Aarav yang melihat wajah menjengkelkan yang dikeluarkan Erina, hanya tersenyum tipis begitu bahagia. Setelah kejadian hancurnya desa beserta seluruh keluarganya, baru kali ini Aarav tersenyum dengan bahagia tanpa ada rasa kebencian di dalam dada.
Selama ini, senyuman yang dikeluarkan Aarav hanyalah sebuah imitasi. Atau senyuman palsu yang dipaksakan agar tidak membuat hati orang lain tersakiti. Akan tetapi senyuman yang saat ini dipancarkan, begitu tulus di hati tanpa ada sesuatu yang ditutupi.
"Apa aku baru saja tersenyum?" batin Aarav setelah beberapa saat yang lalu tersenyum begitu bahagia. Salah satu tangannya menutup mulut, seakan tidak percaya atas apa yang terjadi padanya.
Eiireen yang sejak tadi memeluk Aarav dan Erina, segera melepaskan mereka dengan tangisan bahagia. "Setelah sekian lama, akhirnya kau berhasil mengalahkan rasa takut yang ada di dalam hatimu."
Sementara itu, Aarav masih belum percaya atas apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sekarang dia mulai berpikir, apakah ambisi untuk balas dendam di dalam hatinya mulai pudar. Apa karena terlalu lama bersama dengan Eiireen, tekadnya mulai pudar.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Sebuah tekanan yang begitu lembut, menyentuh bahu Aarav yang kaku. Gelombang suara yang menenangkan jiwa, mulai terdengar pada gendang telinga. Aarav yang hampir terkena oleh lamunan, segera tersadar dan menatap sosok tersebut.
Pandangan mata Aarav yang sejak tadi pudar, perlahan mulai kembali jelas. Bola matanya terpaku menatap sebuah senyuman lebar yang dikembangkan oleh orang di hadapan matanya, yang tidak lain adalah Eiireen.
Otak Aarav yang sebelumnya dipenuhi dengan ribuan pertanyaan, tiba-tiba saja seluruh pertanyaan tersebut menghilang. Perasaan tenang yang belum pernah dia rasakan, kembali didapatkan ketika menatap sosok Eiireen begitu dalam.
"Apa selama ini, dia orang yang berada di dekatku? Kenapa aku tidak pernah menyadari orang seperti ini yang berada di dekatku." Bola mata Aarav berputar, kali ini menatap Erina yang ada di dekat Eiireen.
Melihat Aarav yang tidak melakukan gerakan apapun, bahkan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Eiireen dan Erina saling pandang dengan tatapan mata penuh penasaran. Baru saja mereka semua tertawa bahagia, tetapi sekarang kenapa Aarav terlihat sangat berbeda.
Diselimuti rasa penasaran yang tinggi, membuat Erina berani mengambil langkah awal agar mendapat jawaban berarti. Bola matanya menatap Aarav dari ujung rambut hingga ujung kaki, sedangkan tangannya terus dilambaikan secara perlahan di depan matanya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Aarav?" tanya Erina sembari melambaikan tangan di depan mata Aarav. "Sepertinya ada sesuatu yang saat ini mengganggu pikiranmu. Kenapa kau tidak menceritakan semuanya para kami?" lanjutnya dengan bola mata bersinar, apalagi dengan sinar mentari yang mulai menusuk mata semakin membuat bola matanya terlihat bersinar.
Aarav yang sejak tadi termenung, tiba-tiba saja meneteskan air mata pada ujung matanya. Kedua tangan yang sebelumnya terjulur ke bawah, langsung diangkat untuk menutup wajah yang basah oleh butiran bening mengkilap.
Erina segera mendekatkan wajahnya pada Aarav, disertai dengan raut wajah menjengkelkan. "Apa aku baru saja melihat air mata keluar dari wajahmu?" Senyuman sinis keluar dari wajah Erina, matanya mengerjap memperlihatkan kerutan pada kening.
Mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Erina, walaupun apa yang dia lakukan memang benar adanya. Tetap saja membuat Aarav merasa sangat kesal dibuatnya.
"Aku tidak menangis!" seru Aarav sambil mengusap butiran bening yang ada pada ujung mata. Tekanan yang dihasilkan dari gesekan antar kulit, menyebabkan luka lebam di sekitar area bola mata Aarav.
