum.
"Abi, jelas beda. Aryna hemat karena keuangan dia sulit toh, dia kerja buat nyari uang bukan sekedar untuk membeli makanan," jelasnya.
"Aku bisa makan apapun yang aku mau nanti setelah gajian," kataku tersenyum.
"Oh, begitu ya. Mau aku belikan daging?" tanya Hari Abimanyu menawarkan.
"Tidak terima kasih, aku lebih suka memakan apa yang dihasilkan dari keringatku sendiri," jawabku.
"Wah, aku jadi semakin suka sama kamu," pujinya. Mbak Syakila tertawa sambil cie-cie.
"Makan dulu, dari tadi ngomong terus," ucapku berdoa terlebih dahulu sebelum menyantap makanan di atas meja. Bu kantin membawakan pesanan minuman kita bertiga, semua sama es rasa jeruk.
Selesai makan aku mengusap perutku sambil mengucapkan alhamdulilah atas rezekiku hari ini.
"Kamu kenyang?" tanyanya.
"Kenyang dong, kan habis makan."
"Mau buah tidak?" Hari Abimanyu mencoba menawarkan yang lain tapi tetap saja aku tolak. Aku tidak suka menerima pemberian dari orang sebab aku ingin selalu jadi tangan di atas daripada tangan di bawah.
"Terima dong, Aryna. Misal kamu diberikan sesuatu oleh Abi ditolak, dia itu sedih loh, lihat mukanya kusut, tuh!" Mbak Syakila meledek Abimanyu.
"Adik kamu aneh, dikasih perhatian ditolak nanti jika aku diambil perempuan lain baru dia menangis," ejek Abimanyu.
"Tapi gimana ya, Aryna lebih suka tangan di atas Mbak Syakila," sahutku senyum.
"Iya, Mbak tahu kok. Tapi lihat dulu ketulusan orang yang mau memberikan sesuatu itu, Abi itu sayang dan perhatian sama kamu, maka jangan disia-siakan," tutur Mbak Syakila mengusap rambutku.
"Iya, iya. Makasih," sahutku menerima pisang pemberian dari Abimanyu.
"Dari tadi kek, masa harus diceramahi kakaknya dulu," ledek Abimanyu.
"Jangan bawel deh, nanti pisangnya aku masukin mulut kamu, nih!" celetukku.
Abimanyu justru membuka mulutnya lebar depanku.
"Ok, suapi aku, ya. a … a …."
Aku tertawa kecil melihat tingkah konyolnya itu sambil berkata.
"Makan sendiri masih punya tangan!"
"Tadi bilangnya mau dimasukan mulut aku, kamu ini bagaimana Aryna plin-plan," ejek Abimanyu lagi.
"Mas Bayu sudah deh, jangan meledek!" pekikku.
"Kadang manggil Yuu, Bayu, sekarang Mas Bayu, besok Mas apa lagi?" tanya Hari Abimanyu nyengir.
"Besok aku panggil Abag tukang bakso mau?" ujarku.
"Aku dari tadi kayak obat nyamuk kalian asyik ngobrol sendiri," kata Mbak Syakira berdiri sambil pamit masuk duluan.
"Mbak kita bareng, aku tidak mau berduaan sama orang ini," ujarku bangkit mendekati Mbak Syakila untuk menjauh dari Hari Abimanyu.
"Memangnya aku setan kamu sampai takut berduaan sama aku, padahal kantin ini rame," gerutunya.
Iya sih, kantin rame tapi kan satu meja hanya berdua jadi bikin aku deg-degan dan malu lah.
"Kamu tidak mau ngobrol dulu sama Abi? Dia kayaknya nyaman banget kalau bicara sama Aryna," kata Mbak Syakila.
"Dia nyaman, aku yang tidak nyaman," timpalku.
"Kenapa? Aryna grogi kan? Ngaku. Jangan-jangan kamu suka Abi," ledek Mbak Syakila yang langsung aku tutup mulutnya lalu kutarik pelan masuk ke dalam pabrik sebelum bel berbunyi.
"Sampai jumpa nanti pulang kerja, Abi." Mbak Syakila masih sempat pamit dan melepas tanganku yang menutup mulutnya.
"Sampai nanti sore, Killa."
Hari Abimanyu memanggil Mbak Syakila itu Killa, sedang kan Mbak Syakila memanggil dia dengan panggilan Abi.
Terkadang aku lihat Mbak Syakila dan Hari Abimanyu seperti seorang kakak adik, kadang seperti sahabat, tapi terkadang terlihat seperti sepasang kekasih yang saling sayang dan mencintai.