Mata Erina menatap Aarav dengan sedikit menutup. Bola mata hitamnya terlihat sebagian ketika menatap wajah Aarav yang saat ini terlihat kesal. Kening yang mulus bagaikan paha SPG, tiba-tiba saja berkerut selayaknya wanita tua.
"Apa benar seperti itu?" tanya Erina sedikit memiringkan kepala, menarik ujung bibir hingga memperlihatkan senyuman sinis. "Lalu ... kenapa bola matamu terkesan baru saja menangis?"
Aarav memalingkan wajah, kembali mengusap air mata yang masih tergenang di sekitar wajah. "Sudah kukatakan, aku tidak menangis! Kenapa kau terus saja mempermasalahkan semua itu denganku!" bentaknya mencoba agar terhindar dari ejekan Erina.
Tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal tersebut, Erina memalingkan wajah dengan mengangkat bahu, sudut bibirnya terangkat tipis, dengan bola mata terpejam sempurna.
Sedangkan Eiireen, sejak tadi hanya tersenyum simpul memperhatikan tingkah kedua anaknya. "Kenapa kalian terus saja seperti ini? Bukan waktunya untuk melakukan hal ini. Sekarang waktunya kalian berlatih dengan sungguh-sungguh, karena sesuatu yang besar akan segera terjadi tidak lama lagi." Eiireen mengambil pedang kayu yang tertancap di depan kaki, kemudian mengangkatnya dengan penuh percaya diri.
Aarav dan Erina saling pandang dengan pedang kayu yang sudah tergenggam erat pada tangan. Detik berikutnya, mereka menganggukkan kepala tanda siap akan sebuah keputusan. Kuda-kuda mantap dikeluarkan, mengarahkan ujung pedang pada Eiireen yang ada di depan.
"Kali ini, aku yang akan memenangkan pertarungan ini!" teriak Aarav dengan wajah penuh percaya diri. Bola matanya terbelalak lebar, sudut matanya berkerut, serta tatapan mata menghina terpancar pada wajah. "Setelah hampir lebih dari tiga ratus pertarungan, aku yakin kali ini dapat mengalahkan dirimu."
"Tidak!" sela Erina sembari mengangkat pedang kayu di depan dada, ujung pedang diarahkan pada dada Eiireen. "Akulah orang yang akan mengalahkan Ayah untuk pertama kalinya. Akan kubuktikan bahwa kemampuanku lebih kuat dari pada dirimu."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan mulut Erina, bola mata Aarav bergerak ke samping begitu cepat. Pedang yang sebelumnya diarahkan pada Eiireen, diturunkan secara perlahan di atas tanah. Kepala Aarav bergerak ke samping, hingga bola matanya saling bertatapan dengan Erina.
"Kenapa kau yang berkata seperti itu?" tanya Aarav dengan mata terbuka lebar, bola matanya bergetar menatap Erina yang saat ini berada di depan mata. "Sudah lama aku mencoba mengalahkannya, tetapi kau baru saja mengatakan sesuatu yang membuatku sangat kesal." Aarav mengepalkan tangan begitu kencang, membuat urat pada pergelangan tangan tegang.
Karena Aarav memandangnya begitu tajam, Erina melakukan hal yang sama. Bola mata yang sebelumnya menatap Eiireen, berpindah haluan pada wajah Aarav yang ada di dekatnya.
Seakan tidak peduli atas apa yang dilakukan Aarav di sana. Erina hanya memalingkan wajah kemudian kembali menghindari tatapan mata Aarav.
"Apa yang kau lakukan!" teriak Aarav merasa apa yang dilakukan Erina begitu menjengkelkan. "Lihat wajahku!" lanjutnya dengan rahang mengencang, air liur yang tersimpan di dalam mulut berhamburan di udara.
Beberapa tetes cairan yang keluar dari mulut Aarav, menempel pada tubuh dan wajah Erina. Dengan santai, tangannya mengusap cairan tersebut. Tanpa memandang wajah Aarav, Erina terus saja menatap Eiireen yang masih tidak memperhatikan dirinya.
"Oi, jangan menghiraukan diriku seperti itu!" Aarav naik pitam karena merasa tidak diperhatikan oleh Erina. "Aku sedang berbicara dengan dirimu, jangan menghiraukanku!